Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dalam Melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS
Sesi selanjutnya diisi dengan pemaparan dari legislatif (Komisi IX DPR RI) dan pemerintah pusat (Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan). Dr. Nova Rianti Yusuf (Wakil Ketua Komisi IX) menyatakan bahwa dalam injury time ini menurutnya masukan-masukan dari ARSADA masih bisa diakomodir untuk perbaikan. Ia menyampaikan bahwa fungsi Komisi IX adalah untuk pengawasan. Ada Rp9T yang dialokasikan untuk BPJS, sehingga yang menjadi fokus perhatiannya adalah memperkuat pelayanan kesehatan primer.
Dari 14 peraturan pelaksanaan UU BPJS yang harus dibuat, pemerintah baru menyelesaikan dua diantaranya, yaitu PP No 101/2011 tentang PBI dan Perpres tentang Jaminan Kesehatan. Dr. Nova menilai Kemenkes terlalu berhati-hati sehingga terkesan lambat.
Yang penting bagi ARSADA menurut Dr. Nova adalah rancangan Kemenkes tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, yang meliputi:
– syarat fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta yang boleh kerjasama dengan BPJS Kesehatan
– prosedur pendaftaran, verifikasi, perubahan data kepesertaan PBI (dari 96,4 juta menjadi 86,4 juta jiwa)
– Berkaca dari kasus Kartu Jakarta Sehat, jumlah pasien meningkat sangat drastis namun fasilitas kesehatan dan SDM tidak ditambah
Ia juga menyoroti masih banyaknya dokter yang tidak lulus uji kompetensi dasar.
Pada akhir presentasinya Dr. Nova menyimpulkan bahwa ada setidaknya empat hal yang harus diperhatikan dalam implementasi JKN ini, yaitu:
- peraturan pelaksanaan yang harus segera diselesaikan
- lonjakan pasien harus diimbangi dengan kecukupan sarana-prasarana pelayanan
- penguatan kapasitas dan sistem agar tidak terjadi chaos
- perlunya perubahan paradigma “sakit” menjadi paradigma “sehat”
Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa kewajiban pemerintah yang telah dilaksanakan antara lain: telah mengalokasikan @ Rp 500M pada setiap BPJS sebagai saldo awal untuk melaksanakan kegiatan, telah mengalokasikan dana untuk PBI sebesar Rp19.225,-/jiwa/bulan untuk 86,4 juta jiwa penduduk, atau sebesar Rp19,93T untuk PBI. Selain itu pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk membayar iuran PNS, TNI, Polri, Penerima Pensiun, Veteran dan Pejuang Perintis Kemerdekaan, serta menyediakan dana untuk fasilitas pelayanan kesehatan tertentu terkait dengan fungsi Kemenham.
Menurutnya, APBN merupakan proses politik. Daerah, sebagamana juga pemerintah pusat, harus melakukan negosiasi dan advokasi yang kuat agar dapat memperoleh anggaran lebih. Negosiasi kuat ini maksudnya adalah memberikan data dan argumentasi yang kuat untuk mendukung proposal pengajuan dana dari APBN tersebut untuk daerahnya masing-masing.
Pendanaan untuk Jamkesmas selama ini cenderung meningkat. Namun sehubungan dengan adanya kebijakan pengurangan subsidi BBM, maka iuran untuk PBI akan tetap ditingkatkan dari Rp15.500,- menjadi Rp19.225,-. Peran pemda diharapkan berupa penyediaan infrastruktur kesehatan dan pemberian subsidi iuran untuk masyarakat tidak mampu yang tidak tercakup dalam PBI.
Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Dr. Dyah Setya Utami (Direktur Direktorat Kesehatan Jiwa sekaligus PLT Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan) memamparkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sama-sama bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi mutu maupun kapasitas untuk melayani masyarakat di era JKN. Namun jika hanya dibebankan pada pemerintah, seluruh kebutuhan tersebut tidak akan terpenuhi mengingat kemampuan pemerintah yang terbatas. Oleh karena itu menurutnya peran swasta harus lebih ditingkatkan.
Dr. Dyah menyoroti masalah pengajuan bantuan APBN untuk pengadaan alat kesehatan di daerah. Pengajuan itu seharusnya bertujuan untuk melengkapi kekurangan ynag masih ada di daerah dalam memenuhi standar pelayanan minimal. Sehingga, yang diajukan adalah kekurangannya, bukan keseluruhan kebutuhan (termasuk alat yang sudah ada diajukan lagi).
Ada beberapa strategi yang akan diterapkan oleh Kementerian Kesehatan, antara lain meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatkan efektivitas pembiayaan dan mobilisasi peran publik serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di berbagai level melalui perbaikan sistem mutu, perbaikan sistem rujukan dan akreditasi.
Peserta Munas menanggapi para pembicara ini dengan menyoroti bahwa banyak pekerja informal yang minta dijamin oleh pemerintah. Ini kedepannya akan menjadi masalah bagi RS, sebab di PBI para pekerja sektor informal ini tidak ter-cover, padahal sebelum era JKN mereka ditanggung oleh Jamkesda. Jika mereka sakit dan mendapat pelayanan di RS, siapa yang akan menanggung? Masalah lain adalah mengenai adanya perubahan sistem. Ada RS yang telah melakukan exercise dengan tarif INA-CBGs, namun masih skala kecil (kabupaten). Tahun 2014 akan dilakukan dalam skala nasional. Dalam hal ini, RS akan dipaksa untuk bisa cepat dalam memproses klaim, padahal dilain pihak sistem ini masih menggunakan multi–entry.
Terhadap berbagai pertanyaan tersebut, dr. Novi menjelaskan bahwa banyak yayasan di Indonesia yang menangani pasien ganggung jiwa dengan cara-cara yang kurang tepat, misalnya memasung, mengobati dengan cambuk, tidak diberikan penutup tubuh dan sebagainya. Hal ini sering menjadi sasaran empuk media asing untuk diberitakan secara internasional.
Penanya lain mengangkat masalah pelayanan kesehatan jiwa di RSUD Duren Sawit. RSUD DS saat ini masih bertahan dengan pelayanan rawat inap dan sering melakukan visite bagi pasien-pasien yang dirawat di panti laras. Dulu kegiatan ini didanai oleh APBD, namun jika tarif INA-CBGs diterapkan, kegiatan ini tidak lagi di-cover. Risikonya pasien-pasien tersebut tidak akan mendapatkan penanganan oleh dokter spesialis.
Untuk menanggapi hal tersebut, itu dr. Dyah menyampaikan bahwa pemerintah dan Dinkes DKI telah menyediakan dana namun ternyata tidak terserap untuk mengatasi berbagai pemasungan. Pemerintah bahkan tidak yakin apakah di DKI tidak ada pemasungan pasien ganggungan jiwa. Ada perubahan sistem rujukan dimana pelayanan kesehatan jiwa di RS merupakan layanan tersier, yaitu hanya menangani kasus-kasus yang tidak mampu ditangani oleh layanan kesehatan primer dan sekunder. Kini banyak dokte rumum di Puskesmas telah dilatih untuk menangani pasien gangguan jiwa berat yang telah melalui fase penanganan di RSJ. Dr. Dyah juga meminta RSJ duduk bersama dengan Dinas Sosial membahas mengenai penanganan kasus gangguan kejiwaan di masyarakat. Dirjen BUK telah menandatangani MOU dengan Dirjen Paska Psikotik di Kemsos. Kegiatan pelayanan ekstra mural yang dilakukan leh yayasan-yayasan sosial harus dilakukan secara bekerjasama dengan Puskesmas agar dapat di-klain jke BPJS.
Ada juga peserta yang fokus pada anggaran kesehatan yang baru terpenuhi 3% dari 5% yang wajib disediakan. Jika PBI direalisasikan, maka pagu 5% ini akan terpenuhi. Kewajiban Kementerian Kesehatan untuk menyediakan fasilitas jadi berkurang.
Menurut Fajar (Kementerian Keuangan), dana 3% tersebut tidak semuanya ada di Kementerian Kesehatan, namun tersebar di beberapa kementerian lain yang juga menyelenggarakan fungsi kesehatan.