Hari Kedua:
Sesi Pleno pertama pada hari II membahas mengenai analisis antar Negara.Ada 4 pembicara di sesi ini. Pembicara pertama adalah Prof Pisake Lumbiganon, Dean Khon Kaen Medical School, yang menjabat sebagai Co-Coordinator Asia-Pacific Network on Health Professional Education Reforms (ANHER).
Prof. Pisake membahas mengenai Sejarah Medical Education di berbagai negara dan kebutuhan untuk melakukan reformasi pada awal abad ke 21 ini. Sebagai co-chair dari sebuah Jaringan ANHER, pembicara mengajak para peserta untuk memahami tantangan pendidikan kedokteran, antara lain:
(1) Perubahan pola penyakit yang tidak hannya communicable disease tapi juga NCD;
(2) Tantangan social demografi, perubahan struktur social ekonomi;
(3) Health System Challenge, antara lain kerjasama tim yang buruk, kepemimpinan yang lemah, kecenderungan konflik antar profesi, pengembangan health system yang semakin kompleks dan mahal, kekurangan SDM, Universal Coverage dan Health Equity;
(4) Medical Education Challenges, misal adanya lulusan yang kurang bermutu. Oleh karena itu dirasakan perlu Reform Global untuk pendidikan kedokteran dan kesehatan. Reform ini diluncurkan di Harvard pada tahun 2010. Pelaksanaan di Asia: ANHER dibahas di AAAH meeting in Bali 2010, (Catatan: Indonesia kemudian tidak ikut). Bulan April 2001, pertemuan di Hanoi dimana China and India bergabung, tapi Indonesia belum. Kelima negara kemudian bergabung dan melakukan penelitian bersama mengenai reformasi dalam pendidikan kesehatan dan kedokteran.
Pembicara 2 adalah Prof. Barbara McPake, Director of the Institute for International Health and Development Queen Margaret University, Edinburg.
The Challenges for Human Resources for of Reducing Health Financing. Presentasi ini membahas implikasi penghapusan user-fee untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak. Menjadi pertanyaan besar: Apa bukti penggratisan ini terhadap system pelayanan kesehatan? Berbasis pada desk-top research dan dua studi lapangan di Sierra Leone dan Zimbabwe ditemukan berbagai bukti bahwa penggratisan ini menunjukkan adanya impact positif dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin lebih mendapat manfaat untuk dibanding yang kaya. Akan tetapi masalah di sisi supply memberikan negative impact. Contohnya: peningkatan beban kerja, declining moral. Di beberapa negara ada dana kompensasi berupa incentive untuk tenaga kesehatan seperti yang dilakukan di Nepal dan Niger. Lebih jauh ditemukan bahwa ada kemungkinan memperburuk ketimpangan rural dan urban . