CoP for Health Equity
Kesehatan adalah Bagian dari Hak Asasi Manusia:
Mudah Diucapkan, Sulit Dilaksanakan
12 Mei 2020
“Setiap orang berhak atas kesehatan” – Pasal 4 Bab III UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Perbudakan dimana nyawa seseorang berada di bawah kekuasaan orang lain adalah hal yang tabu dilakukan sekarang. Menggunakan tubuh manusia secara ilegal atau tanpa izin dalam penelitian yang berbahaya dapat dijatuhi hukuman sangat berat. Saat ini, sudah kita lalui periode dimana nyawa sekelompok orang dianggap lebih rendah dari kelompok lainnya. Tidak hanya sebatas nyawa, mempertaruhkan kesehatan seseorang juga dianggap sebagai sesuatu yang keji di mata publik.
World Health Organizations (WHO), sudah mendeklarasikan hak kesehatan pada 1946 bahkan sebelum ditegakkan hak asasi manusia itu sendiri, dimana Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) menetapkan “Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia” pada 1948. Fakta tersebut menunjukkan bagaimana kesehatan adalah bagian dari hidup masyarakat yang sangat krusial dan tidak kalah penting dari hak asasi manusia itu sendiri. Hak asasi manusia sering dikaitkan dengan kebebasan seseorang dari kekuasaan orang lain. Apakah itu kebebasan untuk hidup, ucapan, tindakan atau yang lainnya. Indonesia sebagai negara demokrasi, hak kebebasan relatif jelas dikenali dan ditangani. Di sisi lain, hak kesehatan lebih sulit direalisasikan. Berbeda dengan hak kebebasan yang berkaitan hanya dengan faktor sosial dan terkait sebagian warga, kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial, organik, ataupun alam, dan mengenai semua orang dari bayi yang masih dalam kandungan sampai ke lansia yang mendekati ajal. Hal tersebut belum mempertimbangkan keterbatasan kemampuan untuk menangani berbagai penyakit yang diderita banyak orang. Karena itulah, meski hak kebebasan dan hak kesehatan sama – sama telah berkembang jauh lebih baik dari beberapa abad silam, sekarang ini kita lebih jarang melihat penindasan seseorang, namun tetap sering menemui orang dengan permasalahan kesehatan.
Kesehatan yang menjadi bagian dari hak asasi manusia membawa arti bahwa kesehatan adalah sesuatu yang dimiliki semua orang, bukan keistimewaan yang hanya dapat diperoleh oleh sebagian kelompok masyarakat. Memastikan semua orang sehat bukan hal yang mudah dilakukan. Kegagalan dalam memastikan kesehatan menjadi bagian dari hak asasi manusia dapat menyebabkan kesenjangan kesehatan di kalangan masyarakat.
Rintangan Universal Health Coverage
Kesenjangan kesehatan sangat dipengaruhi oleh disparitas status sosio ekonomi di masyarakat. Kesehatan memerlukan biaya, itu adalah faktanya. Pada jaman dahulu, hak asasi manusia hampir tidak ada. Orang miskin yang sakit tidak mampu untuk mengundang dokter maupun obat, dan akhirnya meninggal di usia muda. Kejadian seperti itu sering terjadi dan orang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar beberapa abad yang lalu. Pada abad 21 sekarang ini, dunia memandang hak asasi manusia sebagai sesuatu yang sepantasnya dimiliki oleh semua orang, termasuk hak kesehatan. Anggapan ini telah mendorong pemerintah dan para pemegang kebijakan untuk memastikan kesehatan bagi semua orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, terbentuklah Universal Health Coverage (UHC), atau jaminan kesehatan universal.
Sistem UHC sudah diaplikasikan di berbagai negara di dunia, walau cara penyelenggarannya berbeda satu tempat dengan yang lain, semua mempunyai tujuan utama sama, yakni memastikan semua orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai tanpa membebani secara finansial. Namun, pelaksanaan UHC sering dihadapi dengan rintangan yang melingkupi pembiayaan. Secara tersirat, UHC didirikan untuk membantu populasi dengan pendapatan rendah. Indonesia sekarang ini sedang berusaha untuk menyelenggarakan UHC dengan membentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Sistem BPJS menggunakan metode yang menyerupai sistem asuransi, dimana semua warga wajib membayar iuran per bulan yang dikumpulkan secara kolektif. Kemudian digunakan untuk membiayai saat kita sakit. Populasi miskin yang terbebani dengan iuran tersebut akan ditanggung oleh negara. Persentase populasi miskin di Indonesia berkisar 9.4%. Secara angka terlihat sedikit, akan tetapi perlu diingat jika Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbanyak di dunia. Jika dinominalkan, 9.4% dari 268 juta adalah 25 juta, dimana jika dibandingkan lima kali lebih banyak dari seluruh populasi Singapura yang berkisar hanya 5 juta, salah satu negara tetangga yang mempunyai sistem UHC yang efektif.
