Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 3, 20 Oktober 2017
Simultan 3
Upaya Pemenuhan SDM RS Dalam Menghadapi UHC 2019
Pada awal Simultan 3, topik yang disampaikan oleh Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD (PKMKFK UGM) adalah Strategi Pemenuhan Tenaga Kesehatan dan Non Kesehatan. Sebuah dilema yang tidak mudah dalam era JKN. Jika melihat negara tetangga yaitu Thailand memang ada rumah sakit swasta yang belum bekerja sama mengikuti UHC dan rumah sakit yang sudah bekerja sama mengikuti UHC. Apakah kita akan mengikuti keduanya atau salah satu saja. Sekitar 2012 atau 5 tahun lalu diproyeksikan BPJS tidak akan menjadi pengelola pembiayaan rumah sakit satu satunya di Indonesia karena tidak semua orang Indonesia akan dibiayai perawatannya melalui BPJS. Sedangkan dalam perundangan seluruh warga negara diwajibkan memiliki BPJS, karena ada preferensi layanan kesehatan yang dibutuhkan termasuk layanan yang masih belum dicover BPJS.
Masyarakat Indonesia cukup beragam ditinjau dari kemampuan ekonominya. Hal ini berdampak pada permintaan jenis pelayanan yang diharapkan. BPJS seharusnya dapat melayani seluruh masyarakat namun pada kenyataannya dana yang terkumpul di BPJS tidak mampu untuk menangani seluruh masyarakat dengan baik dan adil. BPJS sangat bergantung pada PBI yang berasal dari pajak. Meningkatnya GDP Indonesia menunjukkan peluang bagi rumah sakit-rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS ataupun memilih bekerja sama dengan BPJS untuk pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS. Jika diasumsikan 4.2 % GDP dialokasikan pada kesehatan, maka ada sekitar dana Rp. 1 Triliun (1.1%) untuk pembiayaan tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi peluang bagi rumah sakit swasta. Jika ditinjau lebih dalam terdapat fokus strategi yang berbeda antara rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS dan yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS akan menggunakan cost leadership dimana akan memberikan mutu baik sesuai standar, dengan cost yang paling rendah. Sedangkan untuk rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS akan menggunakan prinsip diferensiasi dimana memberikan pelayanan berbeda dengan tarif yang sesuai dengan kemampuan penggunanya.
Sesi selanjutnya membahas mengenai Pengalaman RS Nasional Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang disampaikan oleh Dr. dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), MARS, FIHA, FICA, FasCC. Di era universal health care, kita tidak dapat memprediksi jumlah pasien yang akan datang ke rumah sakit. Sebagai rumah sakit vertikal harus dapat melayani seluruh masyarakat BPJS. Selama menjadi dirut terdapat dua peran yang dijalani Hananto yaitu 1) sebagai direktur dan 2) sebagai penanggung jawab pelayanan kardiovaskuler tingkat nasional sebagai rumah sakit tingkat pelayanan jantung nasional. Perlu ada pembinaan rumah sakit vertikal hingga tingkat akhir yaitu pembedahan lintas koroner. RS Jantung Harapan Kita sedang memulai master plan untuk 2020 dengan segala persiapan ketersediaan SDM di dalamnya. Dari 331 tempat tidur, 41% merupakan tempat tidur untuk intensive care dan high care dengan BOR paling kecil 80%. Kekuatan sumber daya sebesar 688 perawat, 91 staf medis (dokter), 647 administrasi, dan 288 tenaga kersehatan lain. Untuk master plan tahun 2020 jumlah tempat tidur akan ditingkatkan menjadi 545 dengan komposisi 20% intensive care, 35% high care, 55% untuk intensive care dan highcare, serta 45% untuk low care. Untuk cathlab terdiri dari 11 unit dengan perincian 8 untuk adult, 2 untuk pediatric, dan 1 untuk UGD. Untuk memenuhi kebutuhan perawat pada master plan rumah sakit, maka perlu dilakukan perhitungan dengan hours per patient day (HPDD) dan metode full time equivalent employment (FTEE). Perawat harus mampu bekerja optimal, tidak lelah, dan diikuti dengan sistem yang baik. Namun seringkali antara perhitungan dan fakta kurang cocok, apalagi jika produktivitas perawat belum optimal. Dasar perhitungan kebutuhan perawat di RS Jantung Harapan Kita sampai saat ini mempertimbangkan 1) berdasarkan jumlah tempat tidur, 2) berdasarkan jumlah laboratorium kateterisasi, dan 3) berdasarkan jumlah kamar operasi. Sehingga penentuan jumlah kebutuhan perawat dan dokter harus disesuaikan dengan master plan 2020. Pemenuhan kemampuan tenaga medis dan perawat dalam kardiovaskuler dilakukan dengan melaksanakan program sandwich peserta didik baik perawat dan dokter spesialis dengan mengontrol kompetensi setiap peserta didik untuk menjaga kualitas pelayanan di RS Jantung Harapan Kita.
