Keputusan MA tentang penghentian WKDS: Apa respon kita?
Laksono Trisnantoro, FK-KMK UGM, 20 Desember 2018.
Sudah terbit keputusan MA. Sudah terjadi, meskipun perdebatan masih bisa berlanjut. Namun yang paling penting adalah apakah dalam waktu 90 hari, kita bisa melakukan persiapan untuk menjamin spesialis tetap melayani di daerah terpencil. Hal ini penting kita bahas demi keadilan bangsa. Jika pemerintah tidak menyediakan spesialis, hal tersebut akan melanggar HAM. Apalagi di daerah terpencil, akan sangat mungkin terjadi banyak kasus kematian yang seharusnya bisa dicegah, termasuk kematian ibu hamil.
(Informasi Perkara dari laman https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/ )
Usulan kami ada beberapa opsi:
Opsi 1: Menggunakan model yang dikembangkan UGM dengan Sister Hospital, dimana Sister Hospital yang besar (di kota – kota besar) mengirimkan secara reguler ke daerah terpencil kurang lebih 1 – 3 bulan. Dalam tim ini bisa ditambah residen fase akhir yang mau bertugas di daerah terpencil. Take home pay residen dan spesialis, antara 30 – 50 juta rupiah per bulan. Spesialis yang bertugas di luar tetap mendapat gaji dari RS induknya dan mendapat tambahan dengan dinas ke luar. Pengalaman di NTT, untuk 1 RS (3 spesialisasi plus beberapa perawat) menghabiskan biaya sekitar Rp 2 milyar rupiah. Dana untuk ini sebaiknya berasal dari Kebijakan Kompensasi yang wajib untuk dilakukan BPJS.
Opsi 2: Menggunakan model sukarela seperti militer sukarela yang dibayar tinggi untuk bertugas di daerah terpencil. Di sini hukum pasar berjalan. Mirip prinsip pembayaran Soldier of Fortune (Tentara Bayaran). Semakin terpencil dan berbahaya di daerah, insentif spesialis meningkat. Jika di daerah terpencil, SpOG membutuhkan pendapatan, misal 100 juta rupiah yang perlu negosiasi. Namun ini akan menggoncangkan sistem penggajian di daerah. Ada kasus bupati di daerah yang komplain, mengapa pendapatan dokter spesialis tinggi sekali.
Opsi 3: Melakukan taskshifting seperti yang disampaikan oleh Jon (Papua). Tugas dokter spesialis diserahkan ke dokter umum di daerah terpencil dengan pelatihan khusus. Clinical privilege ini hanya berlaku di daerah terpencil yang tidak ada spesialisnya. Bukan melekat pada diri dokter umum. Pelatihan dilakukan secara periodik.
Opsi 4. Jika Opsi 1, 2, dan 3 gagal pemerintah mengundang dokter spesialis asing untuk bekerja di pedalaman atau daerah terpencil. Beberapa tahun yang lalu saya masih melihat dokter – dokter Australia ada di pedalaman NTT untuk mengurangi angka kematian ibu. Juga ada kelompok Dokter Lintas Batas (MSF) yang mungkin mau diajak ke pedalaman Indonesia. Juga dokter – dokter Korea dan Jepang, mungkin tertarik ke pedalaman untuk misi kemanusiaan. Jika model Soldier of Fortune, dokter – dokter spesialis Filipina atau Bangladesh mungkin mau ke pedalaman dengan pendapat 40-an juta.
Mungkin ada opsi lain? Mohon dapat disampaikan melalui kolom komentar ini.
Catatan penting:
Yang jelas dalam waktu singkat mohon kita semua segera menyiapkan respon operasional. Kita ini semua pihak, termasuk para penganjur dihentikannya WKDS, agar menyiapkan Opsi yang operasional. Tidak hanya menempuh jalur litigasi atau debat di WAG, tapi juga memikirkan masyarakat di pedalaman yang mungkin akan kehilangan dokter spesialis dari program WKDS pemerintah. Jika terjadi pemerintah juga melanggar HAM dan kita hanya jadi penonton yang membiarkan bahkan justru mendorong ketidakadilan geografis terus berjalan di Indonesia. Terima kasih.
Biarkan pemerintah mungundang dokter2 asing bekerja di daerah2…
Dokter2 tidak peduli dgn negaranya….ngga perlu negara begitu peduli dgn itu semua
Sebenarnya tidak semua dokter spesialis anti terhadap WKDS. Yg kami keluhkan adalah:
1.kata wajib kerja di mana saat awal sekolah tidak ada sama sekali kontrak untuk itu,dan di mana beberapa dari kami membayar dg dana pribadi dan selama sekolah bekerja tanpa dibayar. Jika masuk menggunakan beasiswa,dan dalam kontraknya ada wajib kerja yg disetujui dg sukarela,maka hal tsb tdk masalah
2.penahanan ijazah. Kami sekolah dg dana pribadi,mendadak sat lulus ijazah kami ditahan dan dipaksa kerja wajib dengan daerah kerja yg ditentukan. Jujur ini sangat menjengkelkan.
3.pemilihan wahana di mana beberapa di antaranya tidak layak,baik dari segi keamanan ataupun fasilitas. Fasilitas di sini adalah fasilitas medis agar kami dapat bekerja dengan baik,seperti OK yg memadai untuk dokter bedah,lab dan x-ray untuk internis,dll. Keamanan dalam hal beberapa wahana adalah daerah OPM dan perang suku pedalaman,dan tidak ada jaminan keamanan,hanya dikatakan jika ada apa2 akan dievakuasi.
Jika program ini diteruskan tanpa ada kata wajib/paksa kerja,tanpa penahanan ijazah seperti halny PTT dokter umum,saya kira teman2 spesialis masih cukup banyak yg mau ikut
Karena masih dibutuhkan dokter dokter gigi dokter spesialis pada Kabupaten yg tidak disukai di DTPK mk perlu ada regulasi baru utk penempatan dr drg dr spesialis. Hak rakyat memperoleh layanan kesehatan yg berkualitas hrs jg jd prioritas.. Dan itu hrs diatur oleh pemerintah.