Awal tahun 2020 dunia dihebohkan dengan merebaknya kasus infeksi virus Corona yang berawal di Provinsi Hubei Tiongkok pada Desember 2019. Dengan penyebarannya yang cepat dan belum diketahui dengan pasti bagaimana persisnya virus ini menyebar – diduga melalui droplet dan kontak langsung – WHO telah menyatakan kejadian ini sebagai pandemi. Per 9 Maret 2020 sudah ada hampir 110.000 kasus positif yang dikonfirmasi oleh 73 negara, dan 80% kasus tersebut ada di Tiongkok. Meskipun demikian, saat ini Italy muncul sebagai episentrum baru penyebaran virus tersebut dengan cepatnya pertambahan kasus positif disana. Secara geografis jarak Italia cukup jauh dari Tiongkok, namun hari per Hari Senin, 9 Maret BBC menyebutkan jumlah kematian melonjak dari 366 menjadi 463, sementara jumlah kasus terkonfirmasi positif meningkat 24% dari hari sebelumnya. Ini menjadikan Italia sebagai negara dengan tingkat keparahan tertinggi setelah Tiongkok. Kasus positif ditemukan di 20 area di Italia. Editorial di The Lancet menyebutkan sudah ada 11 provinsi di Italia yang di-lockdown untuk meminimalisir penyebaran virus lebih jauh. Kondisi ini telah membuat shock dan khawatir para pemimpin negara – negara di Eropa, mengingat bebasnya jalur keluarmasuk antarnegara di Uni-Eropa.
Indonesia awalnya terlihat aman karena tidak ditemukan kasus positif. Namun pada 9 Maret 2020 data WHO menunjukkan sudah ada 6 kasus positif, dimana sehari sebelumnya hanya 4 kasus positif. Sementara itu, dalam waktu beberapa jam kemudian sudah ada 13 kasus baru positif, dimana 7 diantaranya tertular saat melakukan perjalanan di luar negeri. Dari situasi tersebut, dalam hitungan hari bahkan jam jumlah kasus positif COVID-19 meningkat dengan cepat. Indonesia tentunya dapat belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih dulu menghadapi ledakan kasus, mengenai bagaimana mengantisipasi agar penyebaran bisa diminimalisir dan apa yang harus dilakukan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan untuk menghadapi gelombang pasien COVID-19.
TIONGKOK
Menurut data WHO, per 9 Maret 2020, total kasus positif sebanyak 80.904 dengan kematian sebanyak 3.123. Untuk mengatasi outbreak ini, pemerintah Tiongkok telah memobilisasi 40.000 tenaga kesehatan dari seluruh Tiongkok ke RS – RS di Kota Wuhan (berpenduduk 15 juta orang), Provinsi Hubei yang merupakan episentrum penyebaran COVID-19 di negara tersebut. Setiap RS yang menangani kasus ini dilengkapi dengan 50 – 60 ventilator dan 5 mesin ECMO. Pemerintah Tiongkok juga mempekerjakan ribuan relawan untuk menelusuri jejak pasien, mencari kontak – kontak yang sudah dilakukan pasien. Data di – share secara elektronik dan real time. Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga membangun RS khusus dalam hitungan hari, dan mengubah stadion menjadi klinik lapangan dalam waktu 72 jam. Pemerintah juga mendirikan klinik – klinik khusus di berbagai lokasi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga bisa cepat mendapatkan layanan pemeriksaan suhu tubuh dan rapid CT scan untuk paru, untuk menemukan tanda – tanda tertular COVID-19. Upaya pemerintah Tiongkok memang sangat masif, di satu provinsi saja (Guangdong) misalnya, ada lebih dari 320.000 sample yang diperiksa. Saat ini jumlah kasus baru di Tiongkok sudah menurun.
Profesional kesehatan Tiongkok yang telah bekerja menangani kasus COVID-19 di Wuhan dan mempelajarinya, menyatakan bahwa seandainya semua terjadi kembali ia akan menekan para pembuat kebijakan untuk lebih kuat berupaya agar semua tim ICU RS bekerja bahu membahu secara lebih baik sehingga RS dapat menerapkan best practices dalam memberikan critical care pada pasien. Pada pasien dengan gagal napas atau hipoksemi, ia akan menerapkan minimally invasive ventilator secara lebih agresif. RS harus punya perencanaan mengenai kapasitas tempat tidur dan juga bagaimana menjamin agar losgitik yang diperlukan selalu tersedia.
