Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 2, 19 Oktober 2017
Paripurna 5
Etika Rumah Sakit dan Budaya Melayani
Pada awal Paripurna 5, topik yang akan dipaparkan oleh Dr. dr. Sintak Gunawan, MA (Makersi PERSI) adalah Tinjauan Etika Dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Pola Pembayaran “Prospektif Payment System” dengan Dasar INA CBGs. Pembiayaan JKN yang telah diimplementasikan selama 3 tahun ini semakin meningkat. Total pembiayaan sebesar Rp. 166 T dibayarkan ke FKTP sebesar Rp. 34 T dan ke FKTRL sebesar Rp. 132 T. Dana yang terkumpul tidak mampu untuk memenuhi sehingga terdapat defisit sebesar lebih dari Rp. 10 T. 30% pembiayaan BPJS digunakan untuk penyakit katastropik dimana penyakit jantung ada di urutan pertama. Permasalahan yang banyak ditemui di rumah sakit diantaranya pola fee for service, standar mutu bervariasi, kendala pemenuhan SDM terutama spesialis, keterbatasan sarana prasarana, sistem rujukan belum berjalan baik, dan tarif INA CBGs belum sepenuhnya terpenuhi.
Contoh penelitian kasus prospective payment service di Swiss (Swiss Med Wkly. 2015;145:w14034) yang dianggap sebagai negara dengan sistem kesehatan yang terbaik menggambarkan hasil bahwa para dokter kesulitan menerapkan standar pelayanan, kesulitan mengikuti pendidikan berkelanjutan, waktu layanan semakin panjang, hingga kecemasan tenaga medis bertambah dan mendapat tekanan bahkan mengurangi jam praktek atau ada pula yang berhenti berpraktek. Contoh lain adalah penelitian kasus layanan gawat darurat di Italia (Levaggi and Montefiori BMC Health Services Research 2013, 13:409) menggambarkan bahwa terdapat variasi pelayanan gawat darurat sehingga biaya pelayanan juga bervariasi. Biaya terbesar adalah biaya non laboratorium dimana pasien yang lebih gawat membutuhkan konsul yang lebih banyak. Kesimpulannya adalah penerapan prospective payment service sulit karena tingkat ketidakpastian dan variabilitas kasus, sehingga dokter lebih menyukai fee for service untuk layanan gawat darurat.
Untuk kasus penanganan lansia, diproyeksikan Indonesia akan mendapatkan bonus penduduk lanjut usia pada 2035. Persentase penduduk lansia yang mengeluh sakit sebanyak 50%. Penanganan pasien lansia tidaklah mudah karena 50% memiliki penyakit kronik atau multi morbiditas sehingga perlu strategi khusus dan atensi khusus. Dalam menyusun clinical pathway untuk layanan lansia tentunya berbeda. Jika diterapkan model patient centered pada lansia maka hasil akan lebih baik namun biaya akan lebih besar dan melibatkan tim interdisiplinari.
Sistem pelayanan JKN saat ini menekankan pada volume based, kapan akan menekankan pada value based? Masalah moral hazard yang dihadapi seperti pemborosan SDM terbatas, rumah sakit merawatinapkan pasien dengan gangguan kesehatan ringan, pasien dipulangkan lebih cepat, rumah sakit merujuk pasien dengan kasus rawat jalan ringan ke rumah sakit rujukan level di atasnya, maupun rumah sakit menunda merawat inap pasien. Semestinya keputusan ditentukan oleh dokter namun saat ini oleh BPJS dimana membatasi pengobatan oleh dokter sehingga menimbulkan moral hazard. Masalah moral hazard berasal dari etika profesional tetapi sejak diterapkan JKN hal ini berperan ganda, dimana sebagai dokter harus memberikan pelayanan maksimal namun sebagai karyawan rumah sakit harus menaati peraturan dengan melakukan pembatasan pengobatan terutama untuk kasus-kasus mahal.
Rumah sakit harus membuat kebijakan yang mendukung tenaga medis agar tetap memiliki loyalitas tunggal yakni kepada pasien, serta harus memperbaiki sistem dan mutu layanan kesehatan, bukan menekan biaya dengan membatasi layanan kesehatan yang diperlukan pasien. Di sisi lain pemerintah harus memperhatikan besaran INA CBGs agar dapat mendukung layanan kesehatan nasional yang bermutu, profesional, dan manusiawi.
