Kuliah Umum
Kontribusi Program JKN terhadap Peningkatan Human Development Index Indonesia
Jusuf Kalla (Ketua PMI Pusat, Mantan Wakil Presiden RI)
Ada beberapa kesalahan cara berpikir kita selama ini terkait dengan memecahkan masalah kesehatan di Indonesia. Salah satunya adalah degan memandang bahwa RS merupakan komponen utama. Padahal RS merupakan hilir dari sebuah sistem kesehatan. Jadi sudut pandang kita harus diubah, dimana promotif dan preventif yang harus diutamakan. Jika terjadi masalah kesehatan barulah ke RS.
Point tersebut diatas disampaikan oleh Jusuf Kalla saat memberi Kuliah Umum pada hari terakhir Munas ARSADA sekaligus merupakan acara penutupan Munas. Dalam sejarah pembangunan Indonesia, upaya pembangunan kesehatan mengalami penekanan yang berbeda sesuai dengan era-nya. Pada jaman Soeharto, upaya ini difokuskan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar dengan memperkuat layanan kesehatan primer, mulai dari masyarakat (posyandu), puskesmas hingga RS.. Ini merupakan langkah pertama pembangunan kesehatan. Sistem JKN adalah langkah kedua.
Saat ini orang lebih banyak menuntut hak daripada melaksanakan kewajiban. Asuransi Belanda pernah hampir mengalami kebangkrutan karena para pekerja imigran menuntut adanya pelayanan kesehatan yang tinggi dan tidak adanya kontrol terhadap pemakaian obat-obatan. Hal tersebut antara lain disampaikan oleh Jusuf Kalla dalam kuliah umumnya di Munas ARSADA VI di Jakarta.
Menurutnya, itu pula yang menyebabkan RS-RS di Jakarta mengalami over-crowded setelah diterapkannya KJS. Banyak warga yang merasa lebih enak dirawat di RS – yang terjamin makanannya dan mendapatkan tempat tidur – dibandingkan tinggal di rumah, meskipun ini tidak terjadi pada semua orang.
Jusuf Kalla berpendapat bahwa tidak ada negara yang melaksanakan kebijakan Universal Health Coverage oleh hanya satu lembaga asuransi tunggal. Untuk di Indonesia, menurutnya PT ASKES akan sangat kewalahan jika dipaksakan melaksanakan JKN untuk seluruh warga negara Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa lebih. Di negara lain, hal tersebut memungkinkan karena jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit, misalnya di Malaysia jumlah pendudukanya hanya sepersepuluh penduduk Indonesia. Menurutnya akan terjadi kerepotan administrasi dan kemudian pembengkakan biaya. Siapa yang bisa mengontrol bahwa pasien yang ini obatnya sekian dan seterusnya. Menurut Jusuf Kalla, sebaiknya PNS tetap ditangani oleh PT ASKES, ABRI tetap ditangani oleh ASABRI dan masyarakat biasa masuk asuransi biasa.
JK mengakui bahwa ada kemungkinan dirinya tidak terlalu memahami peraturan perundang-undangan yang terkait karena tidak mengikuti proses penyusunannya, namun ia berpendapat bahwa tetap saja sistem yang bersifat nasional ini tidak akan mampu mengakomodir kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Yang akan menjadi tantangan adalah sistem IT yang harus bisa menjamin teraksesnya data dan informasi yang akurat dan cepat.
JK juga berpendapat bahwa seharusnya tarif untuk RS swasta dibedakan dengan tarif untuk RS pemerintah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa RS swasta tidak menerima subsidi untuk investasi, gaji pegawai dan biaya pemeliharaan sebagaimana RS pemerintah.