Kamis lalu tepatnya tanggal 3 September 2019, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan bekerja sama dengan PT. INUKI (Idustri Nuklir Indonesia) (Persero) menggelar sebuah seminar yang dikemas dalam bentuk webinar bertajuk ‘’Equilibrium Pelayanan Pet Scan di Indonesia”. Webinar yang dilaksanakan di Gedung Pusat Penelitian FK-KMK UGM, Yogyakarta ini bersifat gratis bagi siapapun yang tertarik mengenai pelayanan PET-SCAN di Indonesia.
Peserta yang mengikuti seminar ini datang dari berbagai bidang, baik akademisi, tenaga medis, pakar-pakar kesehatan, pemegang kebijakan, pakar hukum, media maupun mahasiswa. Dalam seminar berdurasi 3 jam ini, sebanyak lima narasumber diundang untuk memberikan ilmu dan berbagi pengalaman mereka. Hans Wijaya (CEO National Hospital Surabaya), Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., Ph.D (Akademisi/Peneliti FKKMK UGM), Bunjamin Noor (Production and Sales Director PT.INUKI (Persero)), dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes (Ketua Umum PERSI), dan Dr.M.Luthfie Hakim, SH, MH (Pakar Hukum Kesehatan) adalah nama-nama narasumber yang diundang dalam acara ini.
Setelah acara dibuka oleh moderator seminar, Ni Luh Putu Andayani, perwakilan dari PT. INUKI (Persero) yaitu Bunjamin Noor menyampaikan sambutannya. Dalam sambutan itu, beliau mengatakan bahwa saat ini pengembangan pelayanan kesehatan khususnya dalam pemeriksaan kanker sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Untuk mendeteksi kanker, penerapan teknologi tentunya akan mempermudah dan meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan, salah satu contohnya adalah menggunakan teknologi Siklotron & PET/ CT. Bunjamin mengatakan bahwa di negara lain jumlah pelayanan kedokteran nuklir sudah mencapai 2-4 pusat untuk 1 juta penduduk, sedangkan di Indonesia hingga saat ini hanya terdapat 4 pusat pelayanan kedokteran nuklir untuk 260 juta penduduk.
INUKI (Persero) sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang radioisotop memiliki sebuah program terbaru yang mengusung motto “PET for everyone”. Dalam program ini PT. INUKI berencana untuk melakukan distribusi teknologi Siklotron & PET/CT kepada rumah sakit – rumah sakit di Indonesia. “INUKI berencana menempatkan 4 siklotron pada program pertama kami yaitu di Sumatera, Jakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Beberapa daerah lain juga sudah menunjukan ketertarikan terhadap hal ini seperti di Jawa Barat. Harapan kami program ini terus berkembang hingga nanti pada program kedua kami di tahun 2022 akan menjadi 10-12 siklotron yang terdistribusi ke bagian Indonesia yang lain” ungkap Bunjamin.
Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes , sebagai ketua umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyatakan dukungannya terhadap hal ini. Beliau menyetujui bahwa permasalahan di Indonesia saat ini terutama dalam pemeriksaan kanker adalah kurangnya kemampuan untuk early detection atau deteksi dini menggunakan teknologi mutahir. Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan bahwa 10 besar diagnosis yang dapat dideteksi secara dini dengan penggunaan teknologi PET/CT yaitu: kanker payudara; kanker paru; kanker kelenjar limfe; kanker ovarium; kanker kolon; kanker nasofaring; kanker servik; kanker endometrium; kanker rektum dan kanker-kanker non-spesifik yang tumor primernya sulit dilacak.
Sebagai ketua umum PERSI, dr. Kuntjoro juga berharap bahwa kedepannya PET / CT dapat dimanfaatkan oleh rumah sakit yang memiliki pusat kanker terpadu, pusat jantung terpadu ataupun pusat otak terpadu. Permasalahan yang sering muncul di Indonesia adalah kurangnya persiapan yang menyeluruh dari rumah sakit dalam memberikan pelayanan kanker. Tiga aspek yang seharusnya dimiliki dalam pelayanan yaitu peralatan, radiofarmaka, SDM kadang tidak terpenuhi secara keseluruhan. Beberapa rumah sakit hanya memiliki alat namun tidak memiliki SDM begitu juga sebaliknya. Ada pula rumah sakit yang telah siap dalam hal alat dan SDM namun tidak memiliki Hot Lab atau perijinan Bapeten yang menjadi syarat dalam penggunaan radioisotope dalam pelayanan kesehatan. Di akhir penuturannya, dr.Kuntjoro menyampaikan usulan PERSI dalam pengembangan layanan ini, beberapa diantaranya adalah: menjaga kualitas pelayanan dengan mengikuti audit dan survey terfokus; revisi peraturan yang ada mengenai pelayanan kesehatan menggunakan radioisotop karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada saat ini; pelatihan terhadap SDM pemberi layanan; serta perlunya kerjasama dengan pihak ketiga dalam pengadaan teknologi.
Menyambung penuturan dr.Kuntjoro, Bunjamin Noor mengatakan bahwa pihaknya akan bercita-cita menjadi center of excellence di bidang kedokteran nuklir dalam mendukung program pemerintah, Indonesia Sehat. Tidak hanya berencana melakukan distribusi alat namun PT. INUKI juga akan memberikan beasiswa dalam bidang kedokteran nuklir untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM. “Inuki akan bertransformasi sebagai center of excellent di bidang nuclear medicine dan mendorong sinergi antar kementerian/lembaga yang terkait untuk pengembangan siklotron di Indonesia serta membantu mewujudkan nawacita Presiden Republik Indonesia, yaitu Indonesia Sehat,” ungkap Bunjamin.
Sebagai akademisi sekaligus peneliti, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., Ph.D memaparkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, petumbuhan rumah sakit di Indonesia didominasi oleh RS swata profit. Sedangkan untuk rumah sakit umum pemerintah yang sebagian besar bekerja sama BPJS mengalami pertumbuhan yang tidak begitu cepat. Hal ini diakibatkan oleh daya beli rumah sakit yang kurang terhadap teknologi-teknologi mutahir yang ada saat ini guna pelayanan kesehatan, dimana permasalahan ini penting untuk dicari jalan keluarnya. Beliau juga menyetujui peryataan narasumber-narasumber sebelumnya bahwa peraturan yang ada saat ini mengenai pelayanan berbasis radionuklir harus diubah karena sudah cukup tertinggal.
CEO National Hospital Surabaya, Hans Wijaya, dalam penuturannya mengatakan bahwa saat ini yang menjadi issue di rumah sakit mengenai PET Scan adalah: kemampuan deteksi dini yang masih kurang, kurangnya fasilitas PET Scan di Indonesia; dan kewajiban untuk memilki siklotron sendiri untuk rumah sakit. Deteksi dini yang masih kurang dalam pemaparan detail oleh Hans Wijaya, diakibatkan oleh beberapa hal yang meliputi kesadaran masyarakat akan kanker yang masih rendah, kemampuan beli masyarakat yang rendah derta prognosa kanker yang kurang baik di Indonesia. Adapun mengenai kurangnya fasilitas siklotron & PET Scan, hal ini menjadi issue karena estimasi biaya untuk mengadakan 1 buat siklotron dan PET / CT adalah 65 milyar rupiah. Melihat dari estimasi tersebut tentu ini adalah sebuah investasi besar yang masih beresiko tinggi, ditambah lagi dengan ketersediaan SDM ahli di Indonesia yang masih sangat minim. Hans mengatakan, pihaknya memiliki sebuah usulan agar kedepannya dibuatkan sebuah sharing facility di suatu daerah untuk penggunaan siklotron, sehingga akhirnya rumah sakit hanya perlu membeli alat PET scan untuk kemudian dirujuk ke sharing facility untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini tentunya akan menghemat investasi yang perlu dikeluarkan rumah sakit.
Sebagai pakar hukum kesehatan, Dr. M. Luthfie Hakim sependapat mengenai peraturan yang dianggap sudah usang, dalam hal ini adalah PMK 1248/2009. Salah satu peraturan yang dianggap patut direvisi adalah dimana di dalam peraturan tersebut siklotron harus berada di rumah sakit untuk digunakan oleh PET / CT Scan pada rumah sakit tersebut. Peraturan ini membuat biaya investasi yang diperlukan oleh rumah sakit untuk pengadaan alat sangat tinggi sehingga banyak rumah sakit mengurngkan niatan ini. Pembaharuan atau refreshment perlu dilakukan dan dimulai dengan mengadakan FGD dimana ide-ide pengembangan pelayanan berbasis radioisotop didiskusikan hingga nantinya akan naik secara bertahap hingga revisi peraturan oleh legislative yang berwenang.
Di pengunjung sesi narasumber, Hans Wijaya, CEO National Hospital Surabaya menambahkan mengenai pentingnya pengembangan PET / CT dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa saat ini sedikitnya 120 milyar rupiah / tahun keluar dari Indonesia dikarenakan banyaknya masyarakat yang memilih berobat di luar negeri salah satunya untuk mendapat pelayanan PET / CT. Hal ini tentunya berdampak pada perekonomian dimana seharusnya jumlah tersebut menjadi devisa negara. Dalam kalimat penutupnya Hans Wijaya mengutarakan harapannya agar kedepannya pengadaan siklotron & PET / CT ini juga menjadi salah satu komoditas yang dijual jika di Indonesia dibentuk sebuah wisata kesehatan seperti yang tengah marak di negara lain. Wisata Kesehatan dapat difokuskan pada daerah-daerah yang menjadi daerah pariwisata mancanegara seperti Bali. Sehingga diharapkan kementrian kesehatan dapat mengikutsertakan kementrian pariwisata untuk mewujudkan hal ini. (Saraswati S Putri)
Referensi :
Webinar ‘’Equilibrium Pelayanan Pet Scan di Indonesia”, Kamis 3 September 2019