Kotter pada artikel sebelumnya telah memaparkan mengenai delapan penyebab paling besar mengapa transformasi di sebuah organisasi gagal. Diantaranya adalah karena organisasi tersebut tidak matang pada fase sense of urgency, kurang meluangkan waktu untuk mengkomunikasikan visi perubahan, atau terlalu cepat mendeklarasikan pencapaian yang didapat. Sependapat dengan Kotter, Michael Beer dan Nitin Nohria dalam artikelnya bertajuk Cracking the Code of Change menuliskan bahwa alasan kegagalan berbagai organisasi tersebut adalah karena mereka terlalu terburu-buru dalam proses perubahan, terpana dengan berbagai saran yang tersedia di berbagai referensi dan menerapkannya secara “urut kacang”.
Berdasarkan pengalaman mereka selama lebih dari 40 tahun, Beer dan Nohria menyimpulkan bahwa ada dua pola dasar atau teori perubahan. Keduanya sangat berbeda, dimana Teori E merupakan perubahan yang berbasis pada nilai ekonomis sedangkan Teori O adalah perubahan berbasis pada kapabilitas organisasi. Kedua teori ini diterapkan secara sadar maupun tidak sadar oleh banyak eksekutif organisasi. Perbedaan kedua teori tersebut diuraikan secara lebih detil berikut ini.
Dimensi Perubahan | Teori E | Teori O |
Tujuan | Memaksimalkan nilai-nilai pemegang saham | Membangun kapabilitas organisasi |
Kepemimpinan | Mengelola perubahan secara top down | Menggalang partisipasi dari bottom up |
Fokus | Menekankan pada struktur dan sistem | Membangun budaya organisasi: perilaku dan sikap karyawan |
Proses | Merencanakan dan membangun program-program | Eksperimen dan berkembang |
Reward system | Memotivasi melalui insentif finansial | Memotivasi melalui komitmen |
Penggunaan konsultan | Konsultan menganalisis masalah dan memberi solusi | Konsultan mendukung manajemen dalam menemukan solusi mereka sendiri. |
Beer dan Nohria menggunakan dua perusahaan produsen kertas untuk membandingkan aplikasi kedua teori ini. Contoh perusahaan yang menerapkan Teori E adalah Scott Paper saat dipimpin oleh Al Dunlap. Pada waktu itu 11 ribu karyawan diberhentikan dan beberapa bisnis ditutup. Yang tidak mampu memberikan perannya untuk meningkatkan shareholders value atau tidak sejalan dengan gaya kepemimpinannya langsung diminta keluar dari perusahaan. Dunlap sama sekali tidak melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Dalam waktu 20 bulan ia berhasil menaikkan keuntungan perusahaan tiga kali lipat. Dari USD 3M di tahun 1994 menjadi USD 9M pada akhir tahun 1995.
Para manajer yang menggunakan Teori O memberi kan nilai yang tinggi pada kontrak antara perusahaan dengan karyawan yang berbasis pada komitmen psikologis jangka panjang. Contoh perusahaan yang menerapkan Teori O adalah Hewlett-Packard saat Andrew Sigler sebagai CEO di tahun 1980-an. Siglers dan para manajer lainnya meluncurkan program jangka panjang untuk merestrukturisasi budaya organisasi dengan visi baru Champion Way, dimana seperangkat nilai-nilai dan prinsip-prinsip baru didesain untuk membangun kapabilitas SDM, misalnya pada area komunikasi dan teamwork. Kaya kepemimpinannya adalah partisipatif dimana seluruh SDM secara emosinal memiliki komitmen utuk meningkatkan kinerja perusahaan. Fokus diletakkan pada membangun “software” organisasi. Pada reformasi satu dekade tidak ada pemecatan, para manajer dan karyawan didorong untuk mengevaluasi kinerja mereka masing-masing dan bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik. Tidak ada single person yang dianggap sebagai pembawa perubahan. Insetif finansial hanya digunakan sebagai suplemen, untuk itu ada sistem pemberian insentif berbasis skill. Namun secara keseluruhan aspek finansial ini tidak terlalu banyak mendorong pencapaian tujuan.
