Workshop Unit Pengiriman Residen
3 September 2014
Reportase
Banyak hasil kajian sudah membuktikan bahwa Indonesia mengalami kekurangan jumlah dan maldistribusi tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Tenaga kesehatan cenderung berkumpul di Jawa dan berbagai kota besar di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Sementara itu banyak kota kecil, daerah perbatasan, daerah terpencil dan kepulauan tidak memiliki tenaga dokter.
Pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi gap dan mengisi kekosongan tenaga di daerah-daerah, misalnya dengan program wajib kerja sarjana (WKS) bagi dokter spesialis yang baru lulus, yang pendidikannya didanai oleh APBN, pengangkatan dokter spesialis dengan insentif khusus, bahkan dokter terbang di daerah kepulauan. Namun tetap saja masalah tersebut tidak teratasi dengan baik. Padahal, Indonesia akan kesulitan mencapai target MDGs jika tenaga kurang atau terjadi maldistribusi.
Sebenarnya ada hubungan saling membutuhkan antara RS Pendidikan dengan RS Daerah. RS Pendidikan memerlukan lahan tempat praktek bagi residen, sedangkan RS Daerah membutuhkan tenaga dokter yang sudah dapat diakui kompetensinya, dalam hal ini residen senior adalah dokter yang kompetensinya untuk hal-hal tertentu sudah dapat diakui. Disisi lain, jika hanya mengandalkan jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahun, kebutuhan seluruh Indonesia tidak akan bisa dipenuhi.
Namun masih ada banyak kendala dalam mengoptimalkan keberadaan residen sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan yang diakui. Masalah tersebut antara lain:
- Aspek legal: residen belum diakui sebagai tenaga kerja, melainkan sebagai peserta didik. Segala tindakan medis yang dilakukan oleh residen merupakan tanggung jawab DPJP. Masalahnya adalah tidak ada jaminan yang bisa memastikan bahwa DPJP bisa memonitor dan mendampingi setiap saat mana kala residen ditugaskan di RS yang lokasinya ribuan kilometer dari RS Pendidikannya. Jika residen tidak diberi kewenangan medis, maka banyak pasien tidak akan tertolong. Selain itu, jika seluruh tindakan residen dibebankan tanggungjawabnya ke DPJP, maka hal ini akan menjadi temuan dalam audit terhadap DPJP dan berpotensi menimbulkan potensi tuntutan hukum.
- Aspek pembiayaan: karena secara hukum keberadaannya sebagai tenaga kerja tidak diakui, maka secara finansial residen juga tidak boleh menerima insentif. Padahal pada umumnya tindakan dilakukan oleh residen, namun karena tidak berhak menerima insentif maka insentif tersebut diberikan ke DPJP yang tidak selalu mengetahui atau memonitor kegiatan residen dari waktu ke waktu.
- Aspek pengorganisasian: apakah pengelolaan residen ini akan berada di FK atau di RS Pendidikan?
Ketiga hal tersebut merupakan masalah inti yang dibahas pada pertemuan ini, yang diikuti oleh beberapa FK dan RS Pendidikan, ARSADA, PKMK FK UGM dan AIPMNH serta Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Dr. Ariyadi, MPH dari Asosiasi RS Daerah (ARSADA) menyampaikan bahwa seolah-olah RS Daerah sudah memiliki dokter spesialis yang cukup. Namun kondisi aktualnya adalah masih banyak RSD yang tidak memiliki dokter sesuai dengan standar kelas RS. Oleh karena itu, strategi untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis melalui pengiriman residen senior, sister hospital dan telemedicine dianggap tepat untuk kondisi saat ini dan diharapkan mampu menjawab masalah yang ada, sebagaimana ditunjukkan pada program Sister Hospital di NTT.
Bagi RS Dr. Saiful Anwar & FK Unibraw, PPDS yang dikirim adalah yang telah mengikuti ujian nasional sehingga sudah bisa bekerja secara mandiri. Oleh karena itu, akan baik sekali jika ada perlindungan hukum bagi mereka dalam melakukan tindakan medis, karena secara kompetensi sudah cukup. Pengiriman residen ke daerah yang membutuhkan dirasakan mampu membantu mendekatkan pelayanan spesialis ke masyarakat.
Berdasarkan pengalaman Tim RSUP Dr. Sardjito – FK UGM dan tim RSUP Dr. Kariyadi – FK Undip, pengiriman residen ke NTT tidak saja hanya melibatkan para residen namun juga staf yang lainnya. Sebagai contoh, residen obsgyn, anestesi dan anak yang dikirim ke RS Daerah seringkali tidak dapat bekerja dengan baik jika tidak dibantu oleh perawat bedah. Sementara RS Daerah tidak selalu memiliki perawat bedah terampil. Selain itu, pengelolaan jadwal pengiriman, monitoring dan evaluasi juga memerlukan kapasitas manajerial yang baik, sehingga ada tim manajemen yang membantu mengelola program tersebut. Namun secara khusus FK UGM menyampaikan apresiasinya karena dengan adanya pengiriman residen yang dikelola oleh RSUP Dr. Sardjito, maka sebagian tugas dekanat telah terbantu. Ini sangat memudahkan FK untuk memantau kegiatan dan memberikan support lain yang diperlukan.
Namun ada masalah lain terkait dengan program studi di FK. Sebagaimana dialami oleh RSCM & FK UI, antisipasi terhadap sistem administrasi perlu dilakukan agar kegiatan ini dapat dilakukan secara profesional. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengoptimalkan penggunaan IT.
Dalam pertemuan ini terungkap juga bahwa ternyata RS-RS Pendidikan memiliki RS jejaring yang sangat banyak. Misalnya RSUP Wahidin memiliki 32 RS jejaring dan RSUP Dr. Sardjito memiliki lebih dari 20 RS jejaring. Bahkan ada RSUP yang memiliki lebih dari 70 RS jejaring. Dengan adanya pengiriman residen ini, peluang bagi residen untuk mengaplikasikan ilmunya menjadi semakin besar. Hal ini secara spesifik dinyatakan oleh RSUP Sangah – FK Unud. Disisi lain, kebutuhan RS Daerah terahdap tenaga residen sangat besar. Namun karena belum ada unit khusus yang mengelolanya, maka terjadi antrian dan inefisiensi manajemen seperti yang terjadi di RSUD Dr. Moewardi. Terkait juga dengan tingginya kebutuhan tenaga residen, RSUP Dr. Soetomo – FK Unair menekankan kembali pentingnya perlindungan hukum bagi residen.
Dari diskusi satu hari penuh tersebut, ada beberapa isu yang masih memerlukan pemikiran mendalam untuk mencari solusi yang tepat:
- Karena kegiatan ini dilaksanakan dalam kerangka kerjasama dengan AIPMNH, maka perlu dipikirkan keberlangsungan program saat AIPMNH tidak lagi men-support Provinsi NTT.
- Apakah Unit Pengiriman Residen akan dilembagakan atau tidak, dan apakah istilah yang lebih tepat digunakan karena yang dikirim pada kenyataannya bukan hanya tenaga residen melainkan juga tenaga kesehatan yang lain?
- Apakah RS-RS Pendidikan saat ini sudah puas dengan yang telah dilakukan dan dicapai? Apakah tidak ingin ada pengembangan lebih lanjut?
- Apakah RS Mitra sudah benar-benar memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan ini secara profesional alam aspek hukum, logistik, mutu dan dukungan IT?
- Adanya retensi tenaga kesehatan di RS Daerah terhadap residen dan nakes lain dari RS Pendidikan
(pea)
AGENDA
Jam | Materi | Nara Sumber |
08.00 – 08.30 | Registrasi Peserta | Panitya |
08.30 – 09.00 |
Laporan Proses Blended Learning Pengantar Workshop & Pembukaan |
|
09.00 – 10.00 |
Laporan Tindak Lanjut dan Rencana Kerja “Unit Pengiriman Residen”
|
Team Leader/Ketua “Unit Pengiriman Residen”
Moderator: PKMK FK UGM |
10.00 – 10.30 | Rehat | |
10.30 – 11.15 |
Laporan Tindak Lanjut dan Rencana Kerja “Unit Pengiriman Residen”
|
Team Leader/Ketua “Unit Pengiriman Residen”:
Moderator: PKMK FK UGM |
11.15 – 12.00 |
Perkembangan Pemikiran terhadap Pembentukan “Unit Pengiriman Residen”
|
Team Leader:
Moderator: PKMK FK UGM |
12.00 – 13.00 | Ishoma | |
13.00 – 14.30 | Identifikasi Peluang-peluang “Unit Pengiriman Residen” dalam membantu mengatasi kelangkaan dan maldistribusi dokter spesialis |
Moderator: PKMK FK UGM |
14.30 – 15.00 | Kesimpulan dan Penutupan |
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD |