KISAH tentang pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang harus mulai mengantre nomor antrean sejak dini hari, kini tinggal sejarah bagi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Margono Soekarjo, Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng). Begitu pula aksi para calo pendaftaran hingga pemandangan memelas, mereka yang renta atau sakit serius terkulai lemas, menunggu seharian untuk berjumpa dokter.
Mulai 21 Desember 2016, registrasi bisa dilakukan daring lewat situs serta aplikasi di ponsel, RSMS online. “Pendaftaran bisa dilakukan maksimal sepekan atau H-7,” kata Kepala Bagian Tata Usaha RSUD Margono Soekarjo, Parsono, saat ditemui Media Indonesia, Rabu (27/9).
“Dulu pasien datang sejak pukul 03.00. Saat pintu dibuka pada pukul 05.00, mereka berebut sampai ada yang jatuh. Kasihan karena selain harus antre daftar, nanti kembali antre untuk pemeriksaan dokter,” ungkap Parsono.
Istimewanya, pasien tidak hanya mendapatkan nomor antrean, tetapi juga waktu perkiraan pelayanan. “Dengan daftar di aplikasi, saya datang lagi Kamis (5/10), dapat nomor 56, sekitar pukul 07.20. Jadi, menunggunya tidak terlalu lama dan dipastikan dapat pelayanan,” ungkap Warsikem, 60, warga Sumbang, Banyumas, yang rutin mengontrol hipertensinya.
Agar inovasi itu tak cuma cemerlang di atas kertas, tim RS punya jadwal rutin untuk menyosialisasikan aplikasi itu hingga ke posyandu dan puskesmas.
Inovasi layanan publik
Kabar gembira tentang akselerasi yang dilakukan RS divalidasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam Top 40 Inovasi Pelayanan Publik 2017 yang memasukkan inovasi empat dalam daftar mereka.
Ikhtiar ini dapat menjadi model bagi institusi kesehatan lainnya untuk berlari cepat, melayani sekaligus memastikan kesinambungan operasional agar cerita pilu kasus bayi Debora yang meninggal dunia Minggu (3/9), di sebuah RS di Jakarta Barat pascakekisruhan layanan pediatric intensive care unit (PICU) tak lagi terulang.
Pencapaian RS milik pemerintah, terutama di daerah, patut mendapat apresiasi karena mereka pun bergelut dengan aneka tantangan, posisinya kerap jadi komoditas politik, koordinasi dengan BPJS Kesehatan, hingga keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Pacu akreditasi
Nyatanya, inovasi berkorelasi kuat dengan kepemimpinan yang berpihak pada kesehatan, yang tak cuma jadi komoditas saat kampanye, tetapi juga diwujudkan dalam kebijakan. Hal itu juga bisa dijumpai di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta.
Sang bupati, Hasto Wardoyo, yang merupakan dokter spesialis kandungan, menyusun sistem jaminan kesehatan warganya sejak Oktober 2011. “Di sini pasien tidak perlu bayar di depan. Yang tidak punya BPJS sekalipun, kita kover Jamkesda,” kata Hasto yang mengalokasikan Rp5 juta per kepala bagi warga yang belum memiliki kartu BPJS untuk menutup layanan rawat inap.
“Kebijakan itu tidak memberatkan anggaran daerah. Dalam setahun, dana yang keluar hanya berkisar Rp15 miliar-Rp18 miliar,” ujar Hasto yang juga menginisiasi sistem RS tanpa kelas di RSUD Wates. Implikasinya, kalau kelas III penuh, bisa naik kelas rawat inapnya, tanpa ada tambahan biaya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengungkapkan geliat RS memacu kualitas sebenarnya telah dinaungi sistem akreditasi, tolok ukur utama penilaian sekaligus pemacu kualitas RS. “Pelayanan kesehatan itu kan sudah ada tools-nya, tinggal bagaimana secara bersama-sama meningkatkan implementasi tools tersebut,” kata Oscar. (AT/Rio/M-1)
Sumber: mediaindonesia.com