Diskusi Terbuka ARSADA Pusat
MERUMUSKAN HUBUNGAN RS DAERAH DENGAN PEMERINTAH DAN PELAKSANA URUSAN KESEHATAN LAINNYA
Reportase
Bagian 1. Pendahuluan | Bagian 2. Draft Matriks Hubungan RS Daerah dengan Pemerintah Fasilitas Kesehatan lain |
Bagian ini berisi penjelasan dari dr. Kuntjoro A. Purjanto, MKes mengenai tujuan dari diskusi terbuka ini dan membacakan konsep draft pendahuluan yang telah disusunnya. |
Bagian ini berisi pemaparan mengenai draft awal hasil identifikasi hubungan antara RS Daerah dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan lain berdasarkan pada hasil diskusi hari sebelumnya, serta masalah-masalah yang terjadi dalam hubungan tata kerja tersebut. |
Bagian 3. Diskusi Interaktif | Bagian 4. Penutup |
Bagian ini berisi diskusi interaktif antara peserta rapat di studio PKMK FK UGM dengan para peserta rapat yang mengikuti via video streaming di lokasinya masing-masing. Peserta rapat yang mengikuti dari jarak jauh antara lain dr. IGN Banjar (Direktur RSUD Duren Sawit, dr. Nonot Mulyono (Direktur RSUD Purbalingga), dr. Heru Ariyadi (Ketua ARSADA Pusat) dan dr. Kusmedi Priharto (Dikretur RSUD Tarakan, Jakarta). |
Bagian ini berisi penjelasan penutup dari dr. Kuntjoro mengenai kesimpulan diskusi, kesepakatan-kesepakatan dan tahap selanjutnya. |
Sejak hari Sabtu, 9 November malam hingga Senin, 11 November 2013, Ketua Umum dan beberapa pengurus ARSADA Pusat bersama dengan tim dari PKMK FK UGM berdiskusi untuk mengidentifikasi hubungan antara RS Daerah dengan Pemerintah (pusat, daerah) dan organisasi penyelenggara pelayanan kesehatan lainnya. Diskusi ini dilatarbelakangi oleh adanya proses perumusan rancangan PP pengganti PP 41/2009 yang mengatur tentang Organisasi Perangkat Daerah. Selama ini dirasakan bahwa secara fungsional hubungan antara RS Daerah (dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya) dengan Dinas Kesehatan belum berjalan dengan baik. Sebagai contoh, untuk kebutuhan survailans epidemiologi, tidak semua RS memberi laporan secara berkala sehingga Dinas Kesehatan kesulitan menyusun profil kesehatan daerah secara valid dan up to date. Demikian juga dengan masalah pengawasan terhadap perijinan dan penerapan standar-standar pelayanan, belum sepenuhnya dapat dijalankan oleh Dinas Kesehatan di RS.
Diskusi ini dihadiri oleh Dr. Kuntjoro A. Purjanto, MKes (Ketua Umum ARSADA Pusat) dan dr. Sasongko, MKes (Direktur RSUD Muntilan, Ketua Bidang Organisasi dan Hukum ARSADA Pusat). Dari PKMK FK UGM, hadir Putu Eka Andayani, SKM, MKes (Kepala Divisi Manajemen RS), DR. Dr. Dwi Handono (Konsultan Sistem Kesehatan) dan Dr. Noor Zaenab, MKes (Konsultan Sistem Kesehatan). Selain itu, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD juga sempat mengikuti diskusi pada hari pertama.
Diskusi yang berlangsung di Yogyakarta ini juga melibatkan pengurus ARSADA Pusat lainnya, yang meskipun tidak dapat hadir secara fisik namun mengikuti secara online melalui fasilitas video-streaming di website ini. Yang terlibat secara online antara lain Dr. Nonot Mulyono (Direktur RSUD Purbalingga), Dr. IB Nyoman Banjar, MKN (Direktur RSUD Duren Sawit), Dr. Heru Aryadi (Sekjen ARSADA, Tim PERSI yang mengurusi masalah BPJS) serta Dr. Kusmedi Priharto (Direktur RSUD Tarakan Jakarta, Ketua yang mengurusi masalah JKN).
