Karakteristik RS Berkinerja Buruk
Penerapan sistem pembiayaan kesehatan nasional berdampak pada semakin dituntutnya efisiensi pada dengan tetap mepertahankan mutu pelayanan sesuai dengan standar yang berlaku. Tidak tertutup kemungkinan, RS yang tidak mampu efisien akan collaps dan pada akhirnya tidak mampu bertahan hidup. RS-RS di Indonesia perlu banyak belajar dari kegagalan RS di negara lain. Meskipun banyak faktor eksternal dan internal RS sebagai pembeda, namun ada indikator mutu yang berlaku secara universal. Beckers Hospital Review baru-baru ini merilis laporan berisi empat ciri RS yang berkinerja buruk.
- BOR rendah
Menurut laporan ini ada banyak RS yang terpaksa tutup karena BOR kurang dari 27%. BOR yang rendah akan memicu rendahnya pendapatan dan tingginya biaya.
- Angka admisi ulang yang tinggi
Jika angka admisi ulang mencapai 10% maka RS tersebut dapat digolongkan sebagai RS berkinerja rendah. Angka admisi ulang yang dimaksud adalah yang terjadi akibat pasien terpaksa kembali ke RS karena mengalami infeksi atau komplikasi tambahan akibat buruknya mutu pelayanan sebelumnya.
- Rendahnya angka kepuasan pasien
Berita tentang buruknya pelayanan di sebuah RS akan lebih cepat menyebar dan efektif bila berasal dari mantan pasien, dibandingkan berita baik apalagi yang berasal dari staf RS. Ini akan mepengaruhi penilaian masyarakat secara umum dan kemudian mempengaruhi keputusan passien dalam memilih RS mana yang akan dituju untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
- Lokasi RS (di perkotaan atau di daerah)
Secara umum RS yang berkinerja buruk memiliki kombinasi dari ketiga ciri di atas. Selain itu, RS yang berkinerja buruk biasanya memiliki kapasitas kurang dari 138 TT (daerah perkotaan) atau kurang dari 78 TT (daerah kota kecil dan pedesaan), hasil sensus pasiennya berada pada level rata-rata untuk 50 pasien (daerah perkotaan) dan 30 pasien (untuk daerah kota kecil dan pedesaan), dan biasanya berlokasi tidak jauh dari RS lain (5 mil untuk RS di daerah perkotaan dan 25 mil untuk RS yang ada di daerah kota kecil dan pedesaan) yang memiliki pelayanan lebih baik .
Dengan sistem pembayaran JKN melalui tarif paket, maka selayaknya para pengelola RS di Indonesia memiliki pola pikir yang berbeda dalam mengelola biayanya. Dalam hal ini, tarif paket menuntut RS memiliki informasi biaya dalam paket-paket pelayanan, bukan lagi biaya per tindakan per pasien seperti yang selama ini diperhitungkan oleh RS. Dengan demikian, tingkat efisiensi RS hanya dapat diketahui setelah menghitung biaya dan pendapatan secara keseluruhan, bukan per kasus pasien.
Karena JKN baru diterapkan beberapa bulan, belum semua RS, khususnya RS swasta, yang bergabung untuk melayani passien BPJS. Oleh karenanya, pasien BPJS di beberapa daerah mungkin tidak memiliki banyak piliha, namun di daerah lain khususnya di kota besar masih bisa memilih jika dirujuk ke RS. Dalam hal ini, kepuasan pasien menjadi salah satu kunci keberhasilan RS dalam meningkatkan angka kunjungan dan tingkat hunian RS.
Oleh karenanya, selain informasi yang dikumpulkan oleh RS melalui pelaporan RS ke Dinas Kesehatan setempat, RS juga perlu melakukan monitoring secara terus menerus dan evaluassi berkala terhadap berbagai indikator lainnya, misalnya yang terdapat pada SPM maupun pencapaian target pada RSB. Bagi manajer RS, data ini akan sangat bermanfaat untuk memberikan informasi tingkat mutu dan efisiensi RS. Sudahkan RS anda melakukan monev secara berkala terhadap pencapaian SPM dan RSB/RBA? (pea)
Benar sekali.
Pemimpin RS, terutama RS Swasta harus memiliki “power”
agar dapat enjalankan perannya secara benar dan inovatif.