Selain itu, kurangnya tanggung jawab sosial di kalangan masyarakat mempersulit penyelenggaran BPJS. Penduduk berpenghasilan cukup yang seharusnya melakukan iuran tidak akan mendaftar BPJS, melainkan saat mereka jatuh sakit baru mendaftar. Atau penduduk tersebut secara keseluruhan tidak menggunakan BPJS sama sekali dan memilih untuk melakukan perawatan out-of-pocket ataupun menggunakan asuransi kesehatan yang lainnya. Semua kejadian tersebut akan berkontribusi untuk defisit BPJS. Pada waktu dibentuk yaitu 2014, BPJS memiliki defisit sebesar Rp 1,9 triliun. Enam tahun kemudian, defisit per awal 2020 mencapai Rp 15,5 triliun. Defisit yang makin tahun naik merupakah sesuatu yang sangat disayangkan. Dikarenakan hal tersebut akan dampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya akan kekurangan dana yang diterima dari pemerintah untuk memberikan pelayanan berdasarkan sistem BPJS. Pada akhirnya, penduduk miskin, yang tergantung akan pelayanan kesehatan BPJS tidak dapat dilayani. Alhasil, situasi tersebut tidak akan jauh berbeda dengan jaman dulu, dimana kesehatan dimiliki oleh populasi yang kaya saja.
Apakah Ini Terjadi karena Kita Negara Berpenghasilan Rendah?
Status negara berpenghasilan rendah bagi Indonesia tidak diragukan berkontribusi dalam sulitnya penyelenggaraan UHC yang efektif. Defisit BPJS mungkin tidak akan menjadi permasalahan jika negara mempunyai dana yang berlimpah. Negara yang telah berhasil memastikan hak kesehatan untuk semua rakyat terlihat mayoritas datang dari kelompok negara yang berpenghasilan tinggi, sebagai contoh Prancis, Finlandia, Britania Raya, dan lainnya. Apakah hal tersebut menunjukkan jika permasalahan penyelanggaran UHC terletak pada kurangnya dana semata? Bisa iya dan bisa tidak. Negara yang mempunyai UHC efektif hampir semua datang dari negara berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, negara berpenghasilan tinggi belum tentu mempunyai UHC yang efektif. Amerika Serikat adalah salah satu contoh negara berpenghasilan tinggi yang terkenal untuk tidak mempunyai UHC. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 11 negara berpenghasilan tinggi seperti Swiss, Jerman, dan Belanda, Amerika Serikat mempunyai pelayanan kesehatan yang paling mahal, tetapi dengan disparitas kesehatan yang paling luas, hasil yang tidak mengejutkan mengingat dari 11 negara Amerika Serikat yang satu – satunya tidak mempunyai UHC.
Alasan dibalik ketiadaan UHC di negara adidaya tersebut diteorikan tiga hal penyebab. Pertama, masyarakat yang cenderung individualistis. Amerika Serikat dibangun oleh imigran dengan jiwa kewiraswastaan, ditambah dengan tidak adanya sistem feudal untuk menanamkan struktur sosial yang ketat telah membentuk karakter liberal dengan kepercayaan terhadap individualisme dan pembatasan keterlibatan pemerintah. Kedua, para pemangku kepentingan, terutama dari industri asuransi swasta, tidak tertarik akan UHC. Mereka melakukan lobi dan menggunakan berbagai cara untuk mencegah asuransi pelayanan kesehatan dikelola oleh pemerintah. Ketiga, secara umum institusi politik menyulitkan pembentukan kebijakan UHC. Kondisi Amerika Serikat tersebut adalah contoh dimana walau negara mempunyai sumber dana yang cukup untuk melaksanakan UHC yang efektif, banyak rintangan yang datang dari berbagai pihak.
Hak Kesehatan Untuk Semua. Gotong Royong dari Semua.
Universal Health Coverage adalah alat yang digunakan untuk memastikan hak kesehatan dapat dipenuhi untuk semua orang. Walau sistem tersebut dimulai dari pemerintah, hasil akhir dari keberhasilan memerlukan kerja sama antara para pemegang kekuasaan dan berbagai kelompok warga biasa. Untuk memastikan kesehatan untuk semua, perlu upaya maupun pengorbanan yang diberikan dari semua, melebihi dari batas kepentingan pribadi. Hanya dengan itulah kesehatan benar benar menjadi bagian dari hak asasi manusia kita semua. (Eugeu Yasmin)
Referensi:
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2009/36TAHUN2009UU.htm
https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview
https://www.who.int/health_financing/universal_coverage_definition/en/
https://katadata.co.id/berita/2019/08/21/sri-mulyani-beberkan-empat-penyebab-defisit-bpjs-keuangan
https://iwa-network.org/wp-content/uploads/2019/01/2019-Country-Classification-Update-2018-08-06.pdf
https://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/07/11/world-population-day/
https://interactives.commonwealthfund.org/2017/july/mirror-mirror/