Peningkatan Kualitas Kepemimpinan dan Manajemen Direktur RS dalam Program KIA
Ditujukan ke Pengambil Kebijakan di:
- Kementerian Kesehatan
- Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara
- Kementerian Dalam Negeri
- Lingkungan Pemerintah Daerah
- Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
- Direksi Rumah Sakit
Pengantar
Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak dilakukan dengan menyediakan layanan kesehatan, mulai dari perekrutan dokter spesialis (PTT, flying doctors dan sebagainya), pembangunan fasilitas, pembelian peralatan, hingga perbaikan manual rujukan untuk menjamin ibu dan bayi dikirim ke RS pada waktu yang tepat dan dengan prosedur yang juga tepat. Namun hal yang tak kalah pentingnya adalah faktor kepemimpinan di rumah sakit dalam mengembangkan dan mengimplementasikan sistem manajemen yang berkinerja baik. Policy Brief ini berusaha membahas upaya peningkatan kualitas kepemimpinan dan manajemen direktur RS untuk menunjang terlaksananya program KIA dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Mengapa Kepemimpin dan Manajemen Direktur belum Optimal?
Permenkes No 971 Tahun 2009 telah mengatur tentang kompetensi direktur dan wakil direktr RS.Pada peraturan tersebut telah diatur bahwa direktur dan wakil direktur harus memiliki kompetensi yang terkait dengan aspek teknis maupun aspek manajerial. Namun pada kenyataannya tidak semua direktur dan wakil direktur RS telah menempuh pendidikan maupun pelatihan untuk mendapatkan kompetensi tersebut sebelum menjabat.Banyak dari keterampilan kepemimpinan dan manajerial tersebut yang baru dipelajari saat sedang menjabat sebagai direktur atau wakil direktur RS. Oleh karenanya dapat dikatakan belum ada sistem pengembangan kepemimpinan direktur RS secara sistematis.
Disisi lain, jabatan direktur merupakan jabatan politis. Direktur diangkat oleh kepala daerah tidak berdasarkan kompetensi sebagaimana diatur oleh Permenkes di atas. Dibeberapa daerah bahkan direktur sangat cepat silih berganti, sehingga tidak sempat menjalankan program untuk mencapai kemajuan RS. Oleh karena itu direktur RS perlu menguasai keterampilan teknis kepemimpinan dan manajerial, termasuk didalamnya kemampuan berkomunikasi dan advokasi dengan pihak‐pihak terkait.
Ada banyak model kepemimpinan yang dapat dipelajari dan diterapkan, antara lain Result Based Leadership yang dikembangkan oleh Ulrich. Menurut model ini, pemimpin memiliki empat karakteristik, yaitu 1) memberi arah (visi masa depan dan menjawab tantangan), 2) merupakan pribadi yang berkarakter (kebiasaan, integritas, dapat dipercaya, mempunyai kemampuan analitis), 3) menggerakkan komitmen orang lain (mendukung orang lain, membagi kekuasaan) dan 4) memicu kemampuan organisasi (membangun kelompok dan mengelola perubahan). Pemimpin yang baik mampu memberikan dampak yang baik bagi RS berupa meningkatnya kinerja RS diukur dari indikator klinik dan indikator manajemen. Untuk meningkatkan kinerja RS dalam upaya mengatasi masalah KIA, keempat karakteristik tersebut di atas sangat diperlukan,namun tidak semua pimpinan RS secara otomatis memilikinya.
Saat pemimpin RS (direktur) dipilih bukan berdasarkan kompetensi, biasanya pemilihan seperti ini diwarnai oleh unsur politis yang tinggi.Dalam mengelola sumber daya di RS‐nya, pimpinan kemudian cenderung mengikuti pola‐pola birokrasi yang terdapat di instansi pemerintah pada umumnya namun tidak cocok diterapkan di lembaga pelayanan publik seperti RS.Contoh paling umum terjadi adalah pada perencanaan yang tidak memiliki kaitan dengan visi dan misi lembaga maupun dengan alokasi anggaran. Padahal seharusnya anggaran yang dialokasikan bertujuan untuk mendukung program klinik – menurunkan angka kematian bayi – dan mencapai tujuan (visi) RS.
Rekomendasi Kebijakan
PKMK merekomendasikan kebijakan dengan prinsip:
- Peningkatan kinerja RS dalam menurunkan angkakematian bayi perlu dilihat dari dua sisi yaitu aspek klinis dan aspek manajemen.
- Upaya perbaikan manajemen d ilakukan untuk mendukung pencapaian klinis dengan prinsip pelayanan klinis merupakan aktivitas utama (core business RS).
- Pelatihan kepemimpinan dan manajerial perlu dirancang secara sistematis, termasuk untuk mampu mengelola aspek politis.
- Dampak negatif dari politisasi kesehatan dikurangi dengan mengembangkan kebijakan dan aturan yang menjangkau stakeholder secara lebih luas.
- Menyusun perencanaan berbasis bukti yang didukung oleh sistem penganggaran yang fleksibel.
