Reportase:
Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: Permendagri No. 61/2007 Kurang Jelas?
Pertemuan Rencana Revisi Permendagri 61/2007 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
Jakarta, 17-20 November 2015
Menyikapi belum berjalannya Permendagri 61/2007 sesuai dengan yang diharapkan, Ditjen Keuadangan Daerah Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para praktisi (direktur RSUD), asosiasi RS Daerah (ARSADA), akademisi dan tenaga ahli manajemen keuangan lembaga pelayanan publik di Jakarta minggu lalu. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas berbagai kendala, khususnya yang disebabkan oleh karena perbedaan dalam menafsirkan isi Permendagri tersebut di berbagai daerah. Para audiences diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka merevisi peraturan tersebut.
Setjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Indra Baskoro, dalam sambutannya menegaskan bahwa kebijakan ini harus diteruskan karena hanya dengan cara inilah kualitas pelayanan publik bisa ditingkatkan. Namun ia mengakui bahwa memang ada hal-hal yang perlu diperbaiki sehingga dengan adanya revisi ini maka kedepannya akan semakin memudahkan bagi SKPD khususnya rumah sakit daerah yang menerapkan PPK-BLUD.
Menurut DR. Hari Nur Cahya Murni, M.Si (Plt. Direktur BUMD, BLUD dan Barang Milik Daerah), kendala dalam menerapkan PPK-BLUD diberbagai daerah antara lain adalah sulitnya mengubah pola pikir birokrat terkait dengan penyusunan pola penganggaran yang lebih efisien, efektif dan lebih menekankan pada produktivitas dan kinerja, kurangnya SDM yang memahami BLUD serta BLUD belum dianggap prioritas bagi peningkatan kinerja pelayanan publik (belum memberikan kontrbusi yang signifikan bagi peningkatan kinerja pelayanan publik di instansi pemerintah).
Perubahan Permendagri 61/2007 yang didahului dengan perubahan PP 32/2004 menjadi 23/2014 pada intinya untuk memperbaiki pelaksanaannya di daerah dengan prinsip tidak mempersulit, tidak berimplikasi hukum dan memberikan implikasi pada peningkatan kinerja pelayanan.
Fleksibilitas yang diberikan pada BLUD harus disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal ini merupakan bentuk tuntutan terhadap akuntabilitas lembaga pelayanan publik atas kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya publik. Namun demikian, masih ada cukup banyak kerancuan penggunaan istilah dalam aturan ini, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi yang pada akhirnya menghambat implementasi BLUD. Kerancuan istilah antara lain:
- “Diaudit secara independen”, masih menjadi perdebatan karena menurut UU lembaga pemerintah hanya diaudit oleh BPK.
- Biaya (pada Bab X): masih belum jelas apakah yang dimaksud pada bagian tersebut belanja pada konteks penganggaran atau beban pada laporan operasional
- Penggunaan istilah investasi yang merujuk pada pengeluaran untuk modal tetap
- Ambang batas
- Kalimat yang tidak paralel, misalnya: Pasal 71 (2) “Penyusunan RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun berdasarkan prinsip anggaran berbasis kinerja, perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanan, kebutuhan pendanaan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, APBD, APBN dan sumber-sumber pendapatan BLUD lainnya. “
- Kalimat yang tidak jelas seperti pada Pasal 79
- Istilah tidak pas pada Pasal 89 dan 90 terkait dengan utang
- Standar akuntansi tidak relevan karena sudah keluar PP 71/2010, karena ini antara SKPD dengan BUMD
- Ada ketimpangan dalam pengaturan pengukuran kinerja
dan sebagainya.
Dalam pertemuan ini, dr. Kuntjoro A. Purjanto (Ketua ARSADA Pusat) menyampaikan bahwa dalam menyusun draft revisi Permendagri 61/200 7 ini, seluruh stakeholders perlu memahami hakekat RS: yang beda dengan lembaga pelayanan publik lainnya. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan 1) apakah ada mandat konstitusi untuk melaksanakan pelayanannya (msialnya pada kasus RS, bahwa di suatu daerah harus ada RSD), 2) ada hak konstitusi yang dimiliki oleh rakyat dan juga oleh RSD. Pasiem yang mencari pelayanan kesehatan ke RSD berharap sembuh. Sehingga mereka yang di pulau dan pelosok mempunyai hak sama dengan yang ada di pusat-pusat pemerintahan. Artinya ada kewajiban yang sifatnya public goods yang harus dipenuhi, kewajiban pemerintah, misalnya imunisasi, dan sebagainya, tegas Kuntjoro. Pihak yang dilayani oleh RSD adalah individu dan ini menuntut dimana tidak boleh ada kesalahan. Hal ini berbeda dengan hiburan, yang semakin lucu semakin tidak diatur maka semakin mahal harganya. Industri kesehatan mirip dengan penerbangan. Namun bedanya, pada industri penerbangan jika pilot melakukan kesalahan maka pilot akan ikut menjadi korban dalam kecelakaan. Pada industri kesehatan, jika dokter atau petugas kesehatan lainnya melakukan kesalahan, yang menjadi korban hanya pasien. Dokternya masih bisa praktek dan seterusnya.
