Reportase Webinar
Diskusi PMK Nomor 3 Tahun 2020 dari
Perspektif Pengelola Rumah Sakit
Kamis, 6 Februari 2020
Pengantar
Diskusi ini dimoderatori oleh Putu Eka Andayani, SKM, MKes dengan narasumber tunggal Dr. dr. Beni Satria, S.Ked., M.Kes., SH, MHKes. Dr. Beni seorang pakar dan praktisi muda dari kota Medan yang sangat aktif dalam pembahasan kebijakan dan manajemen RS di Indonesia. Forum ini juga bagian dari program FK-KMK UGM untuk memberi kesempatan para pemikir muda kebijakan dan manajemen kesehatan Indonesia untuk memaparkan buah pikirannya.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD membuka diskusi dengan memaparkan bahwa setiap kebijakan memiliki siklus sebagai berikut:
Gambar 1. Siklus Kebijakan
PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini melewati fase tersebut. Diskusi ini membahas fase awal dari implementasi kebijakan tersebut. Diskusi ini memang bertujuan mengumpulkan pendapat dari perspektif praktisi RS. Dalam diskusi telah terkumpul dan pandangan para peserta webinar mengenai yang yang positif (mendukung) dan apa yang negatif dari kebijakan di atas.
Paparan
Dari paparan dr. Beni, secara umum menyatakan bahwa PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini cenderung positif bagi pelaku pelayanan, khususnya swasta. Hal ini karena PMK membuka peluang yang lebih bagi RS kelas C dan Kelas D untuk memiliki dokter spesialis, bahkan sub spesialis. Terdapat banyak masalah pada implementasi JKN yang akan sedikit banyak teratasi, misalnya terkait defisit. Dengan diperbolehkannya dokter spesialis bekerja di RS Kelas D, pasien tidak perlu dirujuk terlalu jauh ke RS rujukan provinsi atau rujukan pusat di kota besar, dan klaim ke BPJS pun sesuai dengan kelas RS tersebut. Dr. Beni menyatakan bahwa kastanisasi RS menjadi berkurang.
Gambar 2. Narasumber Dr Beni via Webinar
Diskusi ini mencatat beberapa pandangan yang terkesan negatif terhadap Permenkes ini. Beberapa instalasi dan profesi mengalami perubahan pengelompokkan dan uraian tugas yang dinilai merugikan. Misalnya Instalasi Gizi, dalam PMK Nomor 3 Tahun2020 ini tanggung jawab klinisnya tidak diuraikan lagi sehingga seolah – olah Instalasi Gizi hanya sebagai produsen makanan. Demikian juga dengan profesi farmasi, rehabilitasi medis dan sebagainya yang tidak lagi tergolong pada kelompok penunjang medis melainkan sebagai kelompok non medis.
Menurut Dr. Beni, hal – hal yang tidak diatur PMK Nomor 3 Tahun 2020 bukan berarti dihilangkan, melainkan akan diatur pada peraturan lain, termasuk tentang sistem rujukan. Prinsipnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini adalah peraturan tentang klasifikasi dan perizinan RS. Positifnya, PMK ini memberi peluang bagi RS yang belum mampu menyediakan fasilitas atau unit layanan tertentu untuk bekerjasama dengan pihak lain (perusahaan penyedia jasa atau RS lain) untuk melengkapi pelayanan di RS tersebut. Juga harus diingat bahwa ada peraturan – peraturan lain yang juga harus diacu, misalnya yang terkait dengan akreditasi. Untuk paparan lengkap dr. Beni silahkan klik di sini.
Penutup
PMK ini memang perlu dimonitoring dan dievaluasi pelaksanaannya. Diskusi ini merupakan awal dari kegiatan monitoring dan evaluasi kebijakan. Dalam diskusi ini telah dikumpulkan secara tertulis pendapat-pendapat yang ada. Pendapat tersebut akan dianalisis dan akan dibahas dalam acara Policy Dialog dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam waktu beberapa minggu ke depan.
Namun sebelum Policy Dialog, akan ada kegiatan terkait dengan Permenkes 3/2020 yaitu:
Outlook Arah Kebijakan Sistem Rujukan di Indonesia dengan tema Sistem Rujukan Paska Terbitnya PMK No. 3/2020: Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi, di Hari Kamis, 13 Februari 2020.
Silahkan klik untuk mempelajari kegiatan mendatang. Sampai bertemu kembali.
Perlu segera terbit peraturan lain yang mengatur ttg Tenaga Kesehatan lain yang menjadi PPA seperti farmasis, nutrisionis, fisioterapis/rehabilitasi medis dll,