Sesi selanjutnya membahas mengenai Etika dan Budaya Melayani Sebagai Fondasi Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia di Tengah Kompetisi Bisnis yang dipaparkan oleh Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp. F, SH, M. Si (Makersi PERSI). Dampak konflik etik di rumah sakit akan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit. Etika dan budaya di rumah sakit menekankan pada pasien harus dilindungi keselamatannya dan karyawan juga harus dilindungi. Fondasi layanan kesehatan mesti memahami fenomenologi pasien dalam etika kepedulian dari perspektif pasien dan etika layanan dari perawat. Selain itu, etika kepemimpinan untuk penegakan ulang perilaku etik.
Kode perilaku etik rumah sakit diantaranya etika bisnis, patuh hukum, kredensialitas, konflik dan kepentingan ganda, perlindungan aset, aktivitas pokok dan relasinya. Hal ini perlu menyeimbangkan moral pada setiap kemajuan teknologi, pilar ilmu kedokteran dan ilmu hayati lainnya, serta profesi kedokteran. Apakah boleh mengorbankan budaya melayani? Tentunya tidak, karena adanya moral justification dari layanan rumah sakit.
Budaya melayani harus sampai pada moralitas. Cara praktek akan menumbuhkan budaya melayani dengan pengawasan terkendali, transparan, dan atasan yang terlibat aktif secara terus-menerus. Budaya melayani dan kematangan dari seluruh civitas hospitalia akan menumbuhkan etika.
Sesi terakhir dari paripurna ini memaparkan tentang Pelanggaran Etika dan Pelanggaran Hukum Dalam Promosi Rumah Sakit yang disampaikan oleh Prof. dr. Budi Sampurna, Sp. F, SH (PERSI). Konsumen dan rumah sakit harus memiliki hak yang sama. Rumah sakit memiliki hak untuk melakukan pemasaran sesuai dengan UU no. 44 / 2009, pasal 30 ayat 1) dan konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi yang akurat. Hal yang boleh dipasarkan oleh rumah sakit adalah layanannya bukan personilnya. Penyelenggaraan periklanan rumah sakit harus sesuai dengan etika. Perlukan iklan langsung ke konsumen? Dibandingkan dengan waktu yang lampau, saat ini sudah menjadi keputusan bersama pihak medis dengan pasien, selama informasi tersebut akurat dan akan mempengaruhi ketidaktahuan pasien.
Sesuai dengan Permenkes 1787 / 2010 dan UU 32 / 2002 tentang Penyiaran, terdapat hal-hal terkait promosi yang dilarang diantaranya iklan yang bersifat menyerang, informasi tidak benar, informasi yang menyiratkan fasilitas pelayanan kesehatan akan memperoleh keuntungan dari pelayanan kesehatan yang tidak dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan lain, mencela dengan membandingkan, memuji diri berlebihan, iklan pelayanan kesehatan yang tidak berlokasi di Indonesia, tidak berijin, iklan makanan, alkes, suplemen yang tidak ada ijin edar, iklan obat keras, psikotropika, dan narkoba kecuali dalam majalah atau forum ilmiah kedokteran, memberi informasi dengan mendorong penggunaan jasa tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, memberi diskon, testimoni di media massa, publikasi teknologi pelayanan baru yang belum terbukti, menggunakan tenaga kesehatan sebagai model, bersifat SARA, bertentangan dengan kesusilaan masyarakat, maupun eksploitasi anak dibawah 18 tahun.
Pemerintah dapat memberikan sanksi apabila terdapat pelanggaran dengan menarik bahkan menghilangkan iklan tersebut. Jika fasyankes tidak melaksanakan arahan dari pemerintah maka akan ada sanksi administratif dan etika. Pesan dari topik ini adalah iklan fasyankes haruslah informatif, edukatif, dan diperlukan konsumen serta iklan yang mematuhi etika profesi, etika rumah sakit, dan etika pariwara yang tidak merusak kepercayaan konsumen.
Reporter : Elisabeth Listyani.