CoP for Health Equity
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan penutupan sekolah dan universitas dalam upaya mencegah penyebaran penyakit tersebut. Berbagai institusi pendidikan telah menerapkan pembelajaran jarak jauh dengan muridnya melalui teknologi daring. Zoom dan Google classroom adalah contoh metode popular yang digunakan para guru untuk mengajar maupun melakukan ujian. Tetapi apakah bisa dibayangkan murid tuna rungu, tuna netra mengikuti kelas dan ujian menggunakan Zoom atau Google classroom?
Pada 2018, secara kasar jenjang pendidikan menengah di Indonesia mencapai 88,6%. Disisi lain, anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mendapatkan pendidikan hanyalah 30%. Sebelum terjadinya pandemi pun, data tersebut dengan jelas menunjukan adanya kesenjangan yang sangat luas antara anak yang sehat dan ABK dalam mendapatkan pendidikan. Perubahan sistem pendidikan yang terjadi dalam pandemi ini akan sangat mungkin memperluas kesenjangan pendidikan tersebut.
Semua murid mempunyai kesulitan masing – masing dalam pembelajaran yang diadakan secara daring. Sebagian mungkin tinggal di lokasi dengan koneksi internet yang tidak bagus, tidak mempunyai uang untuk membeli kuota internet, mempunyai guru yang tidak mau mengajar dan hanya memberi tugas, dan permasalahan yang lainnya. Semua kesulitan tersebut juga akan dihadapi oleh murid dengan disabilitas, di atas beban kesehatan yang mempersulit dalam pembelajaran mereka.
Anak berkebutuhan khusus, sebagaimana namanya, memerlukan bantuan khusus dari orang lain. Mereka tidak bisa mandiri atau independen seperti teman mereka yang sehat. Untuk membantu kebutuhan ABK, sekolah menyediakan berbagai pendamping, dari guru biasa, pengasuh, psikologis, psikioterapis, dan ahli tenaga kerja lainnya yang memahami kebutuhan dan penatalaksanaan yang diperlukan untuk setiap muridnya. Semua bantuan tersebut akan sulit dan kadang mustahil untuk disalurkan melalui layar ataupun telepon. Kemudian walaupun orang tua atau pengasuh murid membantu dalam pembelajarannya, mereka tidak akan mempunyai pengetahuan ataupun kapabilitas yang dapat mendukung anak tersebut secara optimal. Terlebih lagi tidak semua orang tua mempunyai waktu luang yang cukup untuk menemani anak mereka dalam pembelajarannya. Terutama pada keluarga dengan sosioekonomik rendah, dimana seluruh waktu orang tua akan dihabiskan untuk bekerja. Kondisi tersebut akan mempersulit ABK untuk melanjutkan pendidikannya.
Teknologi yang biasanya digunakan dalam lingkungan pendidikan sekarang juga seringnya tidak efektif untuk digunakan ABK. Sebagai contoh ada kasus di Amerika dimana seorang guru untuk murid tuna rungu mengadakan kelas lewat Zoom, karena ada keterbatasan ukuran video untuk setiap muridnya, bahasa isyaratnya tidak terlihat jelas, menghambat diskusi antar murid dan gurunya.
Contoh yang disebutkan hanyalah sebagian kecil dari berbagai permasalahan yang perlu ditangani oleh murid dengan disabilitas dalam memperoleh pendidikan di masa pandemi. Maka, diperlukan pengembangan pendidikan inklusif yang dapat mengakomodir kebutuhan mereka. (Eugeu Yasmin)
Sumber:
- https://www.tempo.co/abc/4460/partisipasi-pendidikan-naik-tapi-jutaan-anak-indonesia-masih-putus-sekolah
- https://lifestyle.bisnis.com/read/20190326/236/904431/70-persen-anak-berkebutuhan-khusus-tak-dapat-pendidikan-layak
- https://www.theatlantic.com/education/archive/2020/04/special-education-goes-remote-covid-19-pandemic/610231/
- https://blogs.worldbank.org/education/tackling-inequity-education-during-and-after-covid-19