Jadi, penting untuk digarisbawahi bahwa niat dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah: patient safety danstandar mutu. Untuk itu, maka fleksibilitas memang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan niat tersebut. Namun, RSD bukanlah lembaga yang terpisah dari pemerintah daerah, karena RSD menjalankan misi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal pelayanan kesehatan.
Untuk menghindari polemik yang berkepanjangan dan mengurangi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan selanjutnya, menurut Sudaryanto, SE, MM (Kabag pada Biro Keuangan dan Aset, Setjen Kementerian Dalam Negeri) seharusnya Permendagri disusunsejelas mungkin agar tidak menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Selain itu, hal tersebut juga untuk memunculkan persepsi yang sama (tidak menimbulkan persepsi yang berbeda). Aturan boleh saja rigid namun tetap fleksibel. Misalnya rincian obyek, rincian sebatas mana fleksibilitas itu diberikan, sehingga tidak melanggar aturan lain yang sudah ada. Ini contoh tata keuangan yang sedang direvisi. Agar ketika BLUD melaksanakan, ada dasar hukumnya. Saat tidak ada dasar hukumnya di Permendagri 61/2007, akan banyak pertanyaan dan jawaban yang diberikan secara lisan dan ini berbahaya. Pada akhirnya akan berkembang banyak versi penafsiran.
Salah satu contoh dampak dari perbedaan penafsiran adalah BLUD menyusun dua dokumen perencanaan jangka menengah, yaitu rencana strategis dan rencana strategis bisnis. Hal ini karena Permendagri 61/2007 tidak mengatur bagaimana mengkonsolidasikan Renstra Kepala Daerah dengan RSB BLUD. Akibatnya jika BLUD tidak menyusun Renstra (hanya menyusun RSB sebagaimana yang diamanatkan Permendagri), maka perencanaan BLUD akan sulit masuk dalam Renstra Pemda dan akhirnya tidak mendapatkan alokasi anggaran dari APBD. Kasus ini terjadi pada tiga RSUD yang telah ditetapkan sebagai BLUD di Kota Bandung, dimana program-program pada RSB tidak terkonsolidasi dalam RPJMD. Di sisi lain, DPRD menggunakan RPJMD sebagai dasar untuk mengesahkan anggaran. Akibatnya, ada beberapa rencana investasi pengembangan RS tertunda pelaksanaannya karena belum adanya alokasi APBD.
Ada penelitian yang menemukan bahwa banyak RS tidak menyusun RSB dan RBA namun ditetapkan sebagai BLUD. Selain tidak menyusun RSB dan RBA juga sebagian RSD lebih merasa sebagai BUMD dan membuat aturan-aturan yang tidak ada payungnya. Hal ini terjadi karena 1) DPKAD tidak “ngeh” atau tidak tahu, 2) RS merasa memiliki kewenangan. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa meskipun membuat RSB namun tidak dimasukkan dalam RPJMD. Ini menjadi masalah pada RKTD, karena dewan menggunakan RPJMD sebagai dasar untuk menyetujui anggaran.
Dengan berbagai masalah tersebut, harus jelas mana fleksibilitas yang boleh diberikan mana yang tidak dan mana yang dikecualikan. Hal penting yang juga masih luput dari perhatian adalah pengukuran kinerja yang masih timpang. Saat ini belum jelas bagaimana sistem pengukuran kinerjanya. Misalnya jika akan menggunakan Balanced Scorecard, salah satu kata kunci yang unik adalah adanya “manfaat sosial” di samping manfaat ekonomi. Tujuan-tujuan ini yang belum pernah dinyatakan atau dikemas dengan lebih baik dalam Permendagri 61/2007 tersebut. Jadi secara keseluruhan setidaknya ada tiga isu yang perlu digarisbawahi dalam revisi Permendagri ini, yaitu 1) isu tentang fleksibilitas, 2) isu tentang pengendalian, 3) isu tentang pengendalian kinerja. (pea)