Baru-baru ini Badan Mutu DIY memaparkan hasil survey kepuasan pasien dan PPK terhadap jaminan kesehatan, khususnya jamkes yang disubsidi oleh pemerintah. Penelitian ini melibatkan lebih dari 600 orang pasien pemegang kartu jaminan kesehatan (jenisnya mencakup Jamkesda, Jamkesos, Jamkesmas), 44 RS (pemerintah, swasta, pendidikan, non pendidikan), 121 Puskesmas dan 54 BPS di Provinsi DIY.
Secara keseluruhan, pelayanan fasilitas kesehatan khususnya RS terhadap pasien pemegang kartu jamkes sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survey, dimana 95% responden merasa puas dengan pelayanan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa bagian dari pelayanan di RS yang belum memuaskan pasien.
Tingkat kepuasan pasien terendah ada pada biaya dan administrasi (masing+-masing kurang dari 70%). Kurang dari 5% responden pernah mengalami penolakan di RS, yang sebagian besar alasannya adalah penuhnya kamar kelas III untuk melayani pasien dengan jaminan sosial. Namun demikian, kepuasan pasien menunjukkan peningkatan terhadap pelayanan yang diakses tahun 2009-2011. Saat mengakses pelayanan RS di tahun 2009, tingkat kepuasan responden mencapai kurang dari 93% dan saat mengakses pelayanan RS tahun 2011 kepuasan ini meningkat menjadi lebih dari 97%.
Dari sisi RS sebagai penyedia pelayanan kesehatan, kejelasan informasi merupakan variabel dengan tingkat kepuasan paling rendah diantara semua variabel yang ditanyakan. Jika ditelusuri lebih lanjut, kejelasan informasi ini menyangkut juga masalah informasi mengenai jenis layanan yang dijamin, prosedur jaminan, alur rujukan hingga informasi mekanisme klaim. Selain itu, kesepakatan tarif, waktu tunggu dan jumlah pembayaran merupakan variabel yang banyak muncul sebagai sebagai penyebab ketidakpuasan provider layanan kesehatan.
Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa provider menghendaki adanya kesetaraan posisi dan informasi dalam kontrak. Muncul kesan bahwa provider berada pada posisi yang lebih lemah, dimana tidak cukup waktu yang diberikan untuk mempelajari dan mendiskusikan isi kontrak dan perbaharuan isi kontrak tidak selalu diinformasikan. Ada beberapa jenis layanan (baru) yang belum masuk dalam kontrak sehingga pasien yang membutuhkan layanan tersebut belum bisa mengakses menggunakan jaminan sosial yang mereka miliki.
Dari aspek verifikasi, provider merasa bahwa prosesnya masih terlalu lambat sehingga menghambat pencairan dana klaim. Ini tentu saja mempengaruhi kelancaran kegiatan operasional pelayanan kesehatan di RS dan sarana lainnya. Selain itu, saat ini belum ada informasi yang jelas mengenai alasan klaim ditolak, sehingga provider tidak mendapat lesson learn dari proses klaim tersebut untuk tidak mengulangi kesalahannya. Cukup banyak yang menganggap bahwa petugas verifikator belum sesuai dengan bidangnya. Hal ini sempat terungkap juga pada diskusi Membedah Isu-isu Strategis dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten di Era BPJS yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Jumat, 20 Desember yang lalu. Dalam diskusi tersebut muncul pernyataan bahwa ada verifikator dengan IQ kurang dari 70. Tentu saja ini dapat menghambat proses kelancaran dan validitas data hasil verifikasi, yang pada akhirnya dapat merugikan PPK maupun pasien. Di sisi lain, PPK merasa tidak diberi kesempatan untuk mengajukan komplain terhadap hasil verifikasi tersebut. Selain kualitas, kuantitas tenaga verifikator juga perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatkan jumlah peserta.
Pengelola dana jaminan kesehatan diharapkan melakukan evaluasi kerjasama secara reguler dan menyiapkan fasilitas pusat informasi untuk menampung keluhan atau menjawab pertanyaan dari provider. Dengan demikian, akan mengurangi berbagai ketidakjelasan informasi yang akan lebih memudahkan PPK dalam memberikan layanan pada pasien. Aspek yang lebih penting adalah perlunya tanggapan dan tindak lanjut bagi keluhan-keluhan yang muncul.
Dari hasil survey tersebut, tampak bahwa meskipun pengelola jaminan sudah melakukan sosialisasi namun ternyata masih kurang intensif. Hal ini terlihat dari masih banyaknya informasi yang belum diketahui khususnya oleh PPK. Faktanya, survey dilakukan untuk mengevaluasi penyelenggaraan jaminan kesehatan yang programnya sudah berlangsung beberapa tahun. Dari sini terlihat bahwa tantangan dalam pelaksanaan BPJS yang tinggal beberapa hari lagi sangat besar. Masih banyak puskesmas yang tidak paham mengenai kapitasi, apalagi aspek teknis dari pelaksanaan kapitasi tersebut. Banyak juga RS yang tidak paham mengenai persyaratan untuk menjadi provider.
Hal yang menarik yaitu untuk menjadi provider yang bekerjasama dengan BPJS, ada syarat yang harus dipenuhi sebagaimana tabel di atas dan ada proses kredensial yang harus dilewati. Proses kredensial ini meliputi penilaian terhadap aspek kepuasan peserta, pelayanan, pemenuhan standar mutu pelayanan kesehatan dan aspek pembiayaan.
Di sisi lain, RS sebagai provider besar pelayanan kesehatan dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang bermutu pada pasien. Mutu merupakan keseimbangan optimal antara output yang paling mungkin untuk dihasilkan dengan kerangka norma dan nilai (Mitchell, 2008). Namun untuk mencapai keseimbangan tersebut perlu waktu lama bahkan mungkin bertahun-tahun. Monitoring terhadap input (sumber daya) yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang diharapkan harus dilakukan secara terus menerus dengan pengamatan terhadap data yang detil. Hasilnya harus digunakan untuk membentuk formula baru dan menguji keseimbangan baru yang terjadi. Kita bisa belajar dari negara lain, misalnya Thailand sudah bisa dikatakan sukses menerapkan UHC setelah berjalan 10 tahun. Indonesia mungkin juga akan butuh waktu lebih lama untuk bisa berhasil mengimplementasikan kebijakan ini, mengingat heterogenitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan Thailand. Namun jika kita mengambil banyak pelajaran dari pengalaman negara lain, maka banyak short cut yang sebenarnya bisa dilakukan. Semuanya tergantung pada pengambil kebijakan dan para politisi yang (sayangnya) tidak semua paham dengan masalah mendasar di sistem kesehatan, khususnya pembiayan kesehatan di Indonesia. (pea)