AMERIKA SERIKAT
Kekhawatiran utama para ahli di AS adalah karena merebaknya kasus COVID-19 ini bersamaan dengan musim flu yang biasanya terjadi antara Desember sampai dengan Februari. Dengan jumlah pasien flu mencapai 310.000 orang dan kematian mencapai 18.000 orang, AS tidak akan mampu menghadapi penyakit dengan skala sebesar Tiongkok. Providence Sacred Heart Medical Center yang merawat 2 orang pasien (tertular di Kapal Pesiar Diamond Princess) hanya memiliki 10 ruang isolasi. Udara dalam ruang isolasi selalu didesinfektan untuk mencegah virus menyebar ke ruangan lain di RS maupun ke lingkungan luar RS. Di University of Nebraska Medical Center ada 2 pasien negatif namun dimonitor ketat karena pernah kontak dengan kasus positif, dan ada 11 lainnya yang dirawat di ruang isolasi (berkapasitas 41 TT) dengan sistem ventilasi khusus. Jika menjadi pandemi, semua komponen dalam sistem kesehatan harus turun tangan. Untuk itu, University of Nebraska Medical Center telah menyelenggarakan serial webinar dengan melibatkan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan RS-RS lain untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dalam mengantisipasi terjadinya pandemi. Pasien diberi masker sejak masih di bagian registrasi. Petugas kesehatan mengenakan 1 set protective gear (masker, sarung tangan, pakaian, dan lain – lain) sekali pakai yang langsung dibuang setelah selesai menangani pasien. Pada pasien yang tidak terlalu parah, dalam 1 shift petugas bisa berganti protective gear sebanyak 6 kali per shift, sedangkan pada kasus yang cukup parah petugas bisa berganti protective gear hingga 22 kali per shift.
Jika pandemi benar terjadi di AS, MedScape memperkirakan akan ada 38 juta orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan, 1 – 10 juta yang membutuhkan rawat inap dan 200 ribu hingga 2,9 juta orang yang membutuhkan perawatan intensif, tergantung pada tingkat epidemi kasus. Padahal saat ini AS hanya memiliki 46.000 TT ICU ditambah dengan 45.000 TT ICU khusus (misal untuk mrawat pasien post-op jantung) yang bisa di-convert menjadi TT untuk pneumonia saat krisis terjadi. Di suatu negara bagian pemerintah bahkan membeli motel dan mengubahnya menjadi tempat khusus perawatan pasien positif COVID-19, sehingga RS bisa digunakan untuk merawat kasus – kasus lainnya.
John Hopkins merekomendasikan:
- vaksinasi semua staf RS dengan vaksin flu
- kelola layanan day-care untuk anak – anak petugas kesehatan yang sehat, dengan melibatkan volunteer
- sediakan perawatan medis untuk tenaga kesehatn yang anggota keluarganya ada yang sakit
- tangkal ketakutan dengan menyediakan training dan informasi yang terbuka, jujur dan transparan
- shifting staf dan beri pelatihan khusus
- menambah personel dengan melibatkan peneliti, dokter yang telah pensiun dan sebagainya
- berkoordinasi dengan RS – RS lain di sekitar untuk merekrut relawan
TAIWAN
Taiwan termasuk negara yang sukses menekan penyebaran COVID-19 secara efektif. Secara geografis negara hanya berjarak 81 miles atau sekitar 130 kilometer dari Tiongkok. Sekitar 850.000 warga Taiwan tinggal di daratan Tiongkok, 400.000 lainnya bekerja disana. Tahun lalu Taiwan kedatangan turis dari Tiongkok sebanyak 2,71 juta orang. Ini menjadikan Taiwan sebagai negara yang vulnerabilitasnya sangat tinggi untuk menjadi episentrum kedua setelah Tiongkok. Namun faktanya, “hanya” ada 42 kasus positif COVID-19 disana. Hal ini karena Pemerintah Taiwan melakukan emergency response yang cepat agar potensi-potensi risiko yang sangat besar tersebut tidak terjadi.
Faktor lain yang juga penting dalam efektivitas penanganan COVID-19 di Taiwan:
- Pemerintah Taiwan bertindak secara agresif dan stratejik untuk mencegah terjadinya outbreak. Misalnya dengan segera menutup jalur keluar masuk Taiwan, dan mengaktifkan berbagai komponen dalam sistem pemerintahannya untuk terlibat dalam berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus.