- Pemimpin RS bertanggung jawab dalam mengarahkan pengembangan sistem operasional RS‐nya untuk mendukung upaya menurunkan angka kematian bayi.
- Mengoptimalkan penggunaan sarana komunikasi jarak jauh (internet) sebagai alat transfer of knowledge yang lebih efektif.
Rekomendasi kebijakan ini dapat dikomunikasikan lebih lanjut ke:
- Laksono Trisnantoro: [email protected]
- Putu Eka Andayani: [email protected]
Referensi:
- Peraturan Menteri Kesehatan RI No 971/Permenkes/PerIX/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan Republik Indonesia
- Laksono Trisnantoro, “Prinsip‐prinsip PML untuk Direktur RSD”, Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Power Point Presentation, 2011
- Dave Ulrich, Jack Zenger, Norman Smallwood, “Result Based Leadership”, Harvard Business School Publishing, 1999
Usulan Perubahan Strategi untuk Penurunan Jumlah Kematian Bayi
Situasi Lama | Usulan untuk Membangun Situasi Baru |
|
Direktur tidak selalu dipilih berdasarkan kompetensi. Situasi politik yang berubah dapat seketika berdampak terhadap situasikepemimpinan di RS. Kematian bayi sering dianggap sebagai “hanya masalah kesehatan” sehingga kebijakan sampai dengan intervensinya hanya menyentuh sektor kesehatan. Padahal, masalah ini juga terkait dengan status gizi, gaya hidup/budaya masyarakat dan kondisi ekonomi keluarga, bahkan infrastruktur di daerah. |
→ |
Mengurangi dampak negatif politik melalui pengembangan regulasi dan aturan yang dapat menjangkau stakeholders RS secara lebih luas. Kebijakan yang dibuat harus dapat mendorong berbagai SKPD terkait untuk berkinerja yang mengarah pada upaya menurunkan angka kematian bayi |
Perencanaan dan penganggaran tidak ada hubungannya dengan masalah utama yang dihadapi (kematian bayi yang masih tinggi). Anggaran dibuat dengan hanya meningkatkan nilai anggaran x% dari tahun sebelumnya, tidak menggunakan analisis data (tidak berbasis bukti).Perencanaan dilakukan oleh staf bagian perencanaan RS. Klinisi biasanya dilibatkan sebatas untuk menentukan kuantitas dan jenis BHP, peralatan dan ruang yang diperlukan. Klinisi jarang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai arah pengembangan kompetensi RS, termasuk kompetensi dalam penanganan kematian bayi. | → |
Data kinerja klinis digunakan sebagai dasar untuk menyusun program, termasuk program perbaikan sistem dan kinerja manajemen. Program pencapaian SPM dimasukkan sebagai program tahunan agar mendapat anggaran yang cukup. Alokasi anggaran dan sumber daya lain ditentukan oleh prioritas dari berbagai program yang telah disusun tersebut. Dengan demikian, anggaran akan dipengaruhi oleh prioritas masalah yang akan diselesaikan. Klinisi berperan sebagai penentu arah pengembangan kompetensi RS, staf perencanaan berperan dalam memfasilitasi program klinis agar menjadi suatu dokumen yang sistematis dan didukung data yang akurat. |
Banyak direktur RS yang belum memiliki keterampilan teknis manajerial dan kepemimpinan saat diangkat menjadi direktur. Keterampilan tersebut secara bertahap diperoleh pada saat menjabat.Hal ini kemudian memicu terjadinya situasi yang tidak mengikuti siklus planning‐organizing‐actuating‐ controlling‐evaluating. Banyak RS yang membuat sistem manajemen operasional (misalnya master plan fisik) sebelum memiliki rencana jangka menengah atau jangka panjang. | → | Perlu ada program pelatihan kepemimpinan dan manajerial yang sistematis bagi calon direktur. Saat diangkat sebagai direktur, yang bersangkutan sudah lebih siap. |
Upaya peningkatan kompetensi direktur RS dilakukan dengan metode klasik, yaitu mengikuti pelatihan tatap muka selama beberapa hari di suatu lokasi tertentu. Denganc ara ini, sering timbul moral hazard, dimana motivasi untuk mengikuti pelatihan bukan untuk memperoleh ilmu atau meningkatkan keterampilan melainkan untuk “jalan‐jalan”, “menyerap anggaran”, maupun alasan kurang relevan lainnya.Dilain pihak, banyak kebutuhan pelatihan yang tidak dapat terpenuhi karena keterbatasan anggaran. Hal ini karena selain harus menyiapkan dana untuk membayar biaya pelatihan, RS juga harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk biaya perjalanan peserta pelatihan. | → | RS dapat memanfaakan fasilitas internet untuk meningkatkan kompetensi direktur (dan staf), melalui kegiatan konsultasi dengan tenaga ahli, mengikuti seminar dan pelatihan, maupun berbagai bentuk aktivitas peningkatan kompetensi lainnya.RS juga dapat menyusun daftar kebutuhan pelatihan (daftar tema pelatihan) dan menawarkan kepada berbagai lembaga penyelenggara pelatihan untuk merancang program pelatihan jarak jauh melalui internet. |