Sesi panel hari terakhir ini diisi oleh 3 orang panelis dan 3 orang pembahas. Sesi ini menjadi penghujung acara simposium dengan menekankan pada apa yang terjadi pada sistem kesehatan di Asia, yang sedang bergerak untuk terutama membenahi sistem pembiayaan kesehatannya.
Panelis pertama, Jack Langenbrunnen dari DFAT mencoba membandingkan beberapa Negara di Asia, diantaranya: Cina, Thailand, Filipina, Vietnam dan Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh negara-negara pada umumnya dianalogikan seperti burger (sejenis fast food) namun bagian tengahnya hilang. Pemerintah sudah menjamin biaya kesehatan bagi masyarakat bawah, sedangkan masyarakat ekonomi atas umumnya telah mampu menjamin biaya kesehatannya sendiri. Apa yang terjadi dengan masyarakat bagian tengah yang sangat beragam dan umumnya berasal dari sektor informal. Tidak ada yang menjamin mereka, sedangkan kemampuan mereka untuk menjamin diri sendiri dan keluarganya seringkali belum bisa diandalkan. Menurut Langenbrunner, ini menjadi isu besar di sebagian negara berkembang di Asia dan hal ini harus menjadi perhatian di masa mendatang.
Langenbrunner mencoba mengupas beberapa opsi yang mungkin bisa muncul sebagai solusi bagi kondisi tersebut.
- Menanti hingga saat sektor informal diformalisasikan melalui pertumbuhan makroekonomi. Namun opsi ini menjadi sangat sulit diwujudkan karena bisa memakan waktu yang sangat lama
- Memberikan free endosrment sebagaimana yang terjadi di Thailand. Menurutnya, ini adalah opsi yang lebih masuk akal karena terbukti ada Negara yang sudah dapat mewujudkannya.
- Membuka peluang bagi adanya asuransi sukarela (atau bagi kelompok masyarakat menengah)
Cina adalah salah satu negara yang sukses dalam menerapkan opsi ketiga di pedesaan pada penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Jumlah dana semakin bertambah karena semakin banyak petani yang sukarela mendaftarkan diri untuk mengikuti asuransi ini. Para pemimpin di tingkat masyarakat mendorong secara aktif agar anggota masyarakatnya ter-cover, karena adanya insentif bagi mereka jika mencapai target 100% kepesertaan masyarakatnya. Komposisi biaya kesehatan yang terjadi adalah 70% premi dibayar oleh pemerintah pusat, 20% oleh pemerintah daerah dan 10% oleh para petani.
Namun sayangnya, negara lain banyak yang kurang atau tidak sukses dalam menerapkan asuransi untuk masyarakat kelas menengah. Mengapa? Menurut Langenbrunner, ada beberapa faktor.
- Uang. Sebagian masyarakat terlalu miskin untuk membayar premi, terbatasnya benefit yang diberikan, terbatasnya perlindungan keuangan, dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang tidak sesuai dengan nilai uang yang dikeluarkan.
- Kurangnya informasi. Rendahnya pemahaman terhadap program asuransi, mengabaikan kemungkinan mengalami sakit.
- Pendidikan. Paket manfaat tidak dipahami, tidak mengerti bagaimana caranya mendaftar menjadi peserta asuransi, tidak paham mengenai bagaimana cara bekerjanya sistem, termasuk bagaimana mengakses pelayanan.
Filipina adalah satu contoh negara yang belum berhasil, dimana hanya 10% masyarakat kelas menengahnya yang ter-cover asuransi meskipun pemerintah telah menerapkan sistem penyebaran informasi melalui sms. Vietnam memiliki kebijakan subsidi untuk masyarakat hampir miskin, namun tetap saja sangat sedikit yang masyarakat kelompok menengah ini yang ter-cover asuransi. Indonesia masih lebih baik dari kedua negara tersebut karena memiliki skema Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek dan sebagainya untuk menjamin berbagai kelompok masyarakat. Namun tetap saja, ada sekitar 28% masyarakat Indonesia yang belum ter-cover asuransi kesehatan. Ini menjadi tantangan tersendiri, dimana awal tahun depan negara ini akan menerapkan UHC untuk pertama kalinya. (pea)