- Taiwan Centers for Disease Control segera mengaktivasi CECC untuk pneumonia infeksius khusus dan berat, yang bekerja dibawah Kemenkes. CECC antara lain mengkoordinasikan berbagai upaya lintas kementerian, dan secara aktif berperan dalam mengalokasikan sumber daya (termasuk mengontrol harga masker dan menggunakan dana dari pemerintah serta militer untuk meningkatkan produksi masker dalam negeri).
- pemerintah Taiwan berhasil mengelola penyebaran virus berkat penggunaan Big Data terkait asuransi, travel history (menggunakan QR Code), gejala awal, dan lain – lain
- ada tol-free hotline di pusat dan di daerah – daerah
- pada 31 Des 2019, saat WHO mengumumkan adanya wabah pneumonia tak dikenal yang berasal dari Wuhan, petugas kesehatan Taiwan langsung menskrining semua penumpang pesawat yang penerbangannya berasal dari dari bandara Wuhan. Bahkan pemerintah juga melakukan pemeriksaan ulang kepada orang – orang yang hasil pemeriksaan sebelumnya negatif.
- semua partai politik mau bekerjasama untuk merespon secara cepat dalam mengatasi bahaya penyebaran virus
INDONESIA
Pemerintah Indonesia pertama kali mengumumkan adanya kasus positif COVID-19 pada 2 Maret 2020. Hingga 10 Maret 2020 jumlahnya berkembang menjadi 13 pasien positif terinfeksi Corona. Banyak negara meragukan kemampuan teknologi Indonesia dalam mendeteksi keberadaan kasus positif, meskipun hal tersebut telah dibantah berkali-kali oleh pemerintah maupun kelompok profesi. Adanya beberapa kasus yang terdeteksi positif di negara lain setelah mengunjungi Indonesia meningkatkan keraguan tersebut. Ada pendapat bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk melaporkan diri saat mengalami gejala-gejala menjadi salah satu sebab rendahnya kasus yang terdeteksi.
Saat ini Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan berbagai pedoman untuk menanggulangi penyebaran COVID-19 ini. Kemkes juga telah menetapkan lebihda ri 100 RS sebagai RS Rujukan COVID-19. Jika masyarakat atau RS lain menemukan kasus untuk segera berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat. Belajar dari keberhasilan Taiwan dalam menanggulangi penyebaran virus, seluruh komponen sistem kesehatan dan stakeholders terkait harus diaktivasi dan dikelola dalam suatu sistem komunikasi yang terkoordinir. Leadership ditingkat nasional dan regional sangat diperlukan. RS menjadi bagian dari sistem berperan sangat penting dalam menekan angka kematian dan penularan. Untuk itu kesiapan RS, khususnya RS Rujukan perlu difokuskan pada penyediaan kapasitas intensive dan critical care beserta seluruh sumber daya terkait (SDM, peralatan, logistik). RS nonrujukan perlu ditingkatkan juga kapasitasnya dalam mendeteksi kasus, karena sebagian besar masyarakat lebih mudah mengakses layanan kesehatan nonrujukan COVID-19.
Putu Eka Andayani
(Konsultan pada Divisi Manajemen Rumah Sakit
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK KMK UGM)
REFERENSI
- https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/03/02/810117760/lessons-from-u-s-hospitals-caring-for-covid-19-patients
- https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200309-sitrep-49-covid-19.pdf?sfvrsn=70dabe61_4
- https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S0140-6736%2820%2930522-5
- https://www.bbc.com/news/world-europe-51810673?fbclid=IwAR2NgP_J4gNnJUh1aQyufj2kh-RosphAt8xa-1dFKIXk08wYoyKQ_8UqbTA
- https://fsi.stanford.edu/news/how-taiwan-used-big-data-transparency-central-command-protect-its-people-coronavirus?fbclid=IwAR39pHpJhh91A0sjbOkIMiKDsTwnmkFIZ-ewSx0hzHru2VBAMWu29y2yldk
- https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762689
- https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-03-05/what-doctors-treating-covid-19-in-wuhan-say-about-the-virus
- https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-03-09/top-virus-doctor-says-high-blood-pressure-is-major-death-risk