MUNGKIN alasan ini menjadi salah satu pertimbangan sejumlah rumah sakit memilih tak melanjutkan perawatan atau menolak pasien. Yakni, paket INA-CBGs BPJS Kesehatan mengatur tentang plafon pembiayaan setiap perawatan. Rumah sakit acap kali mengalami kerugian lantaran limit atau besaran biaya yang ditanggung dalam paket BPJS Kesehatan, tidak sesuai dengan pembiayaan dari rumah sakit.
Mau tidak mau, rumah sakit pun mencari cara agar bisa efisien dan tidak menambah kerugian. Ketua Perkumpulan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Edi Iskandar mengatakan, pihaknya memang sering mengalami kerugian lantaran biaya yang mampu ditanggung BPJS Kesehatan, sering selisih dengan tarif perawatan rumah sakit terhadap pasien.
“JKN yang dikelola BPJS boleh dikatakan bersistem paket berdasarkan diagnosis penyakit yang diderita pasien. Pada kasus-kasus tertentu, misalnya perawatan lama di ICU atau ruang intensif, sering paket JKN lebih rendah dibanding biaya yang telah digunakan rumah sakit atau melebihi limit sehingga seperti tempat merugi,” kata Edi saat dihubungi melalui pesan WhatsApp.
Meskipun sistem BPJS Kesehatan memakai subsidi silang atau bisa disebut sistem gotong royong, namun hal tersebut juga menimbulkan beban ke rumah sakit atau dokter. Pasalnya, dokter dan rumah sakit harus cermat dalam menghitung pengeluaran perawatan yang disesuaikan paket kepesertaan BPJS Kesehatan si pasien.
“Tapi secara pendapatan dan keseluruhan, atau total JKN, akan dilakukan subsidi silang untuk menutupi kerugian tersebut karena mengambil dari paket lain yang menguntungkan. Jadi dokter harus menghitung biaya seefisien mungkin,” ujarnya.
Hal yang sama diungkap Direktur RS Siloam Balikpapan, Danie Poluan. Dia mengungkapkan, pihaknya acap kali mengalami penurunan pendapatan lantaran harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menutupi kekurangan tarif dari pasien. Walhasil, pihaknya harus jeli dalam mengatur keuangannya agar tidak terus merugi.
“Kalau angkanya rendah, maka itu yang buat kami pusing. Contoh kalau dananya kecil tapi penyakit pasiennya belum tuntas, ya, rumah sakit jadinya tekor. Kalau tekor terus sudah pasti risiko di rumah sakit. Kami setiap bulan ada kerugian, nilainya ratusan juta rupiah setiap bulannya,” bebernya.
Untuk itu, rumah sakit acap kali membeda-bedakan antara pasien kepesertaan BPJS Kesehatan dengan pasien mandiri. “Untuk layani BPJS semua, kami harus hemat. Contoh kalau di poliklinik normalnya jasa dokter Rp 145 ribu, maka untuk BPJS dibayar Rp 50 ribu saja,” ungkapnya.
Namun, sistem paket dari BPJS Kesehatan ini tentunya menjadi sebuah dilema bagi rumah sakit. Sebab di satu sisi program pemerintah yang harus dijalankan, di sisi lain pihak rumah sakit yang tekor apabila tidak sebanding dengan pengeluaran.
“Kalau ditanya seperti itu, jawaban kami serba salah. Kayak buah simalakama. Hanya karena ini sudah program pemerintah, maka suka atau tidak suka tetap kami harus dukung dan jalankan,” pungkasnya. (bp-22/war/k1)
Sumber: prokal.co