BPJS dan Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Menjelang berlakunya UU BPJS pada Januari 2014 mendatang, banyak RS yang mulai menyiapkan berbagai perangkat internal. Misalnya RSUD-RSUD di DKI mulai memperhitungkan mengenai bagaimana remunerasi akan diberikan kepada tenaga RS terkait dengan perubahan pembayaran yang tadinya fee-for-service menjadi sistem paket. Sementara RS lain ada yang menganggap bahwa sistem remunerasi bisa mengikuti sistem yang telah diterapkan untuk pelayanan pada pasien Jamkesmas, karena sama-sama menggunakan sistem paket. Bahkan IDI sebagai asosiasi profesi pun turut serta dalam memberikan masukan terjadap premi, agar tarif yang dikenakan dapat mengakomodir jasa yang layak bagi profesi kesehatan namun tetap dapat menghasilkan output layanan dengan mutu yang baik. Hal ini, bersama dengan berbagai pendapat dari tokoh lain dapat anda ikuti di Reportase Kick Off Pelaksanaan BPJS.
Efisiensi dan mutu menjadi kata kunci dari sistem BPJS. Ini tentu saja tidak mudah. Jika kita belajar dari pengalaman negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan universal health coverage. Di Inggris misalnya, hasil penelitian mengenai salah satu penyebab inefisiensi adalah angka kunjungan ulang ke RS dari kasus yang sama. Menurut tulisan berjudul “Hospital Readmission Rates: Signal of Failure or Success?” ini, jika ada kunjungan ulang ke IGD setelah pasien mendapatkan layanan dari kunjungan elektif sebelumnya, maka RS tidak akan mendapatkan pembayaran dari asuransi. Ini dianggap sebagai risiko dari RS karena kunjungan ulang merupakan akibat dari pelayanan sebelumnya yang tidak tuntas atau mutunya rendah. Di Indonesia angka ini belum banyak diamati. Yang menjadi ukuran inefisiensi umumnya adalah tingkat hunian rawat inap. Suatu saat dimasa depan – saat penerapan BPJS sudah mulai ideal – Indonesia juga akan perlu mengukur angka kunjungan ulang emergency sebagai salah satu indikator mutu pelayanan klinik.
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |