Outlook Manajemen Rumah Sakit
2016
Reportase
Elisabeth Listyani
Menyambut tahun 2016 ini, Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK UGM mengadakan diskusi mengenai Outlook Manajemen Rumah Sakit 2016 dengan harapan mendapatkan masukan mengenai peran PKMK FK UGM untuk mengantisipasi perubahan dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik. Diskusi ini diadakan pada Selasa, 12 Januari 2016 dengan mengundang berbagai pihak pengambil kebijakan kesehatan maupun pelaku di industri kesehatan.
Pada diskusi ini dipaparkan 2 topik. Topik yang pertama yaitu Outlook Pasca JKN dan Menjelang MEA yang disajikan oleh Ir. Sarwestu Widyawan, MPH. Pada pembahasan yang pertama ini mencermati mengenai isu utama yang terjadi pada 2015 yaitu JKN dimana rumah sakit masih banyak menumpuk di wilayah tertentu. Pertumbuhan rumah sakit selama 2012 – 2015 masih banyak terjadi di Pulau Jawa dan lebih banyak didominasi oleh rumah sakit swasta for profit. Akreditasi juga mendapatkan perhatian dimana dengan akreditasi versi 2012 ini rumah sakit-rumah sakit didorong untuk lulus akreditasi tersebut, salah satu tujuannya agar dapat bekerja sama dengan BPJS. Selain itu BLUD mendapatkan sorotan dimana setelah 8 tahun implementasi baru 60% RSD yang mendapatkan status BLUD, sedangkan sisanya 40% masih belum dengan berbagai kendala salah satunya adalah perbedaan persepsi antara pemerintah daerah setempat dengan pihak rumah sakit. Isu lain adalah dengan adanya MEA akan memberi peluang masuknya tenaga kerja asing termasuk tenaga kerja kesehatan ke Indonesia.
Sebagai outlook di tahun 2016 ini dimana JKN sudah mulai berjalan baik namun masih banyak terjadi keluhan dan rumah sakit belum semua siap secara sistem. Implementasi BLUD yang diterapkan oleh RSD diharapkan akan membawa RSD menjalankan rumah sakitnya secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel walaupun implementasinya masih akan banyak dipengaruhi secara politik. Selain itu isu rujukan berjenjang dimana rumah sakit pusat yang menjadi rujukan nasional akan menghadapi kelangkaan dokter sub spesialis. Hal lain yang perlu menjadi perhatian di tahun 2016 ini dengan diberlakukannya MEA selain tenaga kerja asing yang akan masuk ke Indonesia, akan ada pula investor asing yang tertarik untuk mengembangkan layanan kesehatan di Indonesia.
Topik kedua yang diangkat pada acara ini adalah Sumber Daya Manusia Kesehatan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M. Kes, MAS. SDM kesehatan menjadi salah satu faktor kunci dalam menjalankan JKN. Yang menjadi isu di tahun 2015 diantaranya kegaduhan ala SDM kesehatan yaitu distribusi dan retensi SDM kesehatan, dual practice, kompetensi SDM kesehatan, kesenjangan kompetensi dalam sistem rujukan, remunerasi, gratifikasi, jaminan keamanan dan keselamatan SDM kesehatan di daerah terpencil, dan dokter layanan primer. Hal lain yang seharusnya menjadi kegaduhan adalah MEA, namun sepertinya hal tersebut belum dikerjakan oleh pemerintah dan asosiasi profesi. Pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan adalah menyelesaikan UU tenaga kerja kesehatan dan UU profesi dan mendidik tenaga kesehatan yang ada di wilayah terpencil.
Sebagai outlook di tahun 2016 ini bahwa Indonesia saat ini sudah keluar dari konteks krisis tenaga kesehatan dan mulai masuk ke kinerja SDM kesehatan, kompetensi, dan distribusinya. Hal tersebut diserahkan pada mekanisme pasar seperti yang terjadi di rumah sakit – rumah sakit di Thailand, Malaysia, maupun Singapore. Produksi dokter spesialis terjadi peningkatan yang cukup di Thailand, sedangkan di Indonesia trendnya terjadi penurunan. Dengan berlebihnya pasokan tenaga spesialis di sebuah negara maka akan memicu negara tersebut untuk mengirimkan kelebihan tenaga spesialis ke negara lain. Berbagai upaya dilakukan agar tenaga spesialis tidak keluar (brain drain) seperti yang telah dilakukan di Thailand yaitu dengan mendorong universitas untuk meningkatkan jumlah dosen di Fakultas Kedokteran, demikian pula di Malaysia dengan mengupayakan medical tourism.
