Kesalahan dalam lingkungan rumah sakit merupakan hal yang sulit untuk dihindari, beberapa istilah terkait dengan hal ini seperti kejadian tidak diharapkan (adverse event), kejadian nyaris cidera (near miss), kejadian tidak cidera, kejadian potensial cidera dan kejadian sentinel. Pada 2009, US Institute of Medicine (IOM) melaporkan terkait keamanan pasien dengan angka kematian terendah akibat kejadian tidak diharapkan rumah sakit mencapai 44.000. Angka ini tidak jauh dengan laporan kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun yang sama yaitu 43.598 kematian. Angka yang telah disebutkan di atas juga tidak lepas dari bias yang sering ditemukan di organisasi kesehatan seperti akibat kesulitan dalam pelaporan, ketakutan akan litigasi medis, kurangnya definisi yang jelas, tidak tampak adanya manfaat dari pelaporan, atau akibat budaya menyalahkan. Sekitar 10% pasien di rumah sakit mengalami kejadian yang seharusnya dapat dicegah. Menurut perkiraan tersebut, rumah sakit dapat digolongkan sebagai organisasi dengan risiko tinggi. Jika dibandingkan dengan High Reliability Organization seperti perusahaan penerbangan komersial dengan 369 kejadian fatal, maka dapat dilihat adanya perbedaan yang cukup besar dari kedua organisasi ini.
High Reliability Organization (HRO) merupakan sistem sosial yang telah mengembangkan budaya yang peka terhadap keselamatan, sehingga memungkinkan pegawai untuk mengatasi suatu ancaman yang tidak pasti dan time dependent. Weick dan Sutcliffe menggambarkan HRO sebagai suatu lingkungan dengan “perhatian kolektif” dimana setiap pegawai mencari dan melaporkan, masalah kecil atau kondisi yang tidak aman sebelum menimbulkan risiko terhadap organisasi dan saat masalah tersebut mudah untuk diperbaiki. HRO mengidentifikasi kesalahan dan potensi kecelakaan yang kemudian dianalisa untuk kemudian dipahami hal – hal yang menyebabkan kecelakaan tersebut. Beberapa contoh HRO seperti penerbangan komersial, pembangkit listrik tenaga nuklir hingga taman hiburan.
Weick dan Sutcliffe menjabarkan prinsip dari HRO menjadi lima poin. HRO disibukkan dengan kegagalan (preoccupied with failure), dimana organisasi tersebut tidak akan puas jika tidak menemukan kesalahan, dan setiap pegawai peka terhadap hal – hal yang berpotensi mengancam keselamatan. Selain itu, HRO menghindari penyederhanaan suatu observasi (avoidance of simplifying interpretations) karena ancaman merupakan hal yang kompleks dan dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Organisasi dengan keandalan yang tinggi juga peka terhadap suatu operasi (sensitivity to operations), dimana organisasi tersebut dapat mengenali perubahan kecil dari keseharian organisasi tersebut. Informasi menjadi hal yang vital dan merupakan suatu prioritas, oleh karena itu pegawai akan didorong untuk menyuarakan kekhawatiran dan memahami bahwa hal tersebut juga merupakan suatu kewajiban. Prinsip keempat dari HRO adalah komitmen terhadap ketahanan (commitment to resilience). Keunggulan dari HRO bukanlah tidak adanya suatu kesalahan namun kesalahan tidak akan mengganggu operasi dari organisasi tersebut, apabila terdapat ancaman maka pegawai dapat mencegah atau meminimalisir dampak dari ancaman tersebut. Prinsip terakhir dari suatu HRO adalah penghargaan terhadap suatu keahlian (deference to expertise), dimana apabila ditemukan masalah maka organisasi mampu menemukan individu atau kelompok dengan keahlian yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemudian individu atau kelompok tersebut diberikan wewenang untuk membuat keputusan dalam menghadapi ancaman tersebut.
