Dampak Tekanan Masyarakat dan Media Massa tehadap Pelaksana Pelayanan Kesehatan Akibat Kebijakan JKN; Perspektif Masyarakat
Sesi ketiga seminar pra-munas ini menghadirkan pembicara dari kalangan non-praktisi pelayanan kesehatan. Dengan demikian, diharapkan ada perspektif lain yang dapat didiskusikan untuk memperbaiki kondisi pelayanan di RS terkait dengan pelaksanaan kebiajakan BPJS. Pembicara yang hadir antara lain Walujani Atika (Wartawan Harian Kompas), Asep Iwan Iriawan, SH (Pakar Hukum) dan Dr. Marius Wijayakarta (Ketua YKKI).
Menurut Atika, media massa sebenarnya ikut nervous menghadapi akan berlakunya UU SJSN dan BPJS. Dia juga dpaat memahami kegamangan yang dialami oleh pelaku pelayanan kesehatan karena ini tidak hanya menyangkut perubahan administratif melainkan juga perubahan terhadap SDM dan sebagainya. Dalam hal ini ia menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap semua proses yang terjadi.
Atika mengakui bahwa sebagian pemberitaan media memang bersifat negatif. Namun demikian, ada juga pemberitaan yang positif maupun netral dalam mengadvokasi dan sosialisasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurutnya, RS mengalami kekurangan infrastruktur dan dana operasional. Dilain pihak, masyarakat banyak yang kurang mampu dan meletakkan harapan yang terlalu tinggi. Masalah yang dihadapi oleh RS antara lain: tidak efisien, minim dana dan masalah dalam hubungan RS-dokter, dokter-pasien dan RS-pasien serta RS-media. Ia juga mengaku tidak semua wartawan memahami masalah secara komprehensif. Yang terjadi adalah RS sibuk melayani wartawan dan wartawan membutuhkan berita. Solusi yang ditawarkan yaktu RS harus lebih komunikatif. Unit atau personal yang ditunjuk sebagai humas harus bisa menjelaskan secara detil sampai ke aspek teknis kepada masyarakat/wartawan, sehingga media tidak “mengganggu” dan menyita waktu dokter untuk memberikan penjelasan-penjelasan.
Saran Atika terhadap RS yaitu membenahi RS, transparansi pengelolaan RS, transparansi perawatan (termasuk tarif), pemahaman yang detil terhadap skema BPJS, meningkatkan kemampuan komunikasi tenaga kesehatan, internalisasi customer service pada pasien, keterbukaan informasi (misalnya dengan memanfaatkan website RS untuk informasi umum dan customer service desk untuk informasi yang lebih spesifik), meningkatkan kemampuan humas dalam memfasilitasi media dalam mendapatkan informasi, serta menyederhanakan birokrasi dalam memperoleh informasi bagi awak media (misalnya sediakan waktu untuk konferensi press jika terjadi masalah).
Yang menarik adalah bahwa pemberitaan yang tidak proporsional dapat balas oleh RS dengan hak jawab. Ada aturan bahwa dalam menulis berita, media harus melakukan cross-check agar berita yang dipublikasi lebih obyektif. Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu. Oleh karenanya, jika RS merasa berita yang dimuat tidak berimbang, RS dapat menggunakan hak jawab yang sama banyaknya dengan dengan luas area berita tersebut. Caranya RS bisa datang langsung ke kantor media atau menulis sendiri surat untuk dimuat di media tersebut pada edisi berikutnya. Dilain pihak, menurut Atika sebenarnya masalah tersebut dapat dibicarakan secara lebih bijak. Namun jika media yang bersangkutan “bandel”, maka dapat disomasi. Pad aumumnya hak jawab ini ditanggapi baik oleh media. Dewan pers juga bisa menjadi sarana untuk menyalurkan hak jawab tersebut.
Asep menekankan pada hak atas kesehatan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Oleh karena itu, RS harus waspada terhadap berbagai gugatan perdata maupun pidana yang mungkin muncul atas kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak ini. Dengan kata lain, RS harus benar-benar memahami berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bekerja sesuai dengan prosedur (standar profesi) serta sesuai dengan informasi yang diberikan pada pasien.
Marius menyoroti mengenai penilaian konsumen terhadap kinerja RS. Menurutnya, konsumen bukan raja karena posisinya sejajar dengan RS. Ia juga tidak setuju dengan istilah gratis, karena pada hakekatnya pasien miskin dibayari oleh pemerintah. Dari pengaduan yang masuk, ada sebanyak 66,7% pengaduan terhadap dokter dan 16,7% pegaduan terhadap RS. Agar menjadi lebih baik dan RS/tenaga kesehatan tidak menjadi “bulan-bulanan” masyarakat dan media, Marius menyarankan dibuatnya Standar Pelayanan Medis, yang nantinya juga bisa menjadi dasar perhitungan pembiayaan pelayanan kesehatan. Terhadap hal ini, peserta seminar menanggapi bahwa SPM ini sedang dalam proses penyusunan dan akan segera diujicobakan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Terkait dengan kisruh yang sering terjadi antara media dengan penyelenggara pelayanan kesehatan, Marius mengangkat isu UU Keterbukaan dan Informasi Publik (KIP). UU ini mengatur bahwa setiap pejabat publik harus siap memberikan informasi publik, sepanjang informasi itu tidak menyangkut rahasia pasien (karena itu diatu tersendiri oleh UU lain). RS harus siap memberikan jawaban atau penjelasan, dan oleh karenanya Marius sepakat dengan Atika bahwa staf RS harus dilatih untuk itu.