Dr. Kuntjoro A. Purjanto menjelaskan bahwa ADINKES (Asosiasi Dinas Kesehatan) bersama dengan tokoh-tokoh lain di pusat sedang menyusun usulan perubahan PP 41/207 tersebut. Dalam hal ini, ARSADA Pusat diminta untuk memberi masukan yang detil mengenai bagaimana hubungan antara RS Daerah dengan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan juga antar RS dengan pemerintah pusat serta instansi penyelenggara upaya pelayanan kesehatan lainnya di daerah. Dalam hal ini, mengacu pada berbagai peraturan perundangan yang berlaku, dr. Kuntjoro merangkum bahwa ada empat pelaksana urusan kesehatan daerah yaitu Dinas Kesehatan, RS Daerah, Puskesmas dan Jaringan/Fasilitas Pelaksana Kesehatan lainnya.
Pada diskusi ini disepakati bahwa sistematika usulan meliputi: Pendahuluan, Pengorganisasian, Hubungan Tata Kerja dan Urusan Pelaksanaan Kesehatan Daerah.
Beberapa point penting dan usulan yang dapat disimpulkan dari hasil diskusi adalah sebagai berikut:
- Ada beberapa keywords yang muncul pada pembahasan RPP pengganti PP 41/2007, yaitu adanya harapan terhadap pengorganisasian terhadap RSD yang:
a) bentuknya flat dan non eselon. Valuenya adalah yang terdapat dalam UU 44/2009 (pelaksanaan good corporate dan good clinical government, dan seterusnya).b) steering dan rowing tidak boleh jadi 1c) regulator dan operator tidak boleh ada dalam satu lembaga
d) dinas kesehatan kabupaten kota bertanggung jawab terhadap kesehatan di daerahnya, melalui kegiatan pengawasan, pengendalian, pembinaan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di wilayahnya.
- Penanggung jawab kesehatan wilayah adalah Dinkes, bukan RS. Jadi Dinkes akan “membawahi” seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerjanya, termasuk RS. “Membawahi” dalam hal ini mencakup pengertian secara fungsional, bukan secara struktural.
- Pemisahan Dinkes sebagai regulator dengan sebagai operator UKM. Dengan kata lain, jika Dinkes akan fokus sebagai regulator maka sebaiknya Puskesmas “dilepas” saja. RS dan Puskesmas masing-masing diberi porsi untuk menjalankan UKM dan ada indikator kinerjanya.
- Perlu ada organigram tata hubungan antara Dinkes dengan RS dan unsur-unsur lain yang berhubungan dengan kesehatan.
- Dalam RPP pengganti PP 41/2007, ada wacana bahwa RS Kelas A akan ditarik menjadi milik Pusat, RS Kelas B menjadi milik provinsi dan RS Kelas C/D akan menjadi milik kab-kota. Namun wacana ini sulit diwujudkan karena terkait dengan aset daerah. Sehingga seharusnya, yang di take over oleh pemerintah pusat bukanlah kepemilikannya melainkan regulasinya.
- Perlu adanya regulasi baru mengenai pengelolaan RS pusat rujukan nasional. misalnya RSCM dan lain-lain. Jangan sampai kemenkes sebagai top regulator kesehatan di Indonesia disibukkan dengan urusan-urusan mengelola RS.
- Perlu diatur pembinaan kapasitas pelayan medis dan sarana-prasarana di puskesmas oleh RS.
- Tupoksi RSUD dirangkum dalam sistem kesehatan nasional/daerah yang jelas. Namun jangan terlalu birokratis agar tidak macet.
- Regulasi RS lebih melihat ke dimana RS tersebut beroperasi, karena akan mempengaruhi masyarakat di daerah tersebut. Jadi Dinkes di wilayah itu yang akan meregulasi, terlepas dari apakah RS tersebut Kelas A, B, C atau D. Contoh: RSCM beroperasi di Jakarta, tapi regulatornya pusat karena RS Kelas A. Bagaimana dengan Dinkes dan masyarakat Jakarta. Yang saya setuju adalah Pembiayaannya oleh pusat. Contoh RSUD Duren Sawit adalah RS Tipe A, namun tetap harus tetap tunduk pada aturan Dinkes DKI.
- Semua Dinkes akan ada kelasnya: A, B, C, tergantung pada size-nya. Hasil diskusi akan diupload untuk dapat masukan org banyak.
(pea)