Reportase
PERTEMUAN PENYUSUNAN PEDOMAN REMUNERASI RUMAH SAKIT DAERAH
Jakarta, 18 Juli 2014
reporter: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes
Saat ini implementasi JKN telah memasuki bulan ketujuh. Kebijakan mengenai JKN merupakan reformasi pembiayaan kesehatan dari yang sebelumnya berupa sistem fee-for-service menjadi sistem paket. Dengan adanya perubahan ini, banyak masalah timbul dalam pelaksanaan tersebut mulai dari masalah teknis hingga masalah mind-set. Dinamika yang terjadi selanjutnya mendorong ARSADA untuk melakukan inisiatif menyusun sistem remunerasi bagi RSD di era JKN. Dari kegiatan yang telah dilakukan, ada beberapa kesulitan dalam penyusunan remunerasi tersebut, yaitu dalam hal 1) menentukan sumber dana untuk jasa pelayanan, menentukan persentase alokasi dana, 3) menentukan cara mendistribusikannya, 4) memperhatikan kebijakan yang ada terkait dengan remunerasi
Oleh karena itu, Asosiasi RS Daerah berinisiatif untuk melakukan pertemuan membahas masalah ini, dengan mengundang pakar dan praktisi, serta pemerintah (Kemenkes dan Kemendagri) yang terkait langsung dengan masalah ini. Pertemuan dilakukan di ruang rapat BUK Kementeria Kesehatan pada Jumat, 18 Juli 2014.
Pertemuan ini dibuka oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro MSC, PhD yang dihubungi melalui sambungan Skype®. Dalam pembukaannya, Prof. Laksono menyampaikan bahwa ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sistem remunerasi bagi tenaga kesehatan di RS, yaitu 1) pendapatan bulanan yang dapat menjamin kehidupan yang wajar bagi para tenaga kesehatan, 2) produktivitas tenaga kesehatan dan 3) adanya residen yang dapat berperan sebagai tenaga kesehatan profesional. Remunerasi di RS Daerah tentunya akan berbeda antara RS pendidikan dan non pendidikan, antara RS di kota besar dengan di daerah terpencil. Komponen “SDM” dalam tarif INA-CBGs dapat dijadikan salah satu dasar untuk menentukan formula remunerasi, sehingga yang produktif mendapatkan lebih banyak dibandingkan yang kurang produktif. Intinya, sistem ini harus mampu membuat dokter spesialis betah bekerja dengan giat disuatu RS dengan sistem pembayaran bulanan.
Disadari bahwa pengembangan sistem ini akan menemui banyak tantangan, mulai dari penyusunan hingga implementasinya. Oleh karena itu, Prof. Laksono menyarankan ARSADA untuk mengadopsi teknologi webinar sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dengan RS-RS daerah di seluruh Indonesia, tanpa biaya yang terlalu besar. Teknologi ini akan memungkinkan ARSADA untuk mengumpulkan data jauh lebih mudah untuk kemudian dianalisis.
Pada pertemuan ini, Tim Remunerasi Dirjen BUK Kementerian Kesehatan yang telah melakukan studi untuk penyusunan pola remunerasi RS vertikal memaparkan bahwa RS vertikal harus memiliki tarif yang berdasarkan unit cost terlebih dahulu. Tarif ini kemudian menjadi dasar bagi Kementerian Keuangan untuk menganalisis kemampuan pendanaan RS ke depan, termasuk untuk sistem remunerasinya.
Ada tiga komponen dalam sistem remunerasi yang diusulkan, yaitu pay-for-position, pay-for-people dan pay-for-performance. Batang tubuh dari sistem ini terdiri dari grade dan kelompok jabatan. Dengan pola ini, seluruh pendapatan RS akan masuk dalam satu pot dan dibagi berdasarkan grading dan kelompok jabatan tersebut. Jadi tidak ada lagi istilah jasa pelayanan, jasa medis, jasa obat dan sebagainya. Remunerasi dibagi berdasarkan grade yang telah ditetapkan tersebut.
Kesulitan yang ditemui pada penetapan pola ini adalah karena tidak seragamnya terminologi yang digunakan oleh RS. Misalnya terminologi profesi, jabatan dan sebagainya. Oleh karena itu, tim ini menyarankan agar ARSADA menginisiasi adanya sebuah “Kamus Profesi” agar ada keseragaman istilah, demikian juga dengan keseragaman jabatan/grade.
Menurut Dr. Hanna Permana, MARS, remunerasi yang akan dibuat oleh Kemenkes tidak perlu terlalu detil, karena implementasi pola remunerasi akan sangat dipengaruhi oleh budaya, kebiasaan dan kondisi di daerah. Selain itu, perlu ditetapkan grade yang memperhatikan risiko pekerjaan, jabatan dan aspek-aspek lain. Misalnya harus ada perbedaan antara perawat yang bekerja di ICU dengan yang bertugas di poliklinik. Secara sederhana, kondisi berikut merupakan kondisi yang dapat menerima remunerasi paling tinggi: dokter pemegang pisau, bertugas di critical care, memegang jabatan sebagai ketua komite medik dan menjelang pensiun.
Lebih lanjut Dr. Hanna menyampaikan bahwa banyak RS yang masih salah memahami mengenai struktur organisasi. Direksi dan Kepala Bidang adalah jabatan struktural. Namun kepala seksi adalah lini, jabatan Kepala Instalasi tidak boleh ada di bawah Kepala Seksi. Namun kenyataannya banya RS menempatkan Kepala Instalasi di bawah Kepala Seksi.
Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara dalam pertemuan ini dapat diunggah dengan meng-klik judul materi berikut ini.
Materi Presentasi
Judul materi | Pemateri |
Remunerasi pada PPK BLUD | Direktur PDID Kemendagri |
Remunerasi berdasarkan Permenkes 625/2010 | Tim Remunerasi Kemenkes |
Sistem remunerasi RS | Dr Hanna P Subanegara, MARS |
DR. Drs Suranto (PERSI) | |
Rangkuman | Sekjen ARSADA |