Patient centered care atau pelayanan yang berfokus pada pasien sudah menjadi isu global sejak bertahun lalu. Sudah banyak juga organisasi pelayanan kesehatan yang membagi pengalamannya tentang membudayakan pelayanan yang berfokus pada pasien di berbagai forum dan jurnal internasional. Ini menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah sakit sudah move on dari keinginan untuk menjadi RS yang berkelas dunia ke RS yang mampu menyediakan “pengalaman untuk dikenang” oleh pasien. Ini mendorong terjadinya transisi situasi, dimana dulu RS-RS cenderung menjadi lembaga yang kegiatannya dipicu oleh masalah kesehatan pasien kini bergeser ke kegiatan yang menjadikan pasien sebagai mitra pelayanan. Jadi segala keputusan klinis dipandu oleh preferensi dan value yang dimiliki oleh pasien. Inilah yang disebut sebagai pelayanan yang berfokus pada pasien (patient centered care atau PCC).
Mudahnya akses informasi dan pengetahun menyebabkan praktek PCC ini menyebar cukup cepat ke berbagai belahan dunia. Namun demikian, ada praktek-praktek yang kurang tepat, yang disebabkan oleh tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku PCC. Ini memunculkan mitos yang berkembang seputar praktek PCC. Setidaknya ada tujuh mitos, menurut Vishal Bali (Asia Head of Health.TPG Grow) yang dipublikasi di website Hospital Management Asia. Ketujuh mitos tersebut adalah sebagai berikut.
- PCC membutuhkan biaya besar. Ada yang berpendapat bahwa PCC membutuhkan suntikan dana besar untuk merenovasi fisik, mengganti alat dan sebagainya. PCC sebenarnya adalah tentang hubungan antar manusia, yang bisa saja tanpa biaya sama sekali.
- Bagus, tapi tidak penting. Petugas kesehatan sangat perlu menguatkan hubungan komunikasi dengan pasien dan keluarganya. Komunkasi ini mencakup semua aspek perawatan dan penanganan medis pasien. Jika pasien mengetahui rencana tindakan klinis dan kemungkinan hasilnya, maka mereka akan lebih mudah bekerjasama.
- Itu adalah tugas perawat. Sebaliknya, implementasi PCC merupakan suatu bentuk transformasi budaya organisasi yang komprehensif. Agar berhasil, diperlukan komitmen dan keterlibatan seluruh anggota organisasi, yang klinis maupun yang pendukung.
- Ada kebutuhan untuk meningkatkan rasio staf. Beberapa RS yang menerapkan PCC menganggap asumsi ini keliru. Kenyataannya, memang perawat akan lebih sibuk dibandingkan sebelumnya.
- PCC hanya bisa benar-benar efektif di RS yang kecil. Asumsi ini juga tidak benar karena sudah diterapkan di RS besar yang memiliki cabang (dalam hal ini, contohnya adalah Cleveland Clinic yang memiliki beberapa RS regional).
- Pasien tidak komplain, jadi pasti kami sudah berhasil memenuhi semua kebutuhan mereka. Kebutuhan pasien sangat dinamis, preferensi dan value sangat beragam sehingga tidak mungkin ada sesuatu yang saking bagusnya bisa memuaskan 100% orang. Oleh karenanya pasti selalu ada celah untuk diperbaiki.
- Kami sudah memenangkan berbagai penghargaan kualitas, jadi pasti kami sudah berfokus pada pasien. Banyak penghargaan terhadap mutu pelayanan yang fokus pada outcome, tidak perduli bagaimana proses pelayanan itu dilaksanakan. Oleh karenanya, piagam penghargaan tersebut tidak selalu berhubungan dengan pelayanan yang fokus pada pasien.
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk menjadi RS yang berfokus pada pasien tidak diperlukan biaya yang besar, hanya kemauan dan komitmen serta kepemimpinan untuk membentuk kebiasaan baru dalam memandang dan memperlakukan pasien. Pelayanan yang berfokus pada pasien merupakan suatu inisiatif dan upaya untuk mengubah cara pandang dan cara memperlakukan pasien. (pea)
Sumber: hospitalmanagementasia.com