Penyegaran Manajemen RS BLUD
Ende, 25 Agustus 2014
Reportase
Tanggal 25 Agustus 2014 di Hotel Flores Mandiri, Ende berlangsung sebuah seminar yang ditujukan untuk para direktur dan kepala bagian serta PPKAD RSUD. Seminar ini untuk membangkitkan kembali semangat para pengelola RSUD yang telah berjuang selama kurang lebih 1-3 tahun untuk ditetapkan sebagai BLUD. Hadirnya PPKAD dalam seminar ini menjadi peluang untuk menjelaskan tujuan pelayanan RS, business process-nya dan berbagai hal lain yang membedakannya dengan SKPD “biasa”.
Dulu RS masih bisa menggunakan cara-cara tidak efisien karena dengan sistem pembayaran fee for service, berapapun biayanya tetap akan dibebankan kepada pihak pembayar. Namun sistem BPJS menerapkan prospective payment. Artinya tarif pelayanan di RS sudah ditetapkan berdasarkan paket (prospective payment) sehingga ketidakefisienan yang terjadi di RS akan menjadi kerugian bagi RS itu sendiri.
Di sisi lain, gairah karyawan yang terendah adalah gairah (passion) terhadap uang. Artinya, jika tujuan untuk bekerja adalah uang semata, maka karyawan tersebut masih berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya. Uang bisa membeli hiburan namun tidak bisa membeli kebahagiaan. Gairah yang lebih tinggi dari uang adalah gairah terhadap tempat kerja. Hal ini dapat dipahami karena tempat kerja yang menyenangkan akan menimbulkan motivasi kerja yang tinggi. Gairah yang lebih tinggi dari itu adalah ide-ide dan yang tertinggi adalah gairah karena cinta terhadap apa yang dikerjakan.
Oleh karena itu, manajer RS harus dapat memahami tipe-tipe karyawan yang bekerja di RS agar dapat menerapkan strategi yang tepat dalam menghadapi/mengelolanya. Antara lain ada tipe pembelajar, pelancong dan dalam setiap organisasi selalu ada 2% yang bertipe teroris.
Hal yang tersulit adalah mengubah budaya organisasi. Contoh paling kecil adalah mengucapkan salam saat berpapasan dengan siapa saja di selasar RS. Hal ini dibuktikan dengan praktek saat narasumber meminta beberapa peserta mempraktekkan cara mengucapkan salam dengan gesture yang telah ditentukan.
Kemudian, umumnya pasca penetapan menjadi BLUD, masalah yang dihadapi adalah seputar remunerasi. Menurut Dr. Hanna yang disebut dengan remunerasi adalah untuk karyawan organic (PNS maupun non PNS), sedangkan dokter tamu tidak akan mendapat remunerasi. Remunerasi maupun kebutuhan lain RSUD harus dimasukkan dalam RBA. “RBA ini bukan untuk dibahas melainkan untuk disetujui oleh Kepala Daerah dan DPRD”, lanjut dr. Hanna.
Peserta terlihat sangat antusias mengikuti seminar ini berkat keterampilan dr. Hanna dalam menggunakan berbagai joke pada setiap kesempatan. Pada sesi diskusi banyak pertanyaan yang diajukan oleh peserta, antara lain oleh Vincent. Menurutnya, ada semangat baru yang bisa dibawa pulang setelah seminar ini. Namun makin besar unit pasti makin banyak masalah. Termasuk perubahan attitude atau moral dalam pelayanan, mungkinkah diterapkan reward dan punishment, yang tidak melihat pada kualitas? Reward bisa berupa pujian saja.
Terhadap hal ini, Dr. Hanna menanggapi bahwa semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Demikian juga dengan organisasi, semakin besar organisasi maka semakin besar pula tantangan dan masalah yang dihadapi. Reward harus dibuat oleh RS berdasarkan accountability system. Contoh yang pernah dilakukan oleh dr. Hanna semasa menjabat sebagai Direktur RSUD Karawang adalah menerapkan sistem penghargaan berupa bintang bagi achiever. Staf yang mencapai target akan mendapat satu bintang. Jika dalam satu tahun mendapatkan 12 bintang maka akan mendapat reward, misalnya kupon menginap di hotel berbintang, umroh dan sebagainya. Reward tersebut tidak harus berupa benda yang terlihat, bisa juga berupa pujian. Sehingga jangan lelah memuji orang.
Standar untuk mendapat bintang sesuai dengan pencapaian kinerja dalam sistem akuntabilitas. Demikian juga dengan punishment, misalnya jika merokok di lingkungan RS, maka jasa pelayanan dapat dipotong 10%, dan seterusnya. Usahakan menegur karyawan dengan solusi.
Pertanyaan selanjutnya datang dari Dr. Sinaga, Maumere. Ia mengatakan bahwa tahun 2012 RSUD TC Hillers sudah BLUD penuh. Ia bertanya, saat ini akan menjajaki penerimaan pegawai non PNS, bagaimana mekanismenya? RS sedang tahap revisi Perbup khususnya mengenai proporsi (30:50, di Maumere rencananya 40) tahun ini, namun apakah obat dikeluarkan lebih dulu atau nanti saja.
Tanggapan dr. Hanna bahwa peraturan yang harus ada adalah Perbup tentang sistem rekruitmen. Setelah itu, baru RS bisa mengembangkan sistem perekrutan internal.
Kabid Penunjang RSUD Ruteng bertanya tentang jenjang nilai pengadaan barang dan jasa yang dalam Permendagri tidak dituangkan secara detil. Mengenai hal ini, memang Permendagri tidak mengatur detil, melainkan harus dibuat Perkada (peraturan kepala daerahnya). Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada daerah-daerah untuk berkreasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing, sehingga fleksibilitas di satu sisi tidak menimbulkan kekakuan baru disisi lain.
Salah satu hal menarik yang dijelaskan adalah bahwa setiap manusia secara alamiah menyukai comfort zone. Pertanyaan menarik dari peserta adalah bagaimana cara mengeluarkan orang (staf RS) dari comfort zone? Menurut dr. Hanna, buatlah lingkungannya menjadi tidak nyaman. Namun manajemen harus siap dengan kondisi kekacauan yang terjadi sebagai reaksi penolakan dari dipindahkannya seseorang dari zona nyaman tersebut . Zona nyaman terjadi karena rutinitas dan otomatisasi. Zona nyaman yang paling berbahaya adalah saat seseorang mengira apa yang dikerjakannya sudah benar. (pea)