Sister Hospital Progress : Pencapaian Indikator Monitoring dan Evaluasi di 11 RSUD
Progress yang disampaikan oleh Dr. Hanevi Djasri, MARS selaku Koordinator Program SH ini berisi pencapaian-pencapaian terhadap indikaktor sesuai dengan kerangka Monev. Kerangka monev ini digunakan untuk menjamin akuntabilitas program SH, dimana ada beberapa actor yang terlibat, yaitu Dinkes Kabupaten yang akan dibantu oleh RS Mitra A untuk memberikan pelayanan pada RS Mitra B, sehingga tercapailah pelayanan PONEK 24 jam yang berkualitas. Indikator-indikator inilah yang dievaluasi secara klinis, manajemen dan sosiologi. Monev internal dan eksternal dilakukan agar sasarannya yaitu menurunkan angka kematian ibu dan bayi dapat tercapai. Menurut dr. Hanevi, pada monev terakhir sudah tampak adanya perubahan strategi dari aspek pelaksana, yaitu Dinas Kesehatan Provinsi (sebelumnya oleh Tim UGM).
Kendala monev klinisi adalah terbatasnya dokter obsgyn dan anak di Kupang untuk melakukan monev, sehingga kesulitan mengatur jadwal dokter yang masih praktek di Kupang untuk keliling NTT. Dr. Hanevi menyimpulkan bahwa, untuk monev klinis masih membutuhkan pihak luar, misalnya POGI dan IDAI pusat. Monev Sosiologi dilakukan oleh Undana yang sudah berjalan cukup baik.Namun masih perlu dilatih lagi agar hasilnya bisa lebih tajam.
Pada monev manajemen/public health, kendala utamanya adalah kesibukan Dinkes Provinsi NTT untuk keliling ke 11 RSUD. Perlu ada penjadwalan yang lebih rapi dan ketat. Menurut Dr. Hanevi, belum ada formula yang tepat jika ini akan dilakukan oleh mandiri oleh Dinkes Provinsi, apakah akan mandiri atau dipihakketigakan. Ia akan memasukkan hal ini ke dalam exit strategy. Namun bagus menurutnya ada juga hal positif dimana kegiatan monev ini sudah cukup banyak dianggarkan pada exit strategy.
Sesuai dengan MEF, ada indikator input, proses dan output serta outcome. Standar input tidak banyak mengalami perubahan dan hampir sebagian besar terpenuhi. Demikian juga dengan standar proses. Sebagian standar output masih perlu ada catatan, sedangkan standar outcome ada tujuh yang diuraikan sebagai berikut:
- Komplikasi yang ditangani di RSUD dibandingkan dengan total persalinan. Karena data sudah cukup, menurut Dr. Hanevi, RS Mitra A sudah bisa melakukan analisis untuk menganalisis data. Ada variasi data yang cukup tinggi. RSUD Kefamenanu dan RSUD TC Hillers termasuk yang tinggi angka komplikasi persalinannya.
- Kematian obstetrik yang ditangani dibandingkan dengan total persalinan. Angka tertinggi adalah 1.3% seperti yang terjadi di RSUD Umbu Rara Meha, RSUD Ende dan RSUD Bajawa. RS Mitra A bisa menganalisis lebih dalam dengan data 2 tahun, sehingga nantinya bisa melihat trend per 3 bulan atau per 6 bulan.
- Kematian obstetrik di RSUD dibandingkan dengan komplikasi obstetrik. Tindak lanjut lebih jauh terhadap temuan ini tidak bisa dilakukan jika tidak ada audit maternal perinatal yang baik, untuk melihat mana kematian yang dapat dan tidak dapat dihindari. Tim PKMK dan Undana setiap minggu akan menelpon RSUD untuk menanyakan data AMP tersebut.
- Persalinan dengan SC. Standar nasional adalah maksimal 20% untuk RSD non pendidikan, namun di NTT angkanyabisa sampai hampir 75% (di RSUD Larantuka dan RSUD Atambua 45%). Jika dilengkapi dengan hasil audit medis, akan diketahui apakah SC ini dilakukan berdasarkan indikasi medis atau tidak. Jika tidak sesuai indikasi, maka dapat dikatakan mutunya belum baik. Kesimpulannya, audit medis akan membantu memberikan justifikasi lebih jauh apakah SC yang tinggi ini memang dilakukan dengan indikasi medis, sehingga angkanya jauh diatas rata-rata nasional.
- Komplikasi neonatal yang ditangani di RSUD dibandingkan dengan total persalinan. RSUD Larantuka memiliki angka karena mendapatkan rujukan dari luar RS.
- Kematian neonatal dibandingkan dengan tingkat persalinan total. Angka tertinggiada di RSUD Larantuka sesuai dengan jumlah komplikasi neonatal yang ditangani. Kembali lagi bahwa harus ada audit maternal neonatal untuk menelusuri lebih jauh dan membuat justifikasi.
- Kematian neonatal dibandingkan dengan komplikasi yang ditangani (CFR).Di RSUD Kefamenanu angkanya mencapai lebih dari 60%. Penyebabnya tidak keluar dari yang biasa terjadi pada kasus bayi baru lahir, yaitu sepsis, asfiksia, BBLR. Namun dari hasil audit maternal perinatal dapat diketahui bahwa penyebab sepsis misalnya karena terlalu banyak dimanipulasi, terlalu banyak dipegang sehingga terkait dengan hand hygiene.
Salah satu catatan penting dari sini adalah bahwa Tim APM di beberapa kabupaten sudah dibentuk berdasarkan SK Bupati, namun tim ini baru bergerak jika ada kematian. Selain itu, SK tersebut tidak mengikat Bupati untuk melakukan tindak lanjut terhadap rekomendasi AMP. RS Mitra A diharapkan untuk melakukan audit, termasuk untuk melihat kepatuhan cuci tangan yang mempengaruhi kematian bayi.