Jakarta – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti masih banyaknya persoalan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan memasuki tahun ke ketiga pelaksanaannya. Secara khusus, IDI menyoroti masih tingginya angka rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTL) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit.
Ketua Umum PB IDI, Prof Oetama Marsis, mengatakan, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan di FKTL, lanjut dia, menjadikan pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi naik tidak terkendali. Idealnya dalam pelaksanaan JKN, 80 persen kasus selesai di FKTP dan 20 persen kasus di FKTL. Dengan besarnya dana yang dihasilkan antara FKTP dan FKTL sama masing-masing 50 persen.
Namun, kata Marsis, data yang ada menunjukkan justru 80 persen dana habis di FKTL, dan hanya 20 persen di FKTP. BPJS Kesehatan sendiri mencatat, terdapat 20 kasus yang paling banyak di rujuk ke FKTL.
“Tingginya angka rujukan ini disebabkan karena bukan permasalahan kompetensi dokter saja, tapi juga dikarenakan tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di FKTP. Tidak sebandingnya beban dokter dan pasien yang dilayani dan kuranngnya jumlah FKTP juga menjadi salah satu sebab,” kata Marsis.
Untuk mengatasi hal ini, menurut Marsis, PB IDI telah menyusun buku panduan diagnosa, tata laksana dan alur rujukan mengenai 20 kasus yang paling banyak dirujuk tersebut. Berkoordinasi dengan perhimpunan spesialis, buku panduan ini disosialisasikan terus menerus kepada dokter di FKTP, sehingga diarapkan akan menekan angka rujukan.
IDI juga menyoroti masalah ketersediaan obat dalam Formularium Nasional (Fornas). Hingga saat ini masih terjadi kekosongan obat untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuk dalam Fornas.
Masalah lain yang juga disoroti IDI, ialah rendahnya tarif Ina CGBs, khususnya pada kasus tertentu seperti kesenjangan tarif antara rawat inap dan rawat jalan, sehingga pasien cenderung diinapkan, mendapat parawatan intensif, tindakan operasi, suportif pada pasien kanker.
“Diparitas tarif antar berbagai tipe rumah sakit, juga membuat hanya sedikit RS swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa tiada subsidi dari pemerintah. Akibatnya, beban pelayanan lebih besar di rumah sakit pemerintah,” kata Marsis.
Karena itu, menurut Marsis, peninjauan tarif Ina CBGs dengan didukung anggaran kesehatan yang cukup harus segera mungkin dilakukan, sehingga permasalahan pelaksanaan JKN segera teratasi.
“IDI mengusulkan upaya perbaikan sistem JKN secara komprehensif dengan tiga pendekatan, yaitu menata sistem dengan dikenal 5 M, yaitu man, money, machine, material dan management atau tata kelola FKTP dan FKTL,” jelasnya.
IDI sendiri, lanjut dia, juga telah menyusun buku panduan kompensasi jasa medis dokter. Untuk dokter di FKTP pembagian jasa medisnya sudah jelas, tidak seperti dokter di FKTL yang hanya disebut jasa pelayanan sebesar 30-50 persen dari total klaim BPJS Kesehatan di RS.
Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh perda di masing-masing, tetapi seringkali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter.
“Diharapkan dengan panduan jasa medis ini memberikan masukan dan panduan bagi manajemen RS dan tenaga dokter anggota IDI menyusun pembagian jasa medis yang berkeadilan,” tambah Marsis.
Sumber: beritasatu.com