Apakah rumah sakit dapat menjadi High Reliability Organization? Sebagai salah satu organisasi dengan risiko tinggi dalam lingkungannya, rumah sakit tentu diharapkan menjadi seperti HRO yang mampu meminimalisir kesalahan. Namun, rumah sakit sendiri masih jauh dari gambaran HRO. Beberapa perbedaan utama rumah sakit dan HRO tradisional dapat dilihat pada Tabel 1. Kelima prinsip HRO sendiri masih jarang ditemukan dalam lingkungan rumah sakit. Jika dibandingkan dengan HRO yang mementingkan menghindari kegagalan, rumah sakit dan organisasi kesehatan lain menerima kegagalan sebagai suatu yang tidak dapat dihindari dari keseharian organisasi tersebut. Meskipun kesalahan fatal masih tergolong jarang terjadi, namun hal ini justru mendukung ketenangan bahwa hal ini mungkin tidak terjadi pada individu, yang kemudian menganggap bahwa sistem keamanan yang ada sudah cukup baik. Sikap lainnya yang juga belum dimiliki adalah kemampuan untuk tidak menyederhanakan usaha untuk mendorong keselamatan, dimana adanya kecenderungan untuk menggunakan satu prosedur untuk menyelesaikan berbagai masalah. Contoh yang dimaksud dalam hal ini, seperti usaha untuk mencegah terjadinya kesalahan lokasi operasi dengan menggunakan tiga langkah sederhana yaitu memastikan identitas pasien dan prosedur yang akan dijalankan, menandai lokasi operasi dan melakukan “time-out” sebelum operasi dimulai. Ketiga langkah di atas belum dapat menutup kemungkinan kesalahan terjadi pada saat proses penjadwalan operasi, sehingga kita dapat melihat bahwa solusi dari suatu ancaman kesalahan tidak dapat menggunakan hanya satu prosedur.
Tabel 1. Perbedaan Utama Rumah Sakit dan HRO Tradisional (Bagnara et al., 2010)
Hospitals | High-risky organizations |
Small but frequent accidents | Few accidents |
Epidemics | Catastrophes |
Designated victim : patient | Designated victim : operator |
Double human being systems | Human-artifact systems |
Emotional, negotiation based decision-making | Rational decision-making |
Ever-changing organizations | Stable organizations |
Diverse interactions | Defined interactions |
Experimentation-based practice | Procedure-based practice |
Beberapa hambatan ditemukan oleh Bagnara et al., yang mencegah rumah sakit menjadi organisasi dengan keandalan yang tinggi. Hambatan yang pertama adalah praktik pembatasan kinerja maksimal (limitations on maximum performance) yang sulit diterima. Ketika seorang ahli menantang batasan keamanan pada saat bekerja untuk mencapai kinerja yang maksimal, maka risiko menjadi lebih tinggi. Hambatan lainnya yaitu penolakan untuk meninggalkan otonomi profesional, dimana tenaga medis diharapkan untuk tidak bertindak hanya sesuai dengan prinsip yang dimiliki oleh tenaga medis tersebut. Namun, jika dibandingkan dengan pengendara mobil, maka setiap pengendara meskipun memiliki tujuan masing – masing harus tetap dapat membagi jalanan dengan pengendara lainnya. Hambatan ketiga adalah terkait dengan perlawanan terhadap perubahan mindset dari pola pikir pengrajin dengan pola pikir aktor yang setara (transition from the mindset of craftsman to that of an equivalent actor), dimana hal ini hanya bisa dihilangkan jika hambatan kedua telah diatasi. Hambatan yang keempat adalah kecenderungan tenaga medis untuk melindungi diri dalam tingkat individu dan hambatan kelima berasal dari perverse effect of excellence. Hambatan terakhir berasal dari berbagai hambatan untuk meningkatkan keamanan, seperti sistem yang terlalu kompleks, atau ketakutan untuk melaporkan, atau banyaknya waktu yang habis pada saat pelaporan. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk tidak melaporkan suatu kesalahan.
Berbagai hambatan yang ditemui dalam mendorong rumah sakit sebagai HRO, tidak berarti bahwa kita tidak berusaha untuk menjadikan rumah sakit menjadi lingkungan yang lebih aman. Namun, hal ini menunjukkan bahwa berbagai cara untuk mengutamakan keselamatan dari berbagai sektor sebaiknya lebih diteliti dan tidak hanya ditiru. Beberapa modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada dalam lingkungan rumah sakit. (Alvina Simanjuntak)
Referensi
Bagnara S, Palangeli O, Tartaglia R. Are hospitals becoming high reliability organizations?. Applied Ergonomics. 2010; 41: 713-718
Chassin MR, Loeb JM. High-Reliability Health Care: Getting There from Here. The Milbank Quarterly. 2013; 91(3): 459-490.
Eriksson N. Hospital management from a high reliability organizational change perspective A Swedish case on Lean and Six Sigma. International Journal of Public Sector Management. 2017; 30(1): 67-84