Reportase
IHF World Hospital Conference
Hari Ke – 2
Panel Discussion: The role of hospitals in support of universal health coverage
Hari 1 Bagian 1 | Hari 1 Bagian 2 | Hari 2 Bagian 1 | Hari 2 Bagian 2
Kegiatan hari ke – 2 diawali dengan opening keynote yang disampaikan oleh Dr. Ahmed Al Mandhari selaku direktur regional WHO Eastern Mediterranean Regional Office (EMRO). Dalam pemaparannya, Ahmed menekankan kembali akan peran penting rumah sakit dalam pemenuhan indikator Sustainable Development Goals (SDGs). Rumah sakit diharapkan mampu bertransformasi, menyesuaikan diri dengan kebutuhan universal health coverage (UHC) untuk mencapai pelayanan kesehatan yang komprehensif, berkualitas, dan tanpa menyebabkan kesulitan finansial bagi masyarakat. Dalam mewujudkannya, metode inovatif perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan: 1) integrasi layanan kesehatan; 2) pelayanan berbasis pasien; dan 3) fokus pada layanan primer.
Dalam bertransformasi, WHO berprinsip bahwa rumah sakit perlu mengadopsi konteks lokal dalam pengembangan layanan kesehatannya. Hal ini mendorong adanya variasi transformasi berdasarkan prioritas yang ditentukan masing – masing negara. Secara spesifik, pembicara memberikan gambaran mengenai Visi 2023 regional Timur Tengah (dapat disimak di: http://www.emro.who.int/about-who/vision2023/vision-2023.html), dimana salah satu inisiatifnya adalah pengembangan regional framework untuk transformasi rumah sakit.
Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, ikut memberikan pendapat melalui video singkatnya bahwa saat ini 193 negara sudah menerapkan UHC. Rumah sakit merupakan pemeran utama yang diharapkan memiliki kapasitas dan fasilitas untuk berkinerja di bidang pelayanan komprehensif. Realitanya, 40% negara di dunia masih memiliki rasio tempat tidur rumah sakit < 18 per 10.000 penduduk. Selain itu, mayoritas rumah sakit masih sulit untuk menerapkan personalised healthcare dan rentan kinerjanya apabila berada di situasi gawat darurat dan krisis. Untuk itu, sistem kesehatan memerlukan rumah sakit yang telah bertransformasi, dengan mindset pendekatan berbasis populasi dan mampu berkolaborasi dengan penyedia layanan kesehatan di tingkat lokal.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Dr. Edward Kelley, selaku Director of the Department of Integrated Health Services di WHO. Pembicara menekankan bahwa terdapat dua hal yang perlu dijadikan prinsip rumah sakit dalam berkinerja: UHC dan pelayanan kesehatan terintegrasi. Saat ini, WHO terus berupaya mengoptimalkan capaian UHC yang menuntut pelayanan komprehensif, kualitas, dan efisiensi. Hasil analisis agregat menunjukkan bahwa:
- Capaian UHC telah berada di jalur yang benar, namun belum mencapai target yang diharapkan;
- Dampak finansial bagi individu/keluarga untuk mengakses pelayanan kesehatan masih signifikan oleh karena tingginya rasio out of pocket;
- Banyaknya dana yang disediakan oleh suatu negara dalam mendukung UHC, belum tentu memberikan dampak positif bagi masyarakat. Secara umum, meskipun coverage membaik, terkadang efisiensi dan ekuitas masih sulit diwujudkan.
WHO merekomendasikan konsep people centred care, dimana pelayanan kesehatan merupakan hasil co creation berbasis kebutuhan pasien dan masyarakat. Kerja sama yang aktif dengan masyarakat diharapkan dapat mewujudkan:
- Pelayanan kesehatan yang menghormati, memberikan informasi, mengikutsertakan, mendukung, dan menghargai pasien/masyarakat;
- Right care on the right time and right place.
WHO berkomitmen melalui Deklarasi Astana (https://www.who.int/docs/default-source/primary-health/declaration/gcphc-declaration.pdf) yang mereorientasi inti pelayanan kesehatan untuk berada di ranah layanan primer dan kesehatan masyarakat. Aspek promotif preventif menjadi kunci dalam setiap aktivitas layanan kesehatan, dan rumah sakit diharapkan dapat bertransformasi untuk mendukung konsensus global tersebut. Konsep health promoting hospital (http://www.searo.who.int/entity/healthpromotion/Health-promoting-hospital/en/) dapat menjadi starting point dalam proses transformasi rumah sakit dalam mendukung UHC.
Proses transformasi ini menuntut komitmen rumah sakit untuk secara internal memperkuat kinerjanya melalui pelayanan terintegrasi dan secara eksternal mengembangan model partnership dengan pelayanan kesehatan lain di berbagai level.
Pemaparan dari kedua pembicara diatas kemudian dibahas oleh beberapa panelis, diantaranya:
- Menteri Kesehatan Afghanistan: Sistem kesehatan di Afghanistan sendiri baru mulai ditata pada 2002, dengan menggunakan pendekatan post conflict system. Secara umum, hal yang pertama dilakukan adalah penguatan sumber daya dengan berbasis pada impact dan bagaimana masyarakat dapat mudah mengakses layanan rumah sakit. Kebijakan mengenai rumah sakit sendiri saat ini masih berfokus pada pengadaaan infrastuktur dan sumber daya. Transformasi rumah sakit ber – mindset UHC mulai diiniasi, namun menemui banyak tantangan karena dalam situasi krisis, pendekatan kegawatdaruratan lebih diprioritaskan.
- Menteri Kesehatan Kesultanan Oman: Sistem kesehatan komprehensif sendiri baru dibangun pada 1970, dengan healthcare education sebagai fokus utama dalam menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Saat ini, terdapat ±000 dokter dan ±20.000 perawat yang telah dididik untuk berfokus pada promosi kesehatan. Panelis menekankan bahwa dalam situasi damai, tantangan utama sistem kesehatan lebih bersifat internal, untuk menyamakan persepsi dan berintegrasi dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang komprehensif.
- IHF Young Leaders: SDM belum dipersiapkan untuk siap bekerja di ranah primer, karena banyak pelajar kesehatan dididik di dalam ‘tembok’ rumah sakit yang cenderung kuratif dan rehabilitatif. Stakeholder diharapkan dapat memfasilitasi proses pembelajaran di rumah sakit yang berbasis kebutuhan masyarakat, melalui kolaborasi antara rumah sakit dan sentra layanan primer. Di samping itu, interprofessional collaboration dan people centred approaches penting untuk diadopsi rumah sakit untuk mewujudkan institusi yang memiliki tanggung jawab sosial.
Reporter: Haryo Bismantara (HPM UGM)