Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 3, 20 Oktober 2017
Paripurna 8
Kendali Mutu dan Biaya Dalam Pelayanan Kesehatan di Era JKN
Pada paripurna ke 8 ini membahas Anomali Pasar dan Efisiensi Rumah Sakit di Era JKN yang dipaparkan oleh dr. Santoso Soeroso, Sp. A , MARS (PERSI). Asas BPJS adalah kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial. Efek JKN telah membawa ekuitas terhadap kesehatan. Hal ini memerlukan peningkatan peran rumah sakit dalam melayani JKN. Sebenarnya paket medis pengobatan untuk seluruh penyakit merupakan suatu hal yang sangat ambisius yang dilakukan oleh BPJS. Sementara itu, Health Technology Assesment (HTA) merupakan aplikasi pengetahuan dan ketrampilan terkait alkes, vaksin, prosedur untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Komite HTA sendiri telah dibentuk melalui Perpres No. 12 / 2013 dan No 111 / 2013. Spektrum HTA dapat dilakukan dengan aktivitas assesment sampai ke riset evaluatif. Teknologi kesehatan dibutuhkan karena indikasi baru bagi teknologi lama, perubahan struktur organisasi, kepedulian terhadap masalah terkait ekonomi, dan munculnya masalah baru yang membutuhkan tindakan.
Terjadinya anomali pasar biasanya dipicu oleh kompetisi yang tidak sehat, kurangnya transparansi pasar, dan lain-lain. Pembiayaan BPJS untuk penyakit katastropik paling banyak untuk penyakit jantung (1), kanker (2), dan gagal ginjal (3). Penelitian anomali pada hemodialisis (HD) menunjukkan bahwa HD lebih banyak disukai oleh pihak rumah sakit karena dapat KSO maupun INA CBGs yang dibayarkan lebih besar daripada tarif rumah sakit, serta membuat PD center lebih sulit karena membutuhkan perawat PD yang berdedikasi sebagai edukator. Hanya 3% renal diseases yang menggunakan PD di Indonesia, sedangkan di Hongkong sebesar 60% dan di Thailand sebesar 40%. Hanya 1 importir dan merek dialisa PD yang dipakai di Indonesia. Hasil assesment komite HTA di Indonesia menggambarkan bahwa PD first policy akan dapat memperpanjang hidup selama 5.93 tahun dengan biaya Rp. 700 juta dibandingkan dengan menggunakan HD sebesar Rp. 735 juta, budget impor untuk PD sebesar Rp. 43 T jika 53% coverage atau Rp. 75 T untuk 100% coverage.
Anomali lain yang terjadi adalah anomali insulin. Diabetes melitus di Indonesia merupakan nomor 5 tertinggi di dunia dan Indonesia merupakan pasar terbesar. Data sementara studi insulin pada 2017 menunjukkan bahwa human insulin membebankan biaya sebesar Rp. 1.1 M. Penggunaan analog insulin sebesar 99.5% sedangkan human insulin hanya sebesar 0.5%, namun pertumbuhan insulin analog lebih tinggi dibandingkan human insulin. Anomali lain yaitu Imatinib dan Nilotinib yang merupakan obat kanker. Kedua diproduksi oleh 1 pabrik yang habis masa patennya pada 2008. Studi cetuximab KPTK 2017 menunjukkan bahwa obat kanker tersebut hanya dapat memperpanjang hidup selama 1.2 bulan dengan beban biaya ekonomi sebesar Rp. 28 T. Kekurangan dan distribusi yang tidak merata terhadap tenaga kesehatan lebih banyak terjadi di daerah dan dana anggaran belum memadai, selain itu perawatan kesehatan masyarakat dan UHC secara keseluruhan menjadi rentan dan mungkin tidak berlanjut dalam jangka panjang.
Topik selanjutnya mengenai Upaya Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit di Era JKN dipaparkan oleh dr. Hari Paraton, Sp. OG (K) (Ketua PPRA Kemenkes RI). Antibiotik pada masa perang berfungsi optimal untuk memulangkan para prajurit yang terluka. Namun pada 2000-an terjadi perubahan perilaku tenaga medis dengan pemberian antibiotik yang berlebihan dan tanpa indikasi. Anti microbial resistance merupakan penggunaan kesalahan antibiotik yang menghasilkan bakteri resisten terhadap antibiotik. Hal ini akan memberi efek pada morbiditas, mortalitas, disabilitas, dan beban biaya. Hal ini sudah menjadi problem dunia. NDM – 1 e coli menyebabkan sebesar 8.1% kematian. Menurut catatan WHO (2013) terdapat 700.000 penduduk per tahun yang meninggal karena AMR dan ke depannya diprediksikan pada 2050 akan menjadi 10 juta / tahun.
