Oleh Putu Eka Andayani
Rumah sakit dan tenaga kesehatan di Indonesia memang empuk untuk dijadikan sasaran kekecewan bahkan kemarahan public akibat buruknya output pelayanan. Betapa tidak, sering terjadi masyarakat yang meskipun membawa kartu sehat tetap dipungut biaya pelayanan. Meskipun telah dirujuk karena kasusnya gawat, tetap ditolak dengan alasan penuh. Belum terhitung kasus KTD, (Kejadian yang Tidak Diinginkan) injury, error dan sebagainya yang juga berdampak pada output pelayanan yang buruk. Kejadian lain yang cukup miris misalnya meskipun telah dirujuk karena kasusnya gawat, tetap ditolak dengan alasan penuh RS. Belum terhitung kasus Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD), injury, error dan sebagainya yang juga berdampak pada output pelayanan yang buruk. Masih belum pupus ingatan kita akan kasus bayi Dera yang menjadi pemberitaan di media massa selama dua minggu terakhir, kini media juga menyorot mengenai bayi Hikmah yang meninggal di RSCM akibat gizi buruk. Masyarakat menganggap pelayanan di RSCM lambat sehingga bayi tersebut tidak tertolong. Benarkah kinerja RS-RS di Indonesia seburuk itu? Kita masih ingat, dulu ada banyak RS yang mendapat predikat sebagai RS Sayang Ibu dan Bayi karena memenuhi kriteria berikut: adanya komitmen RS/Pemda, aspek administrasi dan manajemen yang mendukung, adanya kegiatan pelayanan, fasilitas dan sarana serta unggulan pelayanan ibu & bayi. Tahun 2011 yang lalu bahkan Kemenkes menobatkan 26 RS di seluruh Indonesia sebagai nominee RS Sayang Ibu dan Bayi di tingkat nasional. Jika RS-RS di daerah bisa sebagus itu, apalagi RS yang berada di kota besar seperti di Jakarta, yang aksesnya terhadap berbagai sumber daya (SDM, teknologi, infrastruktur) jauh lebih memadai dibandingkan dengan RS di daerah. Mestinya RS-RS di kota besar sudah lebih dulu menyandang predikat sebagai RS Sayang Ibu dan Bayi. Apa yang terjadi sekarang? Mengapa banyak bayi tidak tertolong di RS? Kemana sederet RS yang berprestasi tersebut? Apakah terjadi penurunan kualitas pelayanan RS, atau masalah kesehatan yang semakin kompleks sehingga harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah? Kasus gizi buruk seperti yang menimpa bayi Hikmah merupakan refleksi dari ketidakmampuan pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kemerataan pangan. Gizi buruk bukan suatu kondisi yang terjadi dalam suatu waktu yang singkat, melainkan hasil dari sebuah proses yang cukup panjang, bahkan bisa dipengaruhi kondisi gizi ibu saat mulai mengandung. Semakin lama proses ini terjadi, semakin sulit menangani akibatnya. Dalam hal ini, masyarakat perlu diedukasi, bahwa kesehatan mahal harganya sehingga harus dijaga. Banyak ayah dari keluarga kurang mampu yang tidak dapat menahan diri untuk tidak merokok dan mengesampingkan kebutuhan gizi anak. Apa yang terjadi di RS hanyalah muara dari berbagai maslah ekonomi dan sosial ada di hulunya. Secanggih apapun RS dan sekaliber apapun dokter serta perawatnya, jika masalah di hulu tidak dibenahi, kinerja RS akan tetap tampak seperti saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh PKMK di NTT menunjukkan bahwa masalah kematian bayi di RS adalah masalah yang kompleks. Upaya untuk menurunkan AKB menghadapi berbagai kendala. Tidak cukupnya asupan gizi ibu hamil, budaya menunggu seluruh anggota keluarga besar berkumpul sebelum membawa ibu yang hendak partus ke RS, hingga kendala infrastruktur transportasi dan komunikasi merupakan beberapa masalah di hulu yang kemudian berujung pada kondisi risiko tinggi ibu berupa anemia dan hipertensi hingga kurang gizi dan asfiksia pada bayi. Berita baiknya adalah sudah ada beberapa desa yang menerapkan desa siaga, dimana perangkat desa dilibatkan untuk mendeteksi adanya ibu hamil di wilayah mereka. Jika ada ibu hamil, maka semua perangkat desa tersebut wajib untuk ikut mengawasi dan membantu agar ibu hamil ditangani di fasilitas kesehatan. Warga pendatang yang bermukim dan bekerja di kota besar seringkali menganggap tidak perlu mengurus status kependudukannya untuk mendapatkan KTP setempat. Padahal tanpa KTP lokal akan sulit mengurus kartu jaminan sosial sehingga tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan publik. Ketidakpedulian warga terhadap status kependudukan merupakan refleksi ketidakpedulian terhadap berbagai risiko yang dapat terjadi. Sayangnya, kesulitan akses ke fasilitas kesehatan ini lalu seringkali ditimpakan kepada fasilitas kesehatannya (RS) tanpa menelusuri akar masalah. Jadi sebenarnya RS sayang ibu dan bayi masih ada, bahkan jumlahnya mungkin bertambah. Dengan difasilitasinya RS Daerah untuk menjadi BLUD, banyak RSUD yang kemudian mampu memperbaiki pencapaian SPM-nya, yang artinya mutu pelayanannya semakin baik. Demikian juga dengan RS swasta, didorong oleh kebutuhan untuk bertahan dan meningkatkan daya saing, mereka berlomba-lomba memperbaiki mutu pelayanannya agar tetap menjadi pilihan masyarakat. Apalagi saat ini banyak RS yang didorong oleh pemerintah untuk memenuhi standar akreditasi (internasional), maka logikanya mutu pelayanan lebih baik dari waktu-waktu yang lalu. Hanya saja tantangan juga semakin besar. Masyarakat semakin melek informasi sehingga menjadi lebih kritis. Kebijakan pemerintah yang menggratiskan seluruh pelayanan kesehatan kadang direspon secara berlebihan sehingga menyebabkan kunjungan pasien ke RS sangat tinggi. Padahal kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini belum tentu dibarengi dengan meningkatkan kapasitas RS dan tenaga kesehatannya, apalagi pembenahan sistem kesehatan secara keseluruhan. Jadi, selama sistem makro dan sektor terkait tidak ikut dilibatkan, maka selama itu pula RS dan tenaga kesehatan akan tetap menjadi sasaran empuk jika tidak ingin disebut sebagai kambing hitam buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia. |
–———————————————- ———————————————– > Penyusunan Rencana Strategis untuk RS > Pelatihan Sistem Akuntansi Rumah Sakit berbasis SAK > Aplikasi Sistem Billing dan Rekam Medis Berbasis Open System
|
Tulisan Terkait: ——————– Posted on: Senin, 25-02-2013 Ada Uang, tapi Pasien Tidak Tertolong: Ujian bagi Rumah Sakit dan Sistem Jaminan Sosial Posted on: Selasa, 07-08-2012 Posted on: Senin, 06-08-2012 |
|
Aktivitas Mutu Klinis —– Aktivitas Mutu Keperawatan —- Manajemen SDM —– Manajemen Keuangan —- Manajemen Fisik —– Hukum Kesehatan
Manajemen Teknologi Informasi —– Asuransi Kesehatan —– Manajemen Pemasaran —– Strategi, Struktur & Budaya Organisasi |
RS Provinsi Banten Beroperasi April 2