Sesi selanjutnya membahas Pandangan Rumah Sakit TNI/POLRI Dalam Pemenuhan SDM yang dipaparkan oleh Brigjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad (K). Kunci dalam pengelolaan SDM adalah kecukupan dalam keuangan. Jika keuangan dalam kondisi cukup maka penerapan manajemen juga akan menjadi lebih mudah, baik bersumber dari BPJS maupun mandiri. Pemenuhan dokter dan perawat akan ditinjau terlebih dahulu melihat keuangan. Dokter akan nyaman di tempat yang nyaman dia bekerja (kesejahteraan, kemampuan rumah sakit untuk riset, dan pelayanan). Di kemudian hari sudah tidak ada lagi mindset pasien A untuk dokter B, namun pasien rumah sakit, sehingga semua stakeholder bertanggung jawab. Rumah sakit perlu melakukan inovasi untuk terus bertahan, melakukan inovasi dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur ataupun inovasi di bidang teknis medis. Salah satu contoh inovasi di bidang teknis medis adalah pemeriksaan otak dan diharapkan pasien di negara lain datang. Selain itu perlu dilakukan promosi akan inovasi-inovasi yang baru. Rumah sakit harus cerdik menyiasati agar keuangan tetap sehat sehingga pelayanan juga maksimal dan safety.
Sesi berikutnya tentang Pandangan Ketua IDI dalam menghadapi Universal Health Coverage 2019 yang disampaikan oleh Ketua MKKI-IDI, Prof. Dr. dr. David S Perdanakusuma, Sp. BP-RE(K). Jika bicara tentang pemenuhan SDM akan terkait dengan produksi SDM, kualitas, dan distribusinya. Pola pemikiran untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan kebutuhan luar negeri. Jika menginginkan kebutuhan luar negeri maka kualitas pelayanan juga harus berbasis global. Pemenuhan kebutuhan perlu perhitungan yang matang, pendidikan yang harus dipenuhi, pelayanan yang harus ada. Saat ini jumlah dokter dan dokter spesialis kurang lebih 150 ribu dan akan ditinjau jumlah tersebut cukup atau tidak untuk menghadapi Universal Health Coverage 2019 dengan mutu yang baik. Realisasi rasio dokter ternyata melebihi target, target 40/100,000 realisasinya 42/100,000. dokter spesialis secara menyeluruh 13/100,000 realisasinya 13.6/100,000 namun hanya di 42% daerah, 58% daerah masih kekurangan. Regulasi perlu untuk dikaji lebih dalam untuk memperhatikan kebijakan di bidang kesehatan dalam rangka Universal Health Coverage.
Sesi terakhir tentang Pandangan PPNI dalam menghadapi Universal Health Coverage 2019 yang dipaparkan oleh Ketua PPNI, Harif Fadillah, S. Kp, SH. Untuk menghadapi UHC antara kualitas, biaya, dan akses harus dipenuhi. Di beberapa rumah sakit dua hal tersebut menjadi pertentangan. Ketika kualitas ditingkatkan akan membebani biaya,dan ketika biaya diturunkan maka kualitas akan ikut menurun. Perawat memang penting di rumah sakit dan tentu pengelolaan sumber daya perawat perlu dipertimbangkan untuk mencapai cost effectiveness di rumah sakit. Pendidikan di bidang keperawatan di Indonesia tercatat 1,020 program studi, dengan jumlah institusi 1,900 dan akreditasi B cukup baik. Ini menjadi perhatian untuk pemenuhan kebutuhan perawat yang berkualitas. Perlu dilakukan uji kompetensi pada setiap institusi pendidikan agar dapat melihat kualitas dari para lulusan perawat.
Reporter : Sabran Ahnur.