Terkait dengan pembiayaan, menunjukkan bahwa negara miskin akan terbebani dengan AMR ini. Resistensi bakteri merupakan ancaman ekonomi. Bagaimana resistensi antibiotik dapat terjadi ? Semakin bakteri beresisten ganda maka AMR tidak dapat dibunuh dengan antibiotik yang sudah dipakai karena overuses atau misuses dan transmission. Masalah akibat AMR akan menimbulkan kegagalan terapi, ancaman kegagalan operasi canggih dan kompleks, maupun menimbulkan beban biaya. Prevalensi e coli dan K penumoniac (ESBL+) pada 2000 sebesar 9% dan meningkat menjadi 60% pada 2016. Healthcare associate infection merupakan infeksi yang didapat saat pasien dirawat di rumah sakit (tidak sesuai dengan masa inkubasi penyakit), insidensi di negara maju sebesar 3.4% – 12% sedangkan di negara berkembang sebesar 5.7% – 19.1%, menimbulkan kematian sebanyak 99,000 / tahun, dan beban biaya sebesar USD 6.5 milyar.
Dengan layanan kesehatan yang bermutu maka pasien post op hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, namun jika pasien mengalami HAI maka akan lebih lama dirawat sehingga menimbulkan tambahan beban biaya. Pasien harus paham bahwa flu, diare, ataupun radang tenggorokan tidak memerlukan antibiotik. Selain itu bedah cabut gigi, sirkumsisi, persalinan normal tidak memerlukan antibiotik. Hasil observasi di 5 rumah sakit pendidikan untuk bidang obsgyn dan bedah menunjukkan bahwa tanpa antibiotik perawatan lebih pendek. Dengan melaksanakan PPRA, maka penggunaan antibiotik yang sebelumnya 45.04% dapat ditekan menjadi 14.52%. Pasien lebih cepat sembuh, menurunkan kematian, dan menghemat biaya. Mengurangi antibiotik akan mengurangi kasus HAI yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya.
Sesi terakhir yang dipaparkan oleh dr. Nico A. Lumenta, K. Nefro, MM, MH. Kes (IKPRS KARS) mengenai Implementasi Patient Centered Care Dengan Pola “Bila Pasien Itu Saya”. Aspek penting asuhan pasien dalam SNARS edisi 1 diantaranya dilakukan oleh banyak profesi dengan kolaborasi, aspek perawatan pada tenaga keperawatan, aspek penyembuhan pada tenaga medis, identifikasi kebutuhan pasien, dan sebagainya. Dimensi budaya mutu dan safety meliputi asuhan pasien dengan beberapa elemen yang mesti ditumbuhkan, resiko, mutu, dan safety. Hal yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran budaya dan kompetensi budaya.
Konsep PCC merupakan asuhan terintegrasi yang melibatkan pasien, DPJP sebagai clinical leader, dan PPA sebagai kolaborasi. Patient voice program untuik memberikan kesempatan bagi pengambil keputusan untuk memahami pasien. Patient expirience merupakan model terbaik bagi pasien, keluarga, dan rumah sakit karena sudut pandang pasien akan tertuang. Bila Pasien Itu Saya (BPIS) mempertimbangkan PCC dengan asuhan pasien terintegrasi, pasien satu-satunya pihak rumah sakit dengan 3 shift, memperlakukan teman sejawat apabila itu saya sendiri ingin diperlakukan (KODEKI pasal 18), maupun kompetensi budaya.
Langkah pelaksanaan BPIS diantaranya menempatkan posisi pasien pada konteks, budaya, paradigma, dan kebiasaan, sasaran asuhan pasien dengan menggali apa yang diinginkan pasien dan blended dengan PPA, patient enggagement and empowerment, monev terhadap asuran tersebut, dan menerapkan kendali mutu dan biaya. Sekali lagi, patient experience merupakan keseluruhan interaksi yang dibentuk dari budaya organisasi yang akan mempengaruihi persepsi pasien terhadap pelayanan berkelanjutan.
Reporter : Elisabeth Listyani.