JAKARTA – Peradaran vaksin palsu di rumah sakit Indonesia terus membuka borok dari kurangnya pelayanan kesehatan Indonesia. Salah satunya, masih banyaknya rumah sakit yang ternyata belum terakreditasi. Hal tersebut diakui bisa saja menjadi celah terhadap masuknya vaksin palsu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi mengatakan, saat ini rumah sakit swasta yang terakreditasi baru sekitar 20 persen. Padahal, akreditasi tersebut menjamin bahwa fasilitas tersebut bekerja sesuai standar prosedur dan regulasi.
’’Memang tidak mempengaruhi secara langsung. Tapi, rumah sakit (RS) yang terakreditasi harus mengikuti standar yang ada,’’ terangnya di Jakarta kemarin (24/7).
Menurutnya, banyak aspek yang harus dipenuhi RS untuk mendapatkan akreditasi. Mulai dari pelayanan medis, keperawatan, pengadaan barang, hingga pengelolaan limbah. ’’Jadi masih banyak RS yang tidak terjamin,’’ ujarnya.
Dia mengungkapkan, rumah sakit swasta sendiri merupakan pengguna obat dan vaksin dari distributor. Karena itu, dia tak bisa memisahkan vaksin palsu atau asli. Karena itu, rumah sakit yang belum sampai standar hanya bisa percaya kepada distributor.
’’Kami kan setiap kali pengadaan mengerti hanya dari distributor. Kami tidak punya kemampuan menyeleksi palsu atau asli,’’ ungkapnya.
Terkait penanganan vaksin, dia pun mengungkapkan masih akan mengkaji permasalahan. Menurutnya, tuntutan dari masyarakat akan direspon seusai proses hukum. ’’Sampai saat ini kami masih beluma ada wacana untuk menyediakan garansi terhadap vaksin yang ada,’’ terangnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Aliansi Korban Vaksin Palsu Rasamala Aritona justru menuntut tanggung jawab dari rumah sakit. Dia menilai bahwa 23 tersangka yang diproses saat ini sama sekali belum memuaskan publik. Pasalnya, instansi yang terkait dalam insiden ini harusnya juga menerima hukuman.
’’Sudah disebutkan dalam regulasi bahwa yang menjadi pelaku bukan hanya orang individual. Namun, instansi yang mendapatkan manfaat atau tempat insiden itu terjadi,’’ jelasnya.
Dia pun menganggap bahwa rumah sakit sudah tersangkut harus mengambil tanggung jawab penuh terhadap korban-korban yang ada. Dia mengambil contoh soal penanganan vaksin palsu di RS Harapan Bunda, Jakarta Timur. Usai menangani 44 pasien yang diduga mendapatkan vaksin palsu, RS tersebut tak lagi menanggapi keluarga yang mengajukan keluhan.
’’Seakan-akan dengan menangani hal itu semua masalah selesai. Harusnya ada tuntutan hukum agar instansi tersebut mendapatkan sanksi,’’ ungkapnya. (bil/zul/jpg)
Sumber: radartegal.com