manajemenrumahsakit.net :: BATAM – Batam dirasa sudah memerlukan keberadaan rumah sakit jiwa. Keinginan itu datang dari seorang Ketua RT. Di depan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, pria bernama Danggang itu mengeluh tentang kondisi Yayasan dan Pondok Pesantren Muhammad Al Fateh yang berada di lingkungannya. Antara lain, tentang pengawasan dan fasilitas ruang yang tak lagi memadai.
Pernah, di suatu hari, seorang pasien dari yayasan yang menyediakan panti rehabilitasi orang stres itu kabur. Ia berlari hingga ke pusat kota. Semua pengajar turun ke jalan, tak terkecuali perangkat desa.
“Jadi saya ingin tahu, kapan Batam punya rumah sakit jiwa?” kata Ketua RT 04 RW 07 Kampung Tua Teluk Mata Ikan itu lagi.
Mendengar pertanyaan itu, Khofifah tak mengubah mimik wajahnya. Ketika pengeras suara itu sudah sampai di tangannya, ia melemparkannya kembali. “Jadi siapa yang mau jawab? Dinas Sosial Kota atau Provinsi?” tanyanya.
Kepala Dinas Sosial dan Pemakaman Batam Raja Kamaruzzaman sempat beradu pandang dengan Kepala Dinas Sosial Kepri Edy Rofiano. Hingga kemudian, Raja Kamaruzzaman yang berdiri. Ia meraih pengeras suara dan mulai berbicara.
“Kalau untuk urusan Rumah Sakit Jiwa, itu bukan di bawah Dinsos Batam tapi Provinsi,” ujarnya. Katanya, bukan Dinas Sosial yang berhak memutuskan kapan Batam akan memiliki RSJ. Melainkan, Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan. Data Kementerian Kesehatan, Kepulauan Riau menjadi satu dari delapan provinsi se-Indonesia yang hingga kini belum memiliki RSJ.
Keberadaan Yayasan Muhammad Al Fateh sangat membantu Dinsos menangani orang-orang dengan gangguan jiwa. Menteri Khofifah bahkan berterimakasih kepada pihak yayasan yang masih mau menangani orang-orang tersebut. Sehingga, orang-orang tersebut tidak perlu dipasung.
“Pemasungan justru berdampak tidak baik bagi mereka,” kata Menteri Khofifah.
Raja Kamaruzzaman sepakat dengan Danggang. Batam, atau Kepri, butuh sebuah RSJ atau, minimal, klinik kesehatan jiwa. Sebab, Batam sudah memiliki seorang dokter ahli saraf. Dokter itu kini berpraktek di RSUD Embung Fatimah.
Barangkali Dinsos memang sudah kerepotan. Setiap bulan, mereka harus membawa orang-orang dengan gangguan jiwa dan mental pergi ke RSJ Tampan di Pekanbaru – Riau. Belum lagi prosesnya.
Sebelum dibawa, Dinsos akan mengantarnya ke RSUD – untuk bertemu Dokter ahli syaraf. Dokterlah yang akan memutuskan, orang tersebut benar-benar membutuhkan penanganan di RSJ atau tidak. “Dokter mengeluarkan rujukan. Rujukan itu kemudian kami sampaikan ke Dinas Kesehatan,” tutur Raja Kamaruzzaman.
Dinkes bisa menyetujui, bisa juga tidak. Sebab merekalah yang akan membayar klaim perawatan si pasien. Setiap bulannya, maksimal, lima orang yang diantar ke RSJ. Sebulan kemudian, Dinsos akan menjemput mereka. Itupun kalau sudah dinyatakan sembuh. Kalau tidak, orang itu akan tinggal di sana lebih lama. Yang dimaksud sembuh adalah dia kembali mengenal nama dan dirinya sendiri. Juga keluarga dekat.
“Anggaplah setiap bulan lima orang, sampai Juni ini, kami sudah antar sekitar 30 orang,” ujar Kamaruzzaman lagi. Orang dengan gangguan jiwa itu Dinsos dapatkan dari laporan masyarakat. Atau bisa juga dari penyisiran rutin yang mereka lakukan setiap minggu ke wilayah Batam. Kadang kala, mereka menemukan orang yang sudah pernah diobati. Tapi kembali gila.
Raja Kamaruzzaman menuturkan, kebanyakan orang dengan gangguan jiwa berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ekonomilah yang membuat mereka gila. Hal ini juga ditegaskan Wali Kota Batam Ahmad Dahlan. “Banyak yang di-PHK jadinya gila,” tuturnya.
Dahlan juga menyayangkan, Kepri belum memiliki RSJ. Ia mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Karena, wewenang pembangunan RSJ tidak ada di tingkat kota. Tetapi di tingkat provinsi. Keberdaan RSJ, bagi pria yang sudah dua periode menjabat Wali Kota itu, sangat penting. Namun, ia menolak kalau RSJ itu harus dibuat di Batam. “Jangan di Batam dong. Kan ibukota Kepri itu di Tanjungpinang,” tuturnya.(ceu)
Sumber: riaupos.co