Sebenarnya tidak banyak perusahaan yang menggunakan Teori E saja, atau Teori O saja. Yang mengkombinasikan antara Teori E dan O jauh lebih banyak. Namun banyak sekali yang gagal, karena banyak manajer yang sekedar menggabungkan kedua teori ini tanpa berusaha untuk mencairkan ketegangan yang ada diantara keduanya. Karyawan sulit mempercayai pemimpin yang disatu pihak memupuk budaya organisasi namun disisi lain berlaku kejam melalui pemecatan. Mengkombinasikan kedua teori ini merupakan ide bagus, namun harus ada solusi untuk membuat dua kutub ekstrim ini – hard dan soft approach – dapat diterapkan secara mulus di satu perusahaan.
ASDA merupakan jaringan took kelontong di UK yang menghadapi kebangkrutan di tahun 1991. Archie Norman adalah CEO yang berhasil mengkombinasikan Teori E dan O dengan hasil yang spektakuler: kepercayaan dan keterbukaan karyawan – dan meningkatnya keuntungan shareholder delapan kali lipat.
Dimensi Perubahan | Bagaimana mengkombinasikan Teori O dan E | Contoh dari ASDA |
Tujuan | Merangkul paradox antara nilai ekonomis dengan kapabilitas organisasi | Norman memulai masa jabatannya dengan mengatakan “tujuan kita yang pertama adalah untuk memastikan keuntungan para pemegang saham kita” dan “Kita membutuhkan budaya yang dibangun diseputar gagasan umum…..dan mendengarkan, belajar, dan kecepatanrespon, dari took ke atas” |
Kepemimpinan | Tetapkan tujuan dari atas dan motivasi karyawan dari bawah | Norman secara sepihak menetapkan strategi tariff yang baru dan memindahkan kekuasaan dari kantor pusat ke took-toko. Program “Berterus Terang pada Archie” –nya mendorong terjadinya dialog pada seluruh karyawan. Ia menyewa konsultan yang hangat dan mudah diakses – Allan Leighton – untuk melengkapi gaya kepemimpinannya yang cenderung ke Teori O dan untuk menguatkan komitmen emosional di ASDA. |
Fokus | Fokus pada sisi hard dan soft organisasi | Norman mengupayakan untuk memenangkan hati dan juga pikiran. Ia memacu pertumbuhan nilai ekonomis melalui perubahan kuat pada struktur, misalnya memindahkan orang-orang pada lapisan atas hirarki organisasi dan membekukan semua gaji. Dia menaruh perhatian yang tinggi pada sisi soft dengan menghabiskan 75% bulan-bulan pertamanya sebagai manajer SDM untuk menciptakan organisasi yang lebih transparan dan egaliter – “sebuah tempat bekerja yang hebat untuk semua orang” |
Proses | Berencana untuk spontanitas | Norman mendorong terjadinya eksperimentasi, menetapkan tiga took “bebas risiko” dimana karyawan bisa melakukan kesalahan tanpa terkena penalty. Para manajer bereksperimen dengan lay out toko, variasi produk, peran karyawan. Sebuah tim cross-functional meredesain ASDA secara keseluruhan dan menghasilkan inovasi yang signifikan. |
Reward System | Menggunakan insentif untuk memperkuat, bukan untuk mendorong perubahan | ASDA menerapkan insentif Teori E dengan cara O. Perusahaan ini mendorong partisipasi aktif seluruh karyawan untuk mengubah ASDA. Dan perusahaan ini memberi reward bagi komitmen mereka berupa kepemilikan stock dan variasi pembayaran berbasis pada kinerja perusahaan dan kinerja toko. |
ASDA telah mampu membangun keunggulan kompetitif berkesinambungan, sesuatu yang dulu tidak mampu dibangun oleh Dunlap di Scott Paper dan Sigler dengan Champion-nya. Hasil seperti yang didapat oleh ASDA juga mungkin didapat oleh organisasi lain pada jaman sekarang yang ingin membangun keunggulan kompetitifnya masing-masing. Namun keunggulan tersebut hanya dating dari kemauan yang konstan dan kemampuan untuk membangun organisasi untuk jangka panjang, dikombinasikan dengan monitoring secara konstan terhadap shareholder value. E dan O menari secara harmonis tanpa akhir.
Tulisan terkait:
Menambah wawasan dan sangat bagus