Mayo Clinic Visit Program under the framework of Continuing Medical Education (CME FK UGM)
Kampus FK UGM, Selasa, 30 Juli 2013
Tim dari Mayo Clinic Hospital USA berkunjung ke Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta pada Rabu (30/7/2013). Kunjungan tersebut bertujuan untuk menjajaki peluang kerjasama sekaligus melakukan diskusi ilmiah dengan civitas academica FK UGM dengan topik Continuing Medical Education for Doctor and Other Health Professionals. Diskusi yang bertempat di ruang senat lantai 2 FK UGM ini dibuka oleh Dekan FK UGM, Prof. DR. Dr. Teguh Aryandono, SpB(K)Onk dan dimoderatori oleh Dr. Firdaus Hafidz As Shiddieq, MPH, AAK (KPMAK FK UGM). Partisipan dalam pertemuan ini adalah para praktisi kesehatan (internist, dokter anak, perawat) dari FK UGM, RSUP Dr. Sadjito, RSA UGM, mahasiswa S2 FK UGM dan para residen FK UGM.
Diskusi menjadi menarik dan interaktif, karena dua topik utama yang diangkat dalam diskusi ini juga merupakan topik yang sedang hangat dibicarakan dikalangan pendidik di fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia. Peserta yang hadir mengajukan beberapa pertanyaan seputar pendidikan dokter dan pengalaman Mayo Clinic dalam manajemen rumah sakit mereka. Sebagaimana diketahui, Mayo Clinic pertama kali didirikan pada tahun 1889 di Rochester, Minnesota, dengan misi sebagai RS not-for-profit. Mayo Clinic dikenal sebagai praktek kelompok medis not-for-profit terintegrasi pertama dan terbesar di dunia. Hingga saat ini para penerus Mayo Clinic masih menjalankan misi tersebut dan beroperasi sebagai RS pendidikan. Kini Mayo Clinic telah memiliki dua cabang, yaitu di Jacksonville (Florida) dan Phoenix (Arizona), dan mempekerjakan 3.800 dokter dan peneliti serta 50.900 tenaga kesehatan lainnya.
Sesi pertama diskusi yang membahas mengenai Continuing Medical Education: “Educating and Training Healthcare Providers in the 21st-Century” menghadirkan David Rosenman, MD (Mayo Clinic Hospital and Department of Internal Medicine, USA) sebagai pembicara. Dr. David memaparkan pekerjaan dokter pertama kali dilakukan dari rumah ke rumah dengan berkendaraan kuda dan menggunakan peralatan kedokteran seadanya. Dalam praktek kedokterannya saat itu, dokter dari Mayo Clinic memberi penjelasan serta analisa berdasarkan pengalaman. Saat itu, dokter mengumpulkan semua pengetahuan dan pengalaman di kepalanya, dan memanfaatkan hal tersebut dalam mengobati pasien. Pasien menganggap dokter dapat menjawab semua pertanyaan tentang kondisinya dan percaya bahwa dokter dapat memperbaiki (kondisinya). Hal serupa masih terjadi hingga saat ini.
Namun ada banyak hal yang berbeda dengan zaman sekarang. Kini semua dapat dilakukan dengan lebih cepat karena adanya bantuan komputer (computer as a sophisticated connection to the world). Doctor is a sophisticated connection to the world. Kemajuan teknologi yang pesat, memudahkan dokter menggunakan beberapa perangkat komputer untuk menunjang pengetahuan kedokteran mereka.
Zaman bisa berubah, namun salah satu prinsip pendidikan kedokteran adalah dapat mengetahui apa yang terjadi di lapangan dan apa yang diharapkan oleh pasien. Selain itu, perubahan zaman menuntut seluruh tindakan dokter harus didasarkan bukti-bukti ilmiah dan bukan hanya berdasarkan pengalaman (seperti dokter zaman dulu). Singkatnya dokter sekarang harus selalu up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dengan pesatnya perkembangan ilmu-ilmu biomedical dan terus meningkatnya jumlah pasien di RS dengan keinginan yang semakin bervariasi.
Up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan berarti tidak hanya dalam hal menemukan metode terapi canggih. Lebih dari itu, dokter harus mempertimbangkan kemungkinan dampak buruk yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan teknologi tersebut. Misalnya: efek samping yang dapat ditimbulkan dengan kemoterapi. Dr. David mengatakan bahwa “terjadi tren medical education dan pilar utamanya adalah: humility, collaboration, prevention, communication dan continuous improvement.
Dr. Rossi Sanusi (IKM FK UGM) menanyakan tentang pilar utama dalam medical education tersebut. Mengapa medical ethic tidak menjadi salah satu dari pilar tersebut. Menanggapi pertanyaan ini Dr. David menjawab bahwa ethic tetap diperhatikan. Salah satu yang telah dilakukan adalah primary care provider bekerjasama dengan pasien dan keluarganya untuk memutuskan terapi terbaik dalam penanganan mereka.
Namun pada kenyataannya (di Indonesia) kerap terjadi bahwa dokter melakukan tindakan diluar wewenangnya atau meresepkan obat-obatan di luar terapi. Misalnya karena berorientasi bisnis sehingga kemungkinan terjadi over medication/over treatment. Terhadap hal ini, Dr. David menanggapi bahwa sistem pembayaran di US mencegah hal tersebut. Third party (pihak ketiga/asuransi) yaitu pihak pembayar (asuransi) hanya membayar obat-obatan sesuai dengan indikasi penyakit. Dokter telah mendapat gaji yang tetap, berapapun jumlah pasiennya, dan tidak ada hubungannya dengan jenis dan harga obat yang diresepkan. Selain itu, RS mengharuskan setiap dokter meresepkan obat generik. Bagi pasien yang menginginkan obat-obatan branded, obat tersebut dapat diresepkan namun dokter akan menjelaskan selisih biaya yang mungkin ditanggung oleh pasien akibat penggunaan obat-obatan bukan generik. Mengenai audit RS, Dr. David menjelaskan bahwa RS mengutamakan safety, quality improvement serta kepuasan pasien.
Salah satu perbedaan sistem pendidikan di Indonesia dengan di USA menurut Dr. Titi Savitri P.,MA.,M.Med.Ed.,Ph.D (Continuous Medical Education, FK UGM) yang menjadi peserta pada diskusi ini adalah bahwa pre-rounds di Indonesia berada pada level under graduate sedangkan di USA levelnya post graduate. Di Indonesia masing-masing spesialis memliki sekolahnya sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Tapi sistem hospitalist (hospital spesialist) ini membutuhkan kerjasama/kolaborasi dari semuanya untuk bekerja dalam satu bidang. Dr. Titi menanyakan mengenai bagaimana sistem edukasi/kurikulum tersebut harus dibangun. Terhadap hal ini, Dr. David menanggapi bahwa di Harvard University ada pendidikan khusus yang mempelajari tentang kurikulum ini yang merupakan gabungan antara Harvard Medical School dengan Medical Education, dan Bussiness Administration.
Sesi kedua membahas tentang Site Specific Generalists: Caring for the Hospitalized Patient. Pembicara pada sesi ini adalah Jane Rosenman, MD (Department of Pediatric and Adolescent Medicine General Pediatric Hospital Service). Dr. Jane mengungkapkan bahwa pelayanan pasien di USA dilakukan secara komprehensif, termasuk melibatkan diskusi (care team) keluarga pasien, ahli gizi, perawat, farmasi dan semua pihak terkait. Setiap orang dalam care team memiliki keahlian masing-masing dan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahliannya.
Komunikasi antara dokter/tim dengan pasien/keluarga pasien amat penting. Dalam komunikasi antara dokter dengan pasien atau keluarga pasien, salah satu yang dibicarakan adalah diskusi tentang pemilihan jenis terapi yang paling baik termasuk estimasi beberapa dampak yang mungkin ditimbulkan. Jenis komunikasi lainnya adalah komunikasi antar dokter di tiap shift. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh informasi terapi pasien yang komprehensif. Saat pertukaran shift, pertemuan tidak hanya antara dokter dengan dokter, namun pertemuan juga dilakukan dengan displin ilmu lain. Selanjutnya, tim mendiskusikan apa yang telah dilakukan shift sebelumnya dan merencanakan apa yg akan dilakukan selanjutnya. Misalnya pada pergantian shift malam ke shift pagi, pertanyaan yang harus dijawab adalah “Apa yg terjadi tadi malam?” Topik lain yang didiskusikan adalah pertanyaan keluarga pasien, seperti “Bagaimana keadaan saya/keluarga saya sekarang?” dan “Kapan saya diperbolehkan pulang?”
Salah satu upaya sederhana yang dilakukan tim adalah menyiapkan whiteboard di ruang diskusi. Mereka menulis segala sesuatu yang telah dikerjakan dan menulis juga segala sesuatu yang akan dikerjakan nantinya. Hal ini dilakukan agar diperoleh seluruh informasi perkembangan pasien. Selanjutnya, Jane mengatakan bahwa “komunikasi adalah kunci utama”.
Menurut pemaparan Dr. Jane, ada sistem week on dan week off yang menjadi agenda tahunan, dimana para dokter dimungkinkan untuk membagi waktu. Pada week on dokter melakukan tanggung jawab klinisinya secara penuh, sedangkan pada week off dokter dapat melakukan aktivitas lain misalnya penelitian dan beberapa aktivitas lainnya. Hal ini sepertinya tidak mungkin diterapkan di Indonesia yang jumlah spesialisnya masih sedikit. Untuk mengatasi keterbatasan ini Dr. Jane menyarankan bahwa pada saat seorang dokter week off, tugas-tugas klinisnya dapat digantikan oleh dokter lain. Waktu off-nya dapat ditentukan hanya tiga hari, bukan satu minggu penuh.
Hasil dari penelitian yang dilakukan selama week-off harus didiseminasi ke pihak lain yang terkait (sejawat, mahasiswa, dan sebagainya). Dalam melaksanakan kegiatan ini menurut Dr. Jane banyak media yang bisa digunakan, misalnya melalui email maupun tatap muka secara langsung.
Dengan sistem rujukan yang sudah berjalan baik di Amerika, pasien diharuskan untuk ke layanan primer lebih dulu. Sebagai dokter keluarga, dokter dilayanan primer telah sangat memahami keadaan pasiennya dengan baik. Jika dibutuhkan, maka pasien akan dirujuk ke dokter spesialis yang sesuai. Namun, komunikasi antara dokter keluarga dengan dokter spesialis terus dilakukan. (Bustanul Arifin)