SANGATTA – Direktur RSU Kudungga Sangatta, Anik Istiandari membantah adanya tindakan yang diduga fiktif oleh BPJS Kesehatan Cabang Kutai Timur.
Dan harus mengembalikan biaya yang sudah dibayarkan atas tindakan medis tersebut, sebesar Rp 680 jutaan.
Menurutnya, tindakan medis phacoemulsifikasi dilakukan pada 2016 hingga 2017 lalu dan klaim sudah dibenarkan oleh dokter spesialis mata yang bertugas saat itu.
Tidak benar jika disebut fiktif. Hanya saja dalam verifikasi yang dilakukan BPJS Kesehatan, tindakan medis phacoemulsifikasi dianggap tidak mungkin dilakukan sesuai standar BPJS Kesehatan, karena tidak adanya alat pendukung tindakan medis.
“Mereka mengklaim, tindakan medis yang dilakukan bukan phacoemulsifikasi. Tapi tercatat, sebagai prosedur Small Incision of Cataract Senilis (SICS) dengan kode prosedur 13.19-other intracapsular extraction of lens,” beber Anik, Kamis (22/8).
Seperti diberitakan kemarin, BPJS Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, pada pertemuan forum kemitraan dan program kemitraan pemangku kepentingan Kabupaten Kutai Timur, Rabu (21/8), menagih pembayaran kembali terhadap incorrect claim yang ditagihkan RSUD Kudungga Sangatta pada 2016-2017.
Permintaan pengembalian dana yang telah terbayar sebesar Rp 680 juta tersebut. diungkapkan Kepala Cabang BPJS Kesehatan Kutai Timur, Ika Irawati.
Menurutnya, incorrect claim yang ditagih BPJS Kesehatan, untuk pembayaran tindakan phacoemulsifikasi di rumah sakit tersebut, pada 2016-2017.
Namun setelah dilakukan audit, alat untuk tindakan tersebut belum ada di tahun 2016-2017. Sehingga ada dugaan tagihan fiktif.
“Diketahuinya, saat dilakukan audit tagihan RSUD Kudungga Sangatta. Ada item pelayanan yang ditagihkan, namun pada 2016-2017, RSUD Kudungga tidak memiliki alat untuk pelayanan tersebut.
Karena alatnya tidak ada, tentu pelayanannya tidak ada. Tapi ditagihkan. Jadi kami minta agar biaya pelayanan tersebut, sebesar Rp 680 juta, dikembalikan,” ungkap Ika.
Permintaan pengembalian incorrect claim tersebut, menurut Ika sudah dilayangkan BPJS Kesehatan Sangatta pada RSUD Kudungga. Namun belum mendapat respon. Sehingga dibeberkannya pada pertemuan bersama instansi terkait lainnya di Kantor Bupati Kutim, kemarin.
Kalau memang ada kesalahan tindakan medis, menurut Anik, BPJS Kesehatan seharusnya menolak atau mencoret tagihan tersebut sejak awal berkas disodorkan oleh RSUD Kudungga. Karena selama ini pun, bila tagihan dianggap tidak sesuai dengan prosedur BPJS Kesehatan, pasti dilakukan penolakan atau pencoretan.
“Untuk yang diklaim BPJS Kesehatan kali ini, sudah diverifikasi dari petugas BPJS kesehatan di rumah sakit, pihak BPJS Kesehatan Kutim sampai dengan BPJS Kesehatan Kaltim di Samarinda.
Tidak ditemukan kesalahan. Bahkan, soal incorrect claim tersebut sudah mendapat rekomendasi dari tim pemeriksa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim.
Disebutkan, kesalahan terjadi tidak hanya pada RSUD Kudungga, tetapi juga di pihak BPJS Kesehatan,” ungkap Anik.
