Tantangan kesehatan di level nasional dan global semakin meningkat. Di level global, penyakit jenis sindrom metabolisme yang mengakibatkan kasus penyakit degeneratif semakin banyak terjadi karena gaya hidup. Belum lagi, kasus penyakit yang menjadi endemis seperti Zika, dan Influenza.
Di level nasional juga terdapat sekelumit tantangan. Transmisi virus HIV di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia. Belum lagi ditambah adanya neglected infectious disease.
Sementara itu, di luar bidang kesehatan, teknologi tumbuh sedemikian cepat. Maka, para tenaga medis wajib merespon kondisi kesehatan di Indonesia dengan perkembangan teknologi. Inovasi bernama telemedicine menjadi jawabannya. Pernyataan itu disampaikan oleh Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga Prof. Dr. M. Nasronuddin, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM, dalam acara “Symposium Telemedicine: Inovasi Pelayanan Kesehatan melalui Pengembangan Health Science Institute” yang dilaksanakan di Aula Dharmawangsa RS UNAIR, Rabu (8/2).
Nasron, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa telemedicine merupakan inovasi di bidang kesehatan yang akan digunakan RS UNAIR. Keberadaan telemedicine dapat dimanfaatkan oleh para dokter di suatu rumah sakit untuk berkomunikasi dengan dokter serta tenaga medis lain di tempat yang berbeda.
Melalui telemedicine, dokter bisa memberikan konsultasi, menegakkan diagnosis, hingga tata laksana operasi.
“Bila mau merujuk ke RS UNAIR, pasien masih dalam kondisi unstable (tidak stabil) sebelum dikirim ke sini. Sehingga perlu dilakukan operasi. Pasien tinggal langsung call dan dipandu dari sini. Sangat bermanfaat bagi rumah sakit yang ditempati,” tutur Nasron.
Telemedicine juga dapat dimanfaatkan untuk membangun jejaring dengan pusat pelayanan kesehatan baik di Indonesia maupun luar negeri.
Di Jepang, salah satu rumah sakit yang memanfaatkan telemedicine adalah rumah sakit bersalin St. Mary. Junichiro Okada, MD., memaparkan pemanfaatan telemedicine di rumah sakit tersebut. “Pada saat tersebut kami menerima panggilan. Neonatologis dan perawat bekerja sama memeriksa kondisi bayi, dan memilih staf yang tepat untuk diberangkatkan ke sana,” tutur Junichiro.
Biasanya, pihak dokter di St. Mary menggunakan panggilan video dari klinik bersalin via Google Hangouts dan Skype, dengan dokter atau bidan di klinik atau rumah sakit lain.
Penggunaan telemedicine yang menuai banyak manfaat itu juga diamini oleh Lucky Andrianto, dr., Sp.An-KAP. Dokter spesialis anestesi itu menuturkan, bila ada kasus sulit di bidang spesialis anestesi di tempat yang nun jauh, biasanya mereka menggunakan aplikasi WhatsApp Messenger baik chat maupun panggilan video.
“Kalau ada kasus sulit dari dokter anestesi di daerah, mereka menggunakan WhatsApp. Kita forward ke staf senior, dan staf senior memberikan jawaban,” tutur Lucky.
Namun, di dalam kondisi darurat seperti bencana, jenis telemedicine yang efektif digunakan adalah gelombang radio.
Pembicara terakhir dalam sesi presentasi simposiun kali ini adalah Tedy Apriawan, dr., Sp.BS. Dokter spesialis bedah saraf RS UNAIR itu memaparkan mengenai kekurangan dan kelebihan penggunaan telemedicine.
“Telemedicine lebih mudah diakses, menghemat biaya kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan pasien, metode modern, dan dapat menyimpan rekam medis,” tuturnya.
Tantangannya, telemedicine hanya dapat digunakan oleh para tenaga terlatih, membutuhkan peralatan yang canggih, dan memerlukan biaya yang besar. (humas/unair)
Sumber: ristekdikti.go.id