Reportase
Webinar Pembahasan PMK 3/2020:
Kemungkinan Penerapan Single Tarif
PKMK – Lembang. PKMK menyelenggarakan webinar serial pembahasan PMK 3/2020 pada Rabu (19/2/2020) di Lembang. Sesi ini merupakan lanjutan diskusi Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020: Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS Dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi. Divisi manajemen rumah sakit Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan diskusi mengenai Kemungkinan tarif tunggal setelah terbitnya PMK Nomor 3/2020. Diskusi ini dimoderatori oleh Putu Eka Andayani, SKM, MKes dengan narasumber Yos Hendra, SE., MM., Ak., CA., M.Ec.Dev., MAPPI Cert (Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK UGM) dan dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS UNS), serta pembahas Suwanta (PERSI, Ketua Kompartemen Bina Pembiayaan Kesehatan)
Yos Hendra mengawali diskusi dengan pemaparan singkat mengenai tarif yang berlaku pada saat ini, yaitu tarif INA CBG’s. Pertanyaan ketika adanya isu tarif tunggal. Tarif mana yang tunggal? Apakah regionalisasi? Apakah status kepemilikan? Kelompok diagnosis? Kelas perawatan? Apakah berdasarkan klasifikasi kelas rumah sakit?. Regionalisasi, biaya distribusi berbeda – beda pada tiap daerah. Status kepemilikan, rumah sakit pemerintah terdapat subisidi pada biaya SDM dan aset tetap, rumah sakit swasta tanpa subsidi. Diagnosis dan kelas perawatan tentunya juga ada perbedaan pada biaya yang muncul. Dengan adanya PMK Nomor 3/2020 jumlah tempat tidur sebagai dasar klasifikasi kelas rumah sakit apakah memungkinkan apabila tarif tunggal diterapkan untuk klasifikasi kelas rumah sakit? Mungkin lebih mendekati apabila yang ditarifkan tunggal adalah klasifikasi kelas rumah sakit. Terkait dengan Perpres Nomor 82/2012 & UU SJSN bahwa BPJS dan Asosiasi mengusulkan dasar tarif mengusulkan kepada Permenkes untuk ditetapkan. Selanjutnya Yos Hendra menyatakan bahwa penghitungan unit cost untuk dasar tarif tunggal dilakukan pada rumah sakit kelas C dan D untuk kasus – kasus sederhana serta kasus – kasus kompleks dilakukan pada rumah sakit kelas A dan B.
dr Tonang Dwi Ardyanto sebagai narasumber kedua menyampaikan bahwa konsep mengenai single tarif itu awalnya belum ada. Tahun ini berharap grouping yang lebih Indonesia. PMK Nomor 3/2020, membuat perjenjangan tidak berlaku. Sustainabilitas JKN harus dipertimbangkan terlebih dahulu, dan CBG’s harus berubah. Tarif yang terjadi berarti di regional yang sama memiliki tarif yang sama. Namun prosedur canggih perlu diperhatikan juga, bagi rumah sakit pendidikan akan berat menjalaninya. Tarif tunggal akan membuat rumah sakit berpikir panjang, apakah bisa ditunda hingga Januari 2021? Agar ada masa untuk penyusunan standar pelayanan, bagaimana menilai pengembangan rumah sakit agar terjaga, juga agar rumah sakit ada waktu untuk strategi. dr Tonang menegaskan bahwa tarif tunggal harus dihitung dengan betul dan lebih akuntabel. Apabila, itu tidak dapat dikondisikan kapan penerapan tarif tunggal pertama, kapan penetapan standar kompetensi rumah sakit. Sebaiknya diupayakan menutup dulu defisit sekarang, agar rumah sakit dapat mengikuti peruabahan regulasi.
Suwanta menyatakan bahwa PERSI memiliki 50 sampel rumah sakit, masalahnya adalah bagaimana kecepatan data yang masuk ke PERSI, 10 sampel per regional. Rumah sakit yang dijadikan sampel adalah dengan rasio pendapatan dibagi aset sama dengan 1. Besaran pada distribusi ini sebarannya berapa dan menggunakan nilai tengah. Ada tim di kompartemen kami, penghitungan dengan Excel menggunakan goal seek. Pada kasus – kasus canggih akan mengundang PB IDI dan menghitung bersama dengan PERSI. Suwanta menegaskan rumah sakit yang menjadi sampel adalah yang tata kelolanya baik. Regulator harus terbuka, tarif tunggal tidak boleh mengorbankan mutu pelayanan rumah sakit, bagaimana apabila nantinya terjadi GAP. Apabila tarif tunggal belum dihitung, PERSI mengusulkan menggunakan tarif rumah sakit kelas B terlebih dahulu.
Beberapa masukan dari diskusi memperlihatkan bahwa dalam penerapan tarif tunggal harus memperhatikan perbedaan investasi dan biaya operasional rumah sakit. BPJS diuntungkan karena mudah dalam perhitungannya namun rumah sakit yang sulit (pusing). Apabila tidak ada data kemungkinan PMK – nya akan muncul ditambah 207 tindakan khusus rumah sakit kelas A dan B. Tarif tunggal bisa dilaksanakan namun harus memperhatikan beberapa aspek karena tidak semua aspek bisa dijadikan tunggal. PERSI dan BPJS harus duduk bersama untuk melakukan pengusulan tarif.
Pada akhir diskusi, Prof Laksono menyampaikan tentunya semua akan terkait dengan kompetensi. Hal yang mendasar, sebaiknya dilakukan pertemuan awal antara PERSI dengan BPJS. Poin ini yg paling penting yang terjadi selama 6 tahun ini ada data empirik dan riil. Pertama kalinya mungkin antara BPJS dan PERSI duduk bersama dan BPJS yang mempunyai data dan harus dibuka, harus dikawal IAI dan pasti akan diperiksa oleh BPKP juga. Ketika masuk ke topik ini, ada suatu ujicoba di DKI dan kita akan melihat prosesnya juga yang harusnya bagaimana. Kita lihat pricing berbasis biaya, pemerintah dan BPJS ini juga mendorong untuk efisiensi, misal katarak lensanya bermacam – macam apakah sampai bahan seperti ini masuk e – katalog sehingga akan terjadi pricing yang sangat detil sampai ke bahan habis pakainya. Kita belum pernah masuk kepada BPJS dan PERSI yang seperti ini, kita akan masuk ke situ. BPJS purchaser yang besar, UGM membuka pemikiran yang segar dan akan lebih berkembang.
Reporter: Husniawan Prasetyo