Reportase Sesi Pararel 1 – Seminar dan Workshop Leadership Series
15 Maret 2014
Pleno | Sesi Pararel 2 | Sesi Pararel 3
Peran Kepala Dinas Kesehatan dalam Pengawasan JKN
Reporter: Christa Gumanti Manik, SKep, NS & Gerardin Ranind Kirana, SKM
Dr. dr. Dwi Handono (PKMK FK UGM) sebagai moderator dalam forum diskusi Peran Kepala Dinas Kesehatan dalam Pengawasan JKN memaparkan latar belakang masalah yang dihadapi sebagai pengantar diskusi, pertama: Belum jelasnya peran Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan dan pengawasan JKN. Kedua, kedua: Implementasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di lapangan tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Nara sumber pertama, Dr. Krishnajaya MS (Ketua ADINKES), memaparkan bahwa urusan pemerintah menjadi konkuren (lawan) kewenangan daerah (Permenkes N0.69 Tahun 2013 tentang tarif dan Permenkes Tahun No.17 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional). Hal yang terjadi saat ini, banyak urusan pemerintah pusat diberikan kepada daerah dan bukan merupakan kewenangannya. Maka dalam era JKN, Gubernur akan menjadi wakil pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengundang rapat bupati/kepala daerah, kabupaten/kota dan berhak memberikan reward maupun punishment kepada kepala daerah. Seharusnya, pemerintah pusat tidak hanya memberikan tugas dan tanggungjawab kepada daerah, melainkan disertai pemberian dana operasional.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara memanfaatkan akses pelayanan kesehatan, serta apa peran provinsi dan kabupaten, serta bagaimana implementasinya dilapangan? Seharusnya JKN memberikan keadilan bagi seluruh penduduk di suatu daerah. Fokus JKN kedepannya adalah penurunan pelayanan kuratif, dengan meningkatkan pelayanan preventif dan promotif. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa masih ada kekosongan peraturan, dan belum jelasnya fungsi Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan JKN.
ADINKES saat ini sedang mendiskusikan Perpres mengenai pemanfaatan kapitasi untuk Jaminan Kesehatan Nasional. Draft untuk peraturan tersebut sudah hampir final, serta akan terbit dalam waktu dekat. Pemanfaatan kapitasi tertulis bahwa dana kapitasi akan langsung diberikan pada Puskesmas, serta tertulis pembagian antara Dinkes dengan Puskesmas sebesar 60:40. Diharapkan dengan peraturan yang jelas ini, tercapai sebuah kepastian dalam pemanfaatan kapitasi sehingga tidak menjadi sebuah temuan. Dana kapitasi juga memperhatikan demografi dari suatu daerah. Maka dalam Perpres yang baru, akan ada tambahan Rp 10.000.000,00 untuk remote area, dan uang tersebut di luar jumlah dari dana kapitasi. Pemerintah pusat seharusnya menempatkan pegawai-pegawai yang mampu melakukan verifikasi di puskesmas untuk dana kapitasi tersebut sebagai suatu wujud usaha pengawasan terhadap dana kapitasi. Namun sampai saat ini, masih belum ada regulasi dari pemerintah pusat terhadap hal tersebut.
Pegawai di luar nakes sering menyatakan bahwa usaha promosi di bidang kesehatan merupakan usaha yang buang-buang waktu dan uang. Namun sebaliknya, tenaga kerja nakes menganggap bahwa usaha promosi kesehatan adalah hal utama yang sebaiknya harus dilakukan dengan masif, sebagai suatu usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan. Oleh karena itu, sebaiknya disusun regulasi yang jelas agar pegawai yang bekerja di bidang kesehatan adalah orang-orang yang lulus dan dianggap kompeten dari institusi pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan. Desain kompetensi kepala dinas sebagai regulator menjadi hal yang penting, untuk itu harus disiapkan institusi pendidikan yang bersertifikasi untuk pelatihan/diklat dan pembiayaannya. Pengalaman lapangan, penguasaan masalah etika kesehatan masyarakat dan hukum kesehatan masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan Kepala Dinas Kesehatan, kemudian selain sebagai dasar mengikuti pelatihan diklat kepemimpinan , calon kepala dinas kesehatan seharusnya memiliki latar pendidikan S1 dan S2 dari bidang kesehatan, dan ADINKES sedang mengajukan kurikulumnya ke PPSDM.
Nara sumber berikutnya, dr. Siti Wahyuningsih M.Kes (Kepala Dinas Kota Surakarta) memaparkan bagaimana peran Dinas Kesehatan Kota Surakarta dalam era JKN. Beberapa masalah dalam era JKN ini, perangkat didaerah dinilai kurang siap karena kurangnya sosialisasi dari BPJS. Sehingga tenaga kesehatan kurang memahami aturan yang mengakibatkan masyarakat mengeluh tentang pelayanan baik pada tingkat PPK primer atau pada rujukan berjenjang. Dalam hal ini, Dinas Kesehatan Surakarta melakukan upaya koordinasi dengan BPJS, organisasi profesi dan evaluasi secara berkala. Kendala yang dihadapi oleh Surakarta yaitu SDM yang kurang, masyarakat juga kurang siap dengan rujukan berjenjang. Namun program-program yang ada di Dinkes tidak terganggu dengan adanya BPJS, kuncinya koordinasi dan komunikasi dan jangan ada pihak merasa ada yang dirugikan.
