Social Determinants of Health (SDH), diartikan sebagai faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan dan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Diskusi diawali oleh Dr. Leila Mona Ganiem, seorang Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, akademisi, dan pengamat kedokteran yang menyebutkan banyak penelitian menunjukkan kondisi lingkungan seseorang dapat mempengaruhi kesehatan melebihi faktor genetik orang tersebut. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi SDH dan mencari solusi untuk faktor – faktor tersebut.
Beberapa contoh telah disebutkan, diantaranya ialah faktor ekonomi. Faktor ekonomi dapat berupa occupational hazard, dimana sebagian pekerjaan, seperti pekerja tambang, teknisi listrik, dokter, dan sebagainya akan lebih rentan terpapar bahan kimia dan resiko untuk cedera, dibanding pekerjaan seperti marketing atau manajer. Tingkat sosioekonomi juga mempengaruhi kondisi lingkungan tempat tinggal seorang individu. Seseorang yang berpenghasilan cukup, memiliki aset rumah yang bersih, cukup ventilasi, dan mendukung kesehatan, yang mungkin tidak mampu dimiliki oleh kelompok miskin. Hal yang sama dapat dilihat dari segi transportasi, dimana kelompok pejalan kaki atau yang hanya mampu memiliki motor akan lebih cenderung untuk terpapar asap bahaya sehingga berpotensi menyebabkan ISPA dan adanya timbal dalam darah.
Faktor lain yang diungkit adalah edukasi. Masyarakat yang kurang edukasi akan terbatas kemampuannya dalam berbahasa. Kemampuan berpikir seseorang dapat ditentukan oleh kemampuan berbahasa. Bahasa juga penting untuk interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien, dimana ketidakmampuan untuk mengekspresikan keluhan dan apa yang dipikirkan dalam bentuk yang dapat dipahami tenaga kesehatan dapat berakhir berbahaya pada pasien. Selain faktor ekonomi dan edukasi, SDH dapat diwujudkan dalam bentuk makanan, dimana adanya keracunan makanan pada anak sekolah dapat diakibatkan karena jajanan tidak higenis, dan kurangnya akses serta kemampuan untuk memilih makanan sehat, yang seterusnya dapat menyebabkan stunting ataupun obesitas. Faktor komunitas, seperti dukungan sosial, diskriminasi pelayanan kesehatan, adanya budaya yang membahayakan kesehatan dan pengasingan wanita, serta faktor sistem kesehatan, status kepemilikan jaminan kesehatan juga disebutkan sebagai faktor – faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan.
Setelah mengenali beberapa SDH tersebut, Dr. Leila menjabarkan mengenai “sinergi antar 7 unsur”, pendekatan yang mempertimbangkan 7 area untuk mengatasi SDH. Unsur – unsur tersebut antara lain; pertamakeluarga, dimana pentingnya membuat keluarga yang berdaya, berkumpul, berinteraksi, peduli, berbagi, membangun satu sama lain. Semua hal tersebut penting dalam menjaga kesehatan; kedua yaitu sekolah, perlunya pendidikan keterampilan hidup sehat yang dapat membantu membangun gaya hidup sehat dan peningkatan kemampuan berpikir kritis untuk identifikasi hoax; ketiga yaitupemerintah, pelaksanaan JKN yang efektif maupun pendirian dan menjalankan kebijakan yang berkaitan dengan program promotif, preventif, dan rehabilitatif kesehatan; keempat ialah pemberdayaan masyarakat; kelima adalahpolitik yang mendukung; kelima yaitudunia usaha dan industri, dimana CSR dalam bidang kesehatan dapat berfungsi mengembangkan kesehatan masyarakat dan; ketiga ialahmedia massa, yang dapat digunakan sebagai platform dalam pendidikan dan informasi kesehatan.
