Jakarta, PKMK. Developer real estate besar di Indonesia memiliki potensi berlomba masuk bisnis rumah sakit. Sebab, dari sisi potensi pasar ataupun tingkat pengembalian investasi, bisnis rumah sakit bisa lebih menguntungkan daripada bisnis real estate, ungkap Budi Santoso, pengamat properti (2/5/2013). Budi menjelaskan, orang sakit pasti tidak akan menunda berobat. Terlebih lagi kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan masalah kesehatan, kalangan ini masih mungkin menunda pembelian apartemen, rumah, ataupun properti yang lain. “Kalau terletak di lokasi berkembang dan di daerah dengan pendapatan tinggi, bisnis rumah sakit bisa balik modal dalam lima sampai tujuh tahun,” kata penulis puluhan buku real estate tersebut. Bisnis real estate dan rumah sakit sama-sama berjangka panjang. Namun bisnis rumah sakit lebih bisa memberikan keuntungan jangka panjang. Bila kawasan real estate perumahan seluas 10 hektar dikembangkan intensif, maka bisa selesai dalam setahun. Namun satu kawasan rumah sakit bisadapat terus memberikan pendapatan dalam waktu 10 tahun ataupun lebih.
Dari segi manajemen real estate, rumah sakit lebih mengalirkan pendapatan. Sebab, pendapatan dari pasien bisa disebut murni masuk ke manajemen rumah sakit. Sementara, kawasan real estate dibebani oleh kewajiban mengembalikan sebagian keuntungan ke warga seperti dalam bentuk layanan kebersihan dan keamanan lingkungan. Hal yang dilakukan PT Lippo Karawaci bisa menjadi contoh menarik. Developer tersebut terus berekspansi membangun rumah sakit ke seluruh Indonesia. Di Balikpapan, Kalimantan, Lippo Karawaci telah membangun Rumah Sakit Siloam. “Padahal, Lippo Karawaci belum membangun kawasan real estate di Kalimantan. Beda dengan Agung Podomoro Land,” Budi menambahkan. Saat ini, Grup Ciputra juga tengah membangun rumah sakit. Ini disebabkan adanya potensi pasar yang menarik. Ada sebuah simbiosis antara kawasan real estate menengah ke atas dengan rumah sakit. “Warga terbantu dengan adanya rumah sakit dan rumah sakit bisnisnya berjalan,” ujar Budi.