Hasil akhir kesimpulan dari tim PKMK UGM yang disampaikan oleh DR. Dr. Dwi Handono meminta peserta memberi usulan regulasi kepada ADINKES, kemudian dihasilkan beberapa poin yaitu agar ADINKES mempertimbangkan kompetensi Kepala Dinas Kesehatan termasuk pelatihan atau diklat yang dilakukan di institusi bersertifikat, dan yang melatih adalah tenaga ahli yang sudah pernah menduduki jabatan sebagai kepala dinas, kemudian aturan kapitasi segera diterbitkan, dan meningkatnya fungsi ADINKES dalam berkoordinasi dengan BPJS. Usulan lain dari peserta mengenai adanya remunerasi kepada tenaga kesehatan.
Dinas kesehatan sangat sibuk perannya sebagai penyedia layanan atau operator dalam mempersiapkan PPK 1 sebagai provider, berkoordinasi dengan organisasi profesi, dan banyaknya persiapan internal yang dibutuhkan. Hal tersebut sangat merepotkan dan menghabiskan banyak waktu, sehingga fungsi sebagai regulator sedikit terlupakan dalam era Jaminan Kesehatan Nasional. Sangat diharapkan fungsi regulator jangan sampai terlupakan, namun dapat dioptimalkan kembali.
Upaya mengurangi Angka Kematian Ibu adalah salah satu tujuan utama dari pencapaian indikator derajat kesehatan di Surakarta. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional ini Jampersal sudah terintegrasi didalamnya sehingga dengan kata lain sudah dicabut, namun disayangkan hal penting ini tanpa notifikasi sebelumnya. Surakarta sebenarnya tidak terlalu mengandalkan dana Jampersal atau JKN, karena Surakarta memiliki dana tersendiri bagi para ibu hamil yang membutuhkan pertolongan bagi persalinannya, terutama saat ibu tersebut tanpa sengaja tidak membawa kartu Jaminan Kesehatan Nasionalnya pada saat akan bersalin di fasilitas kesehatan. Seperti yang kita ketahui, bahwa pada era JKN ini, bagi orang yang berkunjung kefasilitas kesehatan tanpa membawa kartu JKN miliknya, maka tidak akan dilayani. Jika keadaan tersebut diterapkan untuk ibu hamil yang membutuhkan pertolongan segera untuk persalinan, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka kebijakan yang diambil adalah membawa kartu JKN maupun tidak, harus tetap dilayani dengan dana tersendiri tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penambahan jumlah AKI di Kota Surakarta.
Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan, yaitu mengenai mapping, rujukan berjenjang, dan pembatasan obat. Mapping dilakukan dengan tujuan mengatur jumlah kunjungan pasien, sehingga jumlah kunjungan dapat dibatasi. Dalam peraturan tertulis bahwa ada beberapa kasus penyakit dan beberapa keadaan pasien yang menjadi syarat tertentu, agar pasien tersebut tidak melampaui rujukan berjenjang, serta apabila terdapat fasilitas kesehatan yang dirasa tidak cukup kompeten untuk menangani pasien, maka pasien tersebut akan diperbolehkan langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan yang dirasa cukup kompeten tanpa mengikuti alur rujukan berjenjang. Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional obat juga dibatasi.
Menurut dr. Siti Wahyuningsih M.Kes, jika uang kapitasi dari BPJS langsung diserahkan ke Puskesmas akan terjadi beberapa kesulitan, hal ini karena Puskesmas sebagai UPT Dinas Kesehatan mengharuskan segala bentuk keuangan yang masuk untuk Puskesmas harus melalui bendahara penerima dan segala bentuk keuangan yang keluar harus melalui bendahara pengeluaran. Sistem pemberian kapitasi langsung kepada Puskesmas hanya memposisikan Dinkes sebagai penanggungjawab tanpa mengetahui penggunaan dana kapitasi tersebut.
Jamkesda di Kota Surakarta sampai saat ini masih dikelola sendiri, jadi masih belum diintegrasikan dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Namun sudah ada rencana bahwa Jamkesda dengan jenis Jamkesmas gold akan diintegrasikan. Untuk pengawasan Jamkesda dilakukan dengan verifikasi klaim RS, pemeriksaan BPK dan laporan dari masyarakat. Jika semua asuransi kesehatan daerah jika sudah terintegrasi dengan Jaminan Kesehatan Nasional maka regulasi yang jelas untuk pengawasan harus segera dibuat.