PASCAPENANDATANGANAN surat perjanjian oleh 187 rumah sakit (RS), yang siap mematuhi aturan untuk tidak memungut uang muka terhadap pasien gawat darurat, sejumlah sanksi kini menanti bagi RS yang melanggar.
“Sanksi berupa teguran lisan, tertulis, hingga pencabutan izin RS. Penerapan sanksi bergantung pada tingkat pelanggaran. Dalam hal ini, suku dinas kesehatan di setiap wilayah berperan sebagai pengawas,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto saat dihubungi kemarin.
Menurutnya, aturan itu sebetulnya telah tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Namun, setelah kasus yang menimpa bayi Tiara Debora Simanjorang di RS Mitra Keluarga Kalideres beberapa waktu lalu, pemerintah merasa perlu mengingatkan seluruh RS terkait penanganan pasien gawat darurat dengan jaminan kesehatan. “Namun, kami juga perlu pengawasan dari masyarakat, enggak bisa sendirian juga,” tambahnya.
Selama ini, sambung Koesmedi, keluhan dari RS swasta terkait kerja sama dengan BPJS ialah biaya INA-CBG’s yang tidak mencukupi. INA-CBG’s adalah model pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan RS.
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Oscar Primadi mengimbau seluruh RS di Indonesia agar tetap berkomitmen mengedepankan keselamatan pasien dalam melakukan pelayanan. “Pasalnya, kewajiban itu sudah diatur secara tegas dalam Undang-Undang No 4/2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan,” ujarnya saat dihubungi.
Oscar mengatakan Kemenkes mengapresiasi langkah Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang membuat perjanjian dengan sejumlah rumah sakit, Jumat (15/9). Hal itu, sambungnya, diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus kematian bayi Debora. Di lain pihak, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo menekankan pentingya kewajiban RS mengikuti akreditasi.
Dengan akreditasi, tambahnya, kualitas pelayanan, keselamatan pasien, dan kepatuhan RS terhadap undang-undang bisa menjadi lebih terjamin. Dari total 2.700-an RS yang ada, baru 1.100-an yang sudah terakreditasi. Kasus seperti RS Mitra Keluarga Kalideres itu salah satu contoh karena belum terakreditasi,” ucapnya. (Nic/Dhk/X-7)
Sumber: mediaindonesia.com