Bang AM yakin perilaku rumah sakit bukan enteng dengan menjual darah tersebut, melainkan adanya kebebasan yang selama ini tanpa pengawasan yang ketat. Akibatnya, pihak rumah sakit sendiri merasa itu bisa dengan sesukanya. Setidaknya ada pengawasan yang ketat dari pemerintah yang memiliki integritas, bukan pengawas yang doyan minta bayaran.
“Kondisi ini juga sangat dibutuhkan peran PMI (Palang Merah Indonesia) dalam menyosialisasikan aturan transfusi darah dan sistem pendonoran dan penggunaan hasil donor darah, sehingga tidak ada yang memanfaatkan kesempatan dalam mencari keuntungan yang besar,” ujar Bang AM.
Yudi PTB yakin kalau masalah jual beli darah di rumah sakit itu sudah terjadi sejak lama. Karena itu, cobalah ketua PMI Pusat mereformasi sistem pendonoran darah di seluruh Indonesia. Jangan niatnya hanya mencari kesempatan dari pasien yang membutuhkan darah. Cobalah semboyan dan motto PMI benar-benar dilaksanakan.
Kalau begini kan sepertinya PMI hanya menjadi pengumpul darah pendonor yang menyumbang dengan sukarela, tetapi dijadikan lahan bisnis oleh pihak tertentu. Ingatlah PMI, satu kantong darah bisa diartikan satu nyawa. Hargai juga para pendonor yang dengan sukarela memberikan darahnya dengan rasa kemanusiaan. Bekerjalah dengan hati, jangan bekerja karena uang.
“Kalau tidak mampu, berhenti saja dari keanggotaan PMI,” saran Yudi PTB.
Askar Marlindo meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) agar menertibkan praktik jual beli darah di rumah sakit swasta, karena itu ilegal. Apalagi saat ini banyak rumah sakit swasta di Kota Medan yang melakukan kegiatan jual beli darah. Sebab, Dinkes yang akan bertanggungjawab jika terjadi apa-apa akibat praktik jual beli darah ilegal itu.
Dinkes harus mencabut izin operasional rumah sakit swasta yang ketahuan menjalankan bisnis jual beli darah ilegal itu. Dinkes harus tegas dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kita melihat ada unsur permainan di dalam praktik jual beli darah itu. Diduga ada oknum Diskes yang sengaja membiarkan praktik ilegal itu terjadi.
“Publik harus terus kawal terus masalah ini, karena terkesan dibiarkan, baik oleh oknum di rumah sakit maupun oleh Dinkes sendiri,” pinta Askar Malindo.
Amat S. Kom menguraikan, darah yang akan ditransfusikan memerlukan pengolahan lebih dulu, sehingga tidak membahayakan penerima darah. Oleh sebab itu, pengolahan darah membutuhkan biaya dan bertujuan mendapatkan darah yang bermutu, aman dan bebas dari Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) agar siap digunakan untuk transfusi.
Adapun biaya yang dibebankan digunakan untuk merekrut atau mencari donor darah sukarela; biaya pengadaan kantong darah; biaya bahan pakai medis atau non medis; biaya pemeriksaan golongan darah dan Haemoglobin/Hb; biaya pengadaan reagen ujisaring agar terbebas dari IMLTD yang meliputi HIV/AIDS, HBsAg, HCV, dan RPR (sifilis).
“Kemudian biaya pengadaan reagen untuk ujicocok serasi dengan memakai mmetode gel test; biaya penggantian alat; biaya pemeliharaan alat, sarana dan prasarana; biaya penunjang meliputi air, listrik, telepon, dan pemusnahan limbah medik,” papar Amat S.Kom.
Herman melihat dari isu seperti ini pelajaran yang kita dapatkan adalah pertama donorlah darah ke PMI; kedua, bila ada petunjuk donor darah yang diperoleh dijual dengan sangat mahal, maka ini harus diselidiki. Kenapa bisa dijual dengan sangat mahal? Apakah karena saat menerima donor darah, semua darah donor itu harus diperiksa dan harganya mahal?
Dan yang paling penting apakah ini melanggar hukum? Bila harga yang dijual itu dianggap terlalu mahal ya bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk pengawasannya? Atau apakah itu melanggar hukum? Karena ini menyangkut nyawa manusia. Dengan harga segitu, pasien dari golongan ekonomi lemah yang kena imbas.
Apa mungkin harus ada peraturan hukum yang tegas soal donor darah. Karena kalau rumah sakit bisa jual darah, kenapa yang donor tidak diberikan kompensasi? Atau terbaiknya dari pemerintah ada aturan tegas mengatur di rumah sakit tertentu yang boleh melakukan penerimaan donor darah di bawah pengawasan langsung DinKes dan PMI yang disertai dengan ancaman pidana.
Sumber: medanbisnisdaily.com