Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan klinik infertilitas (IVF, In-Vitro Fertilization) atau lebih dikenal dengan Klinik Bayi Tabung semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin tingginya kesadaran masyarakat berkat informasi yang tersebar dan makin mudah diakses. Data menunjukkan, di Indonesia ada 200.000 pasangan infertil per tahun yang membutuhkan penanganan di IVF Clinic. Di seluruh dunia, angkanya mencapai 48,5 juta pasangan. Ini menyebabkan demand terhadap layanan IVF Clinic terus meningkat. Hal tersebut dibahas oleh para pembicara di Workshop IVF Clinic Management yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada 29 April 2018 sebagai salah satu bagian dari agenda tahunan Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) di Yogyakarta, 28 April – 1 Mei 2018 yang lalu.
Beberapa negara maju telah menetapkan kebijakan, dimana infertilitas dianggap sebagai salah satu penyakit, dan oleh karenanya penanganan terhadap hal ini masuk dalam sistem pembiayaan kesehatan. Di Indonesia, pelayanan IVF dianggap sebagai bukan kebutuhan primer, sehingga tidak ter-cover dalam JKN . Hal ini tentu saja mempengaruhi akses masyarakat terhadap layanan IVF.
Kendati demikian, IVF Clinic yang ada di kota-kota besar di Indonesia layanan ini sangat diminati. Angka kunjungan meningkat, antrean pasien panjang. Tidak terkecuali di IVF clinics yang ada di RS-RS pemerintah. Namun, IVF Clinics milik pemerintah mengalami kesulitan untuk berkembang dibandingkan dengan swasta. Menurut Dr. dr. Budi Wiweko, MPH, Sp(OG)K (RSCM), kendala yang dihadapi oleh IVF clinic milik pemerintah terkait dengan birokrasi, finansial, ketenagaan dan pemasaran. Oleh karenanya, jika IVF clinic milik pemerintah ingin berkembang, maka harus melakukan breakthrough, misalnya mengembangkan layanan yang SMART.
Sementara itu, IVF clinic milik swasta juga menghadapi tantangan berupa persaingan, bukan hanya dengan sesama klinik di dalam negeri melainkan juga dengan klinik di luar negeri. Data menunjukkan bahwa medical tourism strategy yang dikembangkan oleh beberapa negara tetangga, telah berhasil menarik minat pasangan infertil Indonesia untuk menjalani terapi disana. Dr. Ivan Rizal Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG (Klinik Morula) menyatakan, untuk menghadapi kompetisi yang borderless – tanpa mengenal batas negara – tersebut, IVF clinic harus dikelola secara profesional. Klinik harus menerapkan good clinical governance, proses laboratorium yang terstandarisasi, manajemen risiko dan perhitungan keuangan yang cermat. Struktur organisasi klinik harus mampu mendukung kegiatan dan menjaganya sesederhana mungkin, harus memiliki KPI keuangan, leadership, menerapkan etika serta jaminan mutu yang diakui oleh lembaga resmi (misalnya oleh kementerian kesehatan). Peran dokter sebagai klinisi dan sebagai manajer klinik harus dipisahkan agar klinisi dapat bekerja secara profesional.
Salah satu keunikan IVF clinic adalah penerapan standar yang sangat ketat pada laboratoriumnya, karena sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan (success rate), yaitu terbentuknya embrio berkualitas. Hal tersebut terlihat pada kasus Virtus Fertility Center di Singapura, yang disampaikan oleh Liaw Swee Lian (Scientific Director). Manajemen laboratorium meliputi pengelolaan kualitas udara, material bangunan, volume suara lingkungan, suhu dan sebagainya, yang sangat mempengaruhi tingkat stress embrio. Selain itu, rasio antara SDM khususnya embriologis dengan jumlah pasien juga mempengaruhi kualitas keluaran laboratorium.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh DR. Dr. R. Muharram, SpOG (K) (FKUI/RSCM), salah satu masalah SDM dan regenerasi yang dihadapi oleh Indonesia adalah karena tenaga embriologis tidak termasuk dalam tenaga kesehatan sebagaimana penggolongan nakes menurut Permenkes 43/2015 tentang penyelenggaraan pelayanan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pengakuan, mulai dari penghargaan terhadap kinerja hingga nilai jasa pelayanan yang dapat diberikan. Selain itu, tenaga medis dan keperawatan yang bekerja di IVF clinic dituntut untuk memiliki skill tertentu sehingga ini juga mempengaruhi supply tenaga. Distribusi tenaga juga mengalami ketimpangan, dimana sebagian besar SDM berada di Jawa, khususnya di wilayah Jakarta. Kondisi ini dipertegas oleh Dr. dr. Hartanto Bayuaji, SpOG(K) (RSUP dr. Hasan Sadikin, RSIA Limijati Bandung) yang memaparkan pengalamannya mengelola klinik di dua tempat, yaitu di RS pemerintah dan di RS swasta. Klinik swasta lebih mudah mengikuti perkembangan kebutuhan pasien maupun mengadopsi teknologi baru karena sifat organisasinya yang lebih fleksibel dibandingkan dengan klinik di RS pemerintah.
Masalah di IVF clinic akan lebih kompleks jika membahas mengenai etika. Di Indonesia masalah etika ini belum diatur secara lebih detil, khususnya pemanfaatan embrio yang dalam kurn lebih dari 3 tahun tidak diambil oleh pemiliknya. Ini menimbulkan masalah penyimpanan, karena embrio yang tidak diambil akan membutuhkan tempat penyimpanan khusus (freezer). Di sisi lain pemusnahan embrio, meskipun diijinkan oleh regulasi, belum dapat diterima sepenuhnya secara etika kedokteran.
Kembali ke masalah akses pelayanan, di negara berkembang seperti beberapa negara di Afrika terdapat proyek yang diinisiasi oleh para peneliti dari Norwegia yang bertujuan untuk membuka akses bagi masyarakat tidak mampu terhadap pelayanan infertilitas. Proyek yang bernama The Walking Egg ini mengembangkan teknologi ekonomis agar masyarakat kelas menengah ke bawah pun dapat menikmati layanan di IVF clinic. Selain itu, proyek ini juga menggalang kemandirian masyarakat agar dapat menyediakan sumber daya yang dibutuhkan bagi tersedianya pelayanan ini di lingkungan mereka, serta melakukan advokasi kepada pemerintah agar mendukung dari aspek kebijakan dan regulasi. Ini merupakan contoh jejaring antara provider, kelompok-kelompok masyarakat dan pemerintah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akses layanan IVF clinic di negara berkembang.
IVF clinic pemerintah ataupun swasta, tetap harus menjaga mutu, salah satunya melalui penilaian penerapan standar yang diakui oleh lembaga akreditasi. Selain untuk memastikan mutu pelayanan, akreditasi juga berperan dalam melindungi masyarakat dari potensi harm di fasilitas pelayanan kesehatan. (pea)
Video Kegiatan: