Pertemuan Pembahasan Remunerasi RSUD di Era JKN
Jakarta, 29 Agustus 2014
Reportase
Pertemuan yang diinisiasi oleh ARSADA Pusat ini adalah kelanjutan dari pertemuan yang diselenggarakan pada bulan Juni lalu di Kantor Kementerian Kesehatan. Untuk mengikuti reportase dari pertemuan yang lalu, silakan klik disini. Pada saat itu sebuah tim yang menggodog konsep remunerasi untuk RS Pusat memaparkan hasil kajiannya.
Pertemuan yang diselenggarakan di Gedung F, Kementerian Dalam Negeri pada 29 Agustus 2014 ini merupakan rapat pertama yang dibuka oleh Sudaryanto, Kasubdit BLUD yang baru dilantik sehari sebelumnya, yaitu 28 Agustus 2014. Sebelumnya, Sudaryanto menjabat sebagai Kabag Perencanaan di Dirjen Penganggaran Daerah. Dalam menapaki awal karirnya, Sudaryanto ikut terlibat dalam tim yang menyusun Kemendagri No 13/2006. Ia menginginkan agar suatu ketika BPK dan pengawas lembaga publik lainnya diundang dalam satu pertemuan untuk memperoleh persepsi yang sama mengenai BLUD, termasuk remunerasi yang dapat berlaku pada BLUD tersebut.
Kemudian, pertemuan dipimpin oleh dr. Heru Ariyadi, MPH (ARSADA Pusat). Menurut dr. Heru, langkah dalam menyusun remunerasi untuk RSUD perlu dimulai dari memetakan apa saja yang terkait dalam remunerasi. Permendagri No 61/2007 dan PP terkait BLUD sudah mengatur bahwa pimpinan dan staf BLUD boleh mendapatkan remunerasi. Hal ini harus diatur secara lebih tegas agar dalam implementasinya tidak ada keraguan. Bagaimanapun juga, pemberian pelayanan publik tetap harus mengikuti aturan yang berlaku.
Dr. Heru menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
- Kondisi Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang berbeda-beda. Di kawasan timur Indonesia sangat umum terjadi seorang dokter merangkap jabatan direktur sekaligus pelayanan, sedangkan di Jawa tenaga dokter melimpah.
- Remunerasi merupakan satu kesatuan antara gaji, tunjangan tetap, insentif, bonus dan sebagainya. Khusus untuk RS, yang paling krusial adalah topik mengenai jasa pelayanan atau insentifnya. Dalam hal ini ARSADA Pusat meminta bantuan Dr. Hanna Permana, MARS untuk memberikan paparan mengenai filosofi remunerasi.
- Bicara remunerasi artinya bicara tentang keseluruhan pendapatan, karena jika jasa pelayanan didasarkan pada klaim atau jumlah pasien maka secara logika pemerataan pelayanan di Indonesia tidak akan tercapai. Misalnya klaim satu RS di kawasan timur dalam satu tahun sama besarnya dengan besarnya klaim satu RS di Pulau Jawa dalam satu bulan. Ini akan menimbulkan ketidakadilan lebih jauh dalam hal pemerataan tenaga kesehatan, karena tidak ada yang berminat ke Indonesia Timur.
Meskipun di daerah sudah ada tunjangan daerah, namun besarnya sangat bervariasi, demikian juga dalam nomenklaturnya. Misalnya ada istilah tunjangan kelangkaan profesi, tunjangan perbaikan penghasilan dan sebagainya.
Menurut Dr. Hanna, remunerasi adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada seseorang ketika ia sudah melaksanakan pekerjaannya. Namun di PP 74/2012, sistem remunerasi adalah sistem pengupahan bagi karyawan yang dituangkan dalam satu artian yang baku dalam suatu perusahaan. Sistem ini harus berbasis pada kinerja. Remunerasi terdiri dari gaji, tunjangan, insentif, honorarium, merit/bonus. Persepsi yang berkembang di daerah saat ini adalah remunerasi merupakan pendapatan sejenis tunjangan, jadi jika sudah mendapat tunjangan tidak lagi mendapatkan remunerasi.
PP No 23/2005 Pasal 36 jelas menyebutkan bahwa pengelola, dewas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi. Permendagri No 61/2007 jelas mengacu pada hal ini. Kemudian yang perlu diatur adalah regulasi remunerasi, antara lain:
- besaran jasa pelayanan yang boleh menjadi remunerasi (insentif). Dalam manlak JKN ada range antara 40-60%, sehingga Kemendagri perlu mengeluarkan acuan yang jelas, tidak lagi berupa range.
- remunerasi RS khususnya pembagian jasa pelayanan merupakan hak pegawai RS
- RS masih berhak mendapatkan tunjangan dari daerah, TP, TKP, tunjangan fungsional dan sebagainya.
Ada beberapa acuan yang dapat digunakan sebagai alternatif menentukan besaran jasa pelayanan dalam era JKN:
- rerata nasional: total pendapatan JKN kali 32%
- normatif: total klaim dikurangi biaya operasional
- Permenkes No 28/2014 menyebutkan range 30-50%. Jika dalam bentuk range seperti ini, dokter pasti akan meminta angka tertinggi yaitu 50% sedangkan manajemen pasti memilih yg terendah agar masih ada sisa yang bisa digunakan untuk bahan habis pakai dan lainnya.
Untuk itu, Dr. Hanna menyarankan agar Kemendagri mengeluarkan aturan tentang jumlah maksimal yang bisa dikeluarkan sebagai jasa pelayanan.
Prinsip yang harus diingat adalah bahwa warga Indonesia yang berada di wilayah timur berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Namun para professional kesehatan masih enggan mengisi kekosongan pelayanan di daerah terpencil karena insentif yang juga kecil. Kemendagri mengusulkan adanya klaster-klaster untuk mengelompokkan daerah-daerah dengan karakteristik yang sama.
UGM mengusulkan agar mengoptimalkan keberadaan residen karena jumlah dokter yang ada di Indonesia meskipun dibagi rata ke seluruh wilayah tetap tdak akan mencukupi. Namun perlu ada aturan yang me-recognize peran residen dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, misalnya memperhitungkan residen sebagai salah satu tenaga kesehatan, bukan sekedar peserta pendidikan.
Pertemuan ini diakhiri dengan kesepakatan bahwa ARSADA Pusat akan membentuk tim kecil yang terdiri dari berbagai unsur untuk menyusun rumusan remunerasi bagi pengelola dan staf BLUD RSUD. (pea)
Delimatis di RSU Hj.Anna Lasmanah Banjarnegara, tertinggi dengan terendah kisaran 15 – 20 juta untuk spesialis, dr umum 7 – 10 juta, oerawat dan penunjang 500 ribu – 1 juta, manajemen 1 – 3 juta , yang lain dibawah 400 rb, untuk perawat dan penunjang 2,5 persen dari yg tertibggi, layakah ubtuk kami perawat yang kalah juasa namun pelayanan harus tetap standar dan profesional, mohon masukan