MENCARI RS RUJUKAN NASIONAL DI ERA JKN
Putu Eka Andayani
Secara umum, sistem rujukan dalam pelayanan dikenal sebagai suatu mekanisme dimana jika sebuah fasilitas kesehatan tidak memiliki sumber daya (SDM, peralatan) untuk menangani suatu kasus, maka pasien akan dikirim ke fasilitas kesehatan lain yang lebih canggih. www.kebijakankesehatanindonesia.net merilis bahwa Sistem Kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk material[1]. Menurut Sistem Kesehatan Nasional, rujukan upaya kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung-jawab secara timbal balik, baik horisontal dan vertikal maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan[2]. Dengan demikian, dapat dikatakan sistem ini menghendaki adanya suatu pengaturan pola kedatangan pasien ke fasilitas kesehatan, yang dimulai dengan datang ke fasilitas paling sederhana (pelayanan kesehatan primer).
Pada era berlakunya JKN, BPJS telah mengeluarkan pula buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Definisi yang digunakan mengacu pada definisi SKN di atas. Pola rujukan yang diatur sebagaimana gambar berikut[3].
Menurut alur di atas, jika bukan kasus emergency, maka pasien yang merupakan peserta BPJS harus mengunjungi fasilitas kesehatan primer terlebih dahulu. Jika fasilitas kesehatan primer (Puskesmas, RS Kelas D) tidak mampu menangani, maka pasien dapat dirujuk ke RS yang lebih tinggi kelasnya. Dengan demikian, implementasi JKN mengatur bahwa rujukan berjenjang adalah hal mutlak yang harus dilaksanakan dan dipatuhi. Jika dilaksanakan dengan benar, maka ini akan membuat jumlah pasien di RS rujukan tertinggi menajdi berkurang secara kuantitas, namun tingkat kesulitannya meningkat.
Permenkes No. 1 Tahun 2012 mengatur jenis-jenis rujukan, yaitu rujukan nasional, rujukan provinsi, rujukan regional antar-kabupaten serta rujukan kepulauan. Sistem ini memang dikecualikan bagi pasien yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan primer atau dalam kasus kegawatdaruratan. Sistem ini juga menguntungkan bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke atas, karena sifat portabilitasnya.
Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah definisi rujukan nasional: apakah ditentukan oleh geografis (berada di Ibukota Negara), atau ada kriteria lain yang dapat digunakan (misalnya rujukan pelayanan kesehatan tertentu)? Bagaimana konsekuensi sebagai RS Rujukan Nasional? Bagimana proses bisnisnya? Apa saja indikatornya?
Berbagai pertanyaan tersebut dibahas pada rangkaian diskusi ilmiah yang melibatkan manajemen dan klinisi dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, RS Akademik UGM serta RS Prof. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Diskusi yang diinisiasi oleh PKMK FK UGM ini bertujuan untuk membahas pusat-pusat rujukan nasional, provinsi dan antar-kabupaten dan merumuskan definisi baru yang lebih sesuai dengan proses bisnis dan indikatornya.
SKN tahun 2009 telah mengatur adanya rujukan berjenjang. Menurut SKN, ada dua jenis rujukan yaitu rujukan medis dan rujukan kesehatan. Rujukan medis berkaitan dengan pengobatan dan pemulihan (pengiriman pasien, specimen, transfer pengetahuan). Rujukan kesehatan berkaitan dengan upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan (sarana, teknologi dan operasional). Namun tidak mudah mengembangkan RS rujukan medis maupun kesehatan. Manajemen RS perlu mendukung sistem tersebut dengan infrastruktur dan sistem yang baik.
Kita bisa belajar dari Mayo Clinic yang merupakan pusat rujukan tidak saja bagi RS-RS di USA melainkan juga di negara lain. Di Mayo Clinic, sudah ada infrastruktur yang memungkinkan bagi RS faskes lain untuk berkomunikasi jarak jauh dengan para ahli (hingga sub/super spesialis) yang ada di Mayo Clinic. Sebelum merujuk pasien, sudah ada sistem yang mampu memastikan bahwa begitu tiba di Mayo Clinic, satu tim klinis sudah siap menangani pasien, demikian juga dengan fasilitas pendukung (akomodasi dan sebagainya). Juga ada infrastruktur untuk continuing education bagi para dokter dan dokter spesialis di RS perujuk, sehingga mereka juga bisa meng-update pengetahuan dan informasi klinis. Terlihat bahwa dari hubungan ini bukan hanya komunikasi mengenai pasien yang ditransfer melainkan juga perkembangan pengetahuan klinis, dimana Mayo Clinic berperan sebagai sumber rujukan referensi bagi profesional (dan institusi) kesehatan lainnya.
Pertanyaan yang masih harus didiskusikan lebih lanjut adalah apakah RS Rujukan Nasional yang dimaksud oleh JKN dan Permenkes meliputi juga hal-hal seperti tersebut di atas? Apakah proses bisnis dan indikator RS Rujukan Nasional akan menuju pemenuhan aspke-aspek tersebut? Apakah penghitungan tarif paket INA-CBGs akan mengakomodir kebutuhan pengembangan RS Rujukan Nasional? (pea)
file presentasi Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
[1] http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/597-memahami-sistem-kesehatan.html diakses pada 9 Juni 2014
[2] Sistem Kesehatan Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2009
[3] Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial