Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 1 | Bagian 3 | Bagian 4
Bagian-2
PKMK, Jakarta. Dalam kesempatan ini, Dr. Hartono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS) menyampaikan bahwa untuk mengoptimalkan pelayanan pada 1 Januari, BPJS tetap melayani meskipun itu adalah hari libur nasional. Tingginya animo masyarakat terlihat dari banyaknya peserta yang mendaftar secara mandiri. Hartono mengatakan bahwa iuran PBI saat ini memang masih kecil. “Anggaran negara tidak cukup,” tambahnya.
Mengenai tarif INA-CBGs, Hartono mengakui bahwa tarif tersebut belum baik dan ada rencana untuk menata ulang. Bahkan masalah ini telah menjadi perhatian Presiden yang kemudian memanggil jajaran terkait untuk mendiskusikan masalah ini.
BPJS berjanji akan memberikan pelayanan terbaik bagi peserta. Sebagai contoh, mekanisme pendaftaran melalui bank sudah bisa dilakukan per Senin (13/1/2014). Selain itu, klaim akan dibayarkan pada PPK maksimal 15 hari setelah klaim diterima. “Dari sisi pelayanan, PPK I (Puskesmas, dokter keluarga, dan sebagainya) akan dioptimalkan dan kemandiriannya ditingkatkan. Distribusinya juga akan diperbaiki. Kami juga mengharapkan kedepannya dokter bisa praktek secara full-time sebagai dokter keluarga, jadi tidak lagi nyambi di RS atau tempat lain”, kata Hartono.
Seminar ini juga mengundang pembicara dari kejaksaan, Basrief Arief, yang mengatakan bahwa tuntutan hukum pidana bagi penyelenggara pelayanan kesehatan sangat dimungkinkan, jika memang terbukti. Oleh karena itu, ia berpesan bahwa ada tiga bentuk kesadaran yang harus dibudayakan diantara kalangan profesional kesehatan (medis), yaitu 1) sadar akan hak dan kewajibannya, 2) sadar akan hak dan kewajiban pasien, serta 3) sadar akan ketentuan hukum yang berkaitan dengan tugasnya.
Seorang dokter mendapat perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Sebaliknya, dokter dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan bentuk pelanggarannya:
1) pelanggaran disiplin, sanksi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
2) pelanggaran administrasi, misalnya mengenai izin praktek, sanksi oleh pemerintah
3) pelanggaran kode etik kedokteran Indonesia, sanksi oleh Majelis Kehormatan Etik Indonesia (MKEK)
Hal ini dipertegas juga oleh Ali Baziad, Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Ali mengatakan bahwa UU Praktek Kedokteran hanya mengatur masalah pelanggaran disiplin. Pasal 66 dan 67 UUPK memang membuka kesempatan bagi seorang dokter untuk dipidanakan atau diperdatakan jika memang terbukti melanggar. Ia menemukan bahwa kesalahan terbanyak yang dilakukan oleh seorang dokter adalah tidak kompeten dalam melakukan suatu tindakan namun tidak mau merujuk. Jika dikelompokkan, berbagai kesalahan umumnya terjadi karena komunikasi, kompetensi, peralatan dan biaya.
“MKDKI tidak mengurusi hubungan antara dokter dengan pasien, melainkan mengurusi sengketa antara dokter dengan masyarakat profesi. Jadi sengketa dokter-pasien diselesaikan secara hukum, baik perdata maupun pidana,” tegas Ali. Ia menambahkan bahwa UUPK bukan lex specialist karena didalamnya tidak disebutkan secara khusus terkait hal tersebut.. “Ini kelemahan dari UUPK tersebut” katanya. (pea)