Selanjutnya Rennta Chrisdiana, Senior Equity Initiative Fellow dan Komisioner Badan Pengawas Rumah Sakit DIY menyoroti bagaimana SDH dapat dipertimbangkan untuk kelangsungan sistem kesehatan, dengan mengambil contoh dari kondisi di DIY. Rennta mendeskripsikan SDH sebagai kondisi yang dipengaruhi oleh 3 faktor, faktor individual yang tertanam seperti usia, suku, agama, dan sebagainya, faktor hubungan sosial dan komunitas, dan yang terakhir adalah status sosioekonomi, adat, dan kondisi lingkungan sekitar. Semua komponen tersebut menghasilkan kebutuhan dasar manusia untuk kelangsungan kesehatan tubuh. Faktnya dimensi variasi sangat luas, maka perlu memperhatikan kebutuhan biopsikososiospiritual pada setiap individu.
Untuk memenuhi kebutuhan pasien, perlunya sistem kesehatan yang berkualitas. Dalam memastikan kualitas tersebut perlunya memastikan mutu dari rumah sakit, yang dapat dilakukan melalui Badan Pengawasan Rumah Sakit (BPRS) untuk melihat permasalahan sistem kesehatan dari sudut pandang berbeda dan dapat menjadi jembatan yang menghubungkan antara rumah sakit, pasien, dan pemerintah. Kualitas sistem kesehatan juga dapat ditingkatkan melalui patient centrered care (PCC). Pelayanan perlu diberikan dengan memenuhi kebutuhan dan menghormati nilai dan adat semua pasien. Hak pasien juga perlu diperhatikan. Akan tetapi, memastikan hak semua pasien terpenuhi membutuhkan komitmen dari pihak layanan kesehatan maupun dari pasien itu sendiri. Untuk mendirikan layanan kesehatan yang efektif dan berkualitas, selain memahami hak, pasien juga perlu melakukan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.
Untuk meningkatkan kualitas non teknis dalam pelayanan kesehatan, dapat dilakukan pemantauan dari 5 isu. Isu tersebut terdiri dari mutu RS, manajemen kritik dan saran kepada rumah sakit yang berjalan dengan baik, pendidikan dan pelatihan pasien, memperhatikan permasalahan rumah sakit dan yang terakhir keberadaan dewan pengawas seperti pendamping pasien. Rennta menyoroti angka pendamping pasien masih berjumlah sedikit, dimana di DIY hanya 30% rumah sakit menyediakan fasilitas tersebut. Padahal, dengan adanya pendamping pasien, dalam bentuk Case Manager yang disebut juga sebagai Manajer Pelayanan Pasien (MPP) atau Pastoral Sosial Medik (Pasosmed) ataupun Health Social Worker dapat memperhatikan kebutuhan pasien dari segi biopsikososiospiritual dengan baik.
Diskusi diakhiri oleh pembicara Dr. dr. Mubasisyir Hasan Basri, MA, yang membahas bahwa isu SDH terkait erat dengan permasalahan equality dan equity. Dimana equality adalah sistem yang memberi pelayanan yang sama rata untuk semua populasi, dan di sisi lain equity adalah sistem yang memberi pelayanan yang bervariasi pada setiap individu agar mencapai hasil akhir yang sama untuk semua populasi. Contoh permasalahan equality dan equity dalam sosial determinant of health dapat dilihat pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh dokter pada pasien yang dirawat. Edukasi pasien perlu menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan, dikarenakan penggunaan istilah medis yang mungkin dapat disampaikan mudah kepada pasien yang berpendidikan tinggi akan sulit dimengerti oleh mereka yang kurang berpendidikan.
Selain itu juga, terdapat inequality dalam sistem pelayanan kesehatan, dimana orang yang berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai keperluannya. Dimana biasanya yang didapatkan adalah pelayanan yang diberikan sama rata untuk semua populasi, tanpa memandang kebutuhannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat dilakukan pendekatan dari dua sisi. Yang pertama adalah pendekatan pada lingkungan rumah sakit, yang misi utamanya adalah menangani pasien yang sudah sakit. Lingkungan rumah sakit juga sudah memiliki tanggung jawab yang berat, dengan diberikan tanggung jawab pada area promosi dan preventif akan memberikan beban yang berlebih. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan pada lingkungan populasi atau masyarakat yang diatur oleh pemerintah kesehatan daerah dan dinas lokal yang bersangkutan. Pemerintah daerah dan pihak berwenang yang bersangkutan dapat melakukan advokasi untuk masyarakat dan penduduk setempat dalam pencegahan penyakit. (Reporter : Eugeu Yasmin)