Reportase
Scaling Up Program Sister Hospital Provinsi NTT
Nusa Dua, Bali, 19 Maret 2014
Reporter: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes
Implementasi JKN sejak awal 2014 yang dimaksudkan untuk memeratakan pelayanan nampaknya masih sulit untuk terwujud. Namun Prof. Laksono Trisnantoro dari UGM mengungkapkan bahwa Road Map yang dibangun oleh Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan JKN seharusnya memikirkan beberapa skenario, tidak hanya mengandalkan pada satu rencana. Hal ini karena banyak faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan.
Skenario pertama adalah skenario optimis, yaitu semuanya berjalan sesuai dengan yang disusun dalam peta pemerintah. Namun skenario ini hanya dapat berjalan apabila terdapat berbagai kebijakan dan perubahan-perubahan yang dibutuhkan agar asumsi dalam Road Map terpenuhi, antara lain ketersediaan fasilitas, SDM dan dana.
Skenario kedua adalah skenario pesimis, akan terjadi apabila ada kegagalan dalam menambah SDM dan fasilitas kesehatan di daerah sulit, komposisi PBI dan non-PBI yang tidak seimbang, fraud dan berbagai masalah lain dalam pelaksanaan JKN. Dalam kondisi ini, dana BPJS akan banyak terserap ke daerah-daerah yang memiliki banyak fasilitas kesehatan dan yang banyak melakukan fraud.
Bila yang terjadi adalah skenario pesimis, maka NTT tidak akan dapat menyerap dana BPJS sebanyak daerah-daerah lain yang telah maju dengan fasilitas yang lebih banyak. NTT tidak akan mampu mengajukan klaim sehingga prinsip keadilan yang dicita-citakan oleh JKN akan sulit terwujud. Untuk itu, perlu ada investasi untuk pengembangan fasilitas kesehatan dan penambahan SDM di NTT yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini karena kemampuan ekonomi daerah NTT kecil. Selain itu, juga perlu ada pembatasan-pembatasan pemanfaatan oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
Program Sister Hospital di Provinsi NTT yang telah berjalan sejak akhir tahun 2010 dan kemudian diperkuat dengan Performance Management and Leadership (PML) tahun 2011 bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di NTT.
Pada prinsipnya program sister hospital ini merupakan program kemitraan antara RS “besar” di Jawa, Bali dan Makassar dengan RSUD di NTT. Kemitraan ini dilakukan untuk mengatasi kelangkaan tenaga dokter spesialis dan tenaga kesehatan lainnya di RS, khususnya untuk melaksanakan pelayanan PONEK 24 jam. Implementasi kegiatan adalah dengan cara clinical contracting out.
Pada model ini, RS Mitra mengirimkan tenaga spesialis obsgyn, spesialis anak dan spesialis anestesi serta tenaga paramedis untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keterampilan teknis staf klinis di RSUD melalui training, magang di RS Mitra, dan pengembangan budaya kerja yang mengarah ke mutu layanan dan keselamatan pasien. Selain itu, kegiatan ini juga melibatkan tenaga puskesmas, dimana mereka dilatih dan diberi penyegaran dalam rangka penguatan sistem rujukan.
Hasil yang diperoleh yaitu pelayanan PONEK di RS sudah mulai tertata dan tim juga sudah menghasilkan manual rujukan yang dilaksanakan mulai dari tingkat puskesmas atau bidan desa sampai dengan RS. Dengan adanya manual rujukan ini, “kegaduhan” di IGD RS akibat kasus ibu hamil yang terlambat dirujuk dapat dikurangi.
Sejauh ini, hasil monitoring dan evaluasi pada sebelas RSUD di NTT menunjukan bahwa pada umumnya program SH-PML telah membawa dampak positif. Ketersediaan tenaga residen senior dari spesialisasi Obsgyn, Anak dan Anestesi tersedia secara reguler di hampir semua RS, terbangunnya manual rujukan kasus ibu hamil dari tingkat bidan desa dan puskesmas ke RS, hingga berbagai pembenahan pengelolaan operasional RS. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak faktor yang ikut mendorong kemajuan tersebut, antara lain dukungan Pemda pada beberapa daerah yang cukup baik, memberi kesempatan bagi RSUD untuk menerapkan metode-metode baru yang lebih efektif.
Dengan adanya berbagai perbaikan dari hasil upaya menata pelayanan PONEK di RS, maka dipandang perlu untuk melakukan scaling up kegiatan ini ke RSUD lain di Provinsi NTT. Menurut Wikipedia, scaling up adalah perpindahan proses dari suatu setting pada skala yang kecil (pilot project) ke implementasi pada skala yang lebih besar atau skala komersial. Tujuan scaling up suatu program biasanya adalah untuk meningkatkan atau memperluas cakupan kegiatan yang telah diyakini efektivitasnya, untuk mendatangkan manfaat yang lebih besar.
Jika upaya intervensi untuk menghadapi kondisi seperti pada skenario kedua dilakukan, maka ada harapan bahwa pemerataan distribusi tenaga dapat terjadi. Pemerataan distribusi tenaga akan mempermudah scaling up program sister hospital.
Pada akhir pertemuan, Dr. Stefanus Brian Sera selaku Kepal Dinas Provinsi NTT menjelaskan pada para direktur RSUD mengenai bagaimana mekanisme pengelolaan dana JKN yang masuk ke RS, yaitu untuk operasional (jasa medis, bahan habis pakai, jasa RS). Di sisi lain, tarif RS pemerintah di NTT saat ini merupakan tariff subsidi. Menurutnya hanya tarif di RS Prof. Yohannes Kupang yang mendekati real cost. RS yang sudah ditetapkan sebagai BLUD akan lebih mudah dalam menggunakan dananya.
Dampak positif dari pelaksanaan JKN antara lain: RS menggunakan INA-CBGs menguntungkan RS dilihat dari aspek tarif Perda sebelumnya. Menurut Dr. Stefanus ini berarti bahwa tarif RS sebenarnya sudah kuno, sehingga perlu kajian unit cost untuk memperbaiki tarif.
Provinsi menyediakan anggaran untuk pelayanan kesehatan Jamkesda dan Jamkesmas sebesar Rp 7,5 M, dengan dasar tarf INA-CBGs. Namun anggaran ini hanya dialokasikan untuk RS rujukan:
– RSUD Atambua (untuk rujukan dari Belu, Kefamenanu dan Melaya),
– RSUD Kupang (untuk rujukan dari Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Kupang, Rote dan Sabu),
– RSUD Sikka (untuk rujukan dari Kab. Sikka dan Flores timur),
– RSUD Ruteng (untuk rujukan dari Ruteng, Manggarai Barat dan Manggarai Timur) dan
– RSUD Waingapu untuk kabupaten lainnya.