Untuk tahun 2016 ini belum ada inovasi karena beratnya unfinished business di tahun 2015, tahun ini merupakan tahun komunikasi dan koordinasi untuk menghasilkan regulasi yang acceptable, dan tahun kritis untuk persiapan MEA. Hal yang ditunggu saat ini dari pemerintah pusat adalah penuntasan DLP, revitalisasi CCF, memastikan kompetensi SDM kesehatan, membuat regulasi mengenai gratifikasi dan remunerasi, serta menentukan strategi menghadapi MEA.
Setelah pemaparan kedua topik tesebut, maka dilanjutkan dengan diskusi dari berbagai narasumber yang hadir baik di lokasi undangan maupun webinar. Diskusi pertama yang dilontarkan oleh dr. Tonang Dwi Aryanto yang mewakili Persi dan Arsada menbahas mengenai pengendalian biaya pada implementasi JKN yang akan berpengaruh terhadap mutu layanan. Diharapkan ke depannya dengan mutu yang akan dicapai maka berapakah biaya yang akan dikeluarkan. Penyebaran SDM kesehatan di beberapa wilayah masih kurang dan dikuatirkan dengan berlakunya MEA maka rumah sakit privat jejaring akan semakin melebarkan sayap ke daerah-daerah dan potensi rumah sakit daerah untuk memberikan layanan akan semakin tersaingi. Demikian pula Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD memberikan pendapatan bahwa saat ini ada 2 isu yang saling berlawanan yaitu adanya BPJS, peningkatan penduduk dan peningkatan rumah sakit for profit di Pulau Jawa versus produksi jumlah dokter spesialis yang menurun, masih diperparah lagi dengan pencatatan dimana residen belum dimasukkan sebagai SDM kesehatan. Tenaga lain yang belum dimasukkan ke dalam pencatatan adalah dokter sub spesialis, padahal permintaan terhadap tenaga tersebut cukup tinggi, dimana banyak penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri untuk mencari sub spesialis. Ke depannya perlu dimasukkan sebagai tenaga kesehatan. Di negara maju, residen menjadi tumpuan layanan kesehatan.
Hal tersebut juga ditanggapi oleh dr. Meliala, dimana gap ketersediaan dokter spesialis tersebut akan ditangkap oleh MEA. Perlu belajar dari Tiongkok dimana barefoot doctor dihitung sebagai tenaga kesehatan. Diharapkan residen dengan kemampuan level tertentu dapat ditempatkan ke daerah terpencil yang kekurangan tenaga spesialis dan aspek hukum juga perlu diperhatikan untuk melindungi tenaga tersebut. Lebih lanjut, saat ini dalam sistem pendidikan juga belum fokus atau masih generik dalam memberikan pendidikan kepada manajer rumah sakit, semestinya dibedakan untuk rumah sakit di daerah atau untuk rumah sakit di kota besar yang kental dengan kompetisi dengan rumah sakit luar negeri.
Dari sisi teknologi informasi yang disampaikan oleh Guardian Y. Sanjaya bahwa penggunaan IT di rumah sakit – rumah sakit salah satunya merupakan dorongan dari diberlakukannya JKN. Penggunaan aplikasi di rumah sakit sebenarnya cukup banyak pilihan, namun saat implementasi rumah sakit belum siap sampai pada tahap pemeliharaan, selain itu SDM yang dimiliki juga belum mendukung.
Dari diskusi yang dilontarkan oleh berbagai narasumber yang hadir dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi manajemen SDM yang diperkuat dengan regulasi dan peraturan beban kerja, mendefinisikan tenaga kesehatan seperti tenaga sub spesialis, IT, dan manager rumah sakit, menyelaraskan rumah sakit dengan SDM, pembiayaan JKN yang lebih transparan. Kesemua isu-isu tersebut selayaknya digulirkan kepada pihak-pihak terkait agar dapat ditindaklanjuti. (EL)