Ia pun mengatakan tak perlu membesar-besarkan masalah tersebut. Karena hingga saat ini pun BPJS Kesehatan masih menjalin kemitraan dengan RSU Kungga. Selain itu, BPJS Kesehatan pun masih memiliki utang yang belum terbayar pada rumah sakit, dengan nilai yang mencapai miliaran rupiah.
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut penyebab kenapa BPJS Kesehatan kerap mengalami defisit.
Hal ini terugkap dalam Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas permasalahan BPJS Kesehatan, Rabu (21/8).
Rapat tersebut terutama membahas permasalahan keuangan BPJS Kesehatan yang mengalami pembengkakan defisit setiap tahunnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu penyebab utama permasalahan defisit saat ini ialah ketidakmampuan BPJS Kesehatan mengumpulkan penerimaan yang seharusnya.
“Terutama peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja yang tidak membayar teratur, namun sebagian besar menikmati layanan sehingga BPJS Kesehatan mengalami situasi sekarang,” ujar dia.
Per 1 Agustus 2019, Sri Mulyani mengungkapkan, total peserta JKN mencapai 223,35 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung APBN sebanyak 96,59 juta jiwa dan PBI ditanggung APBD sebanyak 37,34 juta jiwa.
Selain itu, peserta dari pekerja penerima upah (PPU) pemerintah yang meliputi ASN, TNI dan Polri sebanyak 17,54 juta jiwa. PPU Badan Usaha yang meliputi BUMN dan badan swasta lainnya sebanyak Rp 34,13 juta jiwa.
Sementara, peserta bukan penerima upah (PBPU) sebanyak 32,59 juta dan peserta bukan pekerja (pensiunan) sebanyak 5,16 juta.
Selama ini, pemerintah bertanggung jawab menanggung iuran untuk PBI dan PPU Pemerintah. Alokasi bantuan iuran yang dianggarkan pun terus meningkat sejak 2014-2018.
Realisasi bantuan iuran untuk PBI naik dari 19,9 triliun di 2014, menjadi Rp 25,5 triliun seiring dengan kenaikan jumlah peserta menjadi 96,8 juta jiwa. Adapun, realisasi bantuan iuran PPU Pemerintah naik dari 4,5 triliun menjadi Rp 5,4 triliun di 2018.
“Seluruh kewajiban pemerintah untuk membayar, kami bayar tidak hanya tepat waktu, bahkan lebih cepat dari waktu untuk membantu arus kas BPJS,” tutur Sri Mulyani.
Oleh karena itu, permasalahan terdapat pada tingkat kepesertaan aktif PBPU yang masih rendah, yaitu hanya 53,72%. Selain itu, permasalahan juga bersumber dari kecurangan (fraud) yang dilakukan pihak rumah sakit pelaksana sistem JKN.
Sri Mulyani menjelaskan, hasil audit BPKP menemukan kasus adanya rumah sakit yang memanipulasi kategori kelasnya untuk mendapat dana lebih besar dari seharusnya.
Seperti yang diketahui, rumah sakit pelaksana JKN terbagi ke dalam kategori A, B, C, dan D dengan rumah sakit kategori A memiliki biaya paling besar dan kategori D dengan biaya paling kecil.
“Ini yang coba dirapikan oleh Kementerian Kesehatan sekarang dengan melakukan review penggolongan seluruh rumah sakit,” pungkasnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan Sri Mulyani, total fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per Juli 2019 mencapai 25.528.
Terdiri dari faskes tingkat pertama (FKTP/klinik dan puskesmas) sebanyak 23.075 dan faskes rujukan tingkat lanjut (FKRTL/rumah sakit) sebanyak 2.453.
Dari hasil audit BPKP, total pemanfaatan faskes per akhir 2018 mencapai 233,9 juta. Dengan frekuensi pemanfaatan per harinya sebanyak 640.822.
“Ini frekuensi layanan yang sangat tinggi dan jumlah pemanfaatan yang lebih besar juga dari jumlah pesertanya,” tandas Sri Mulyani.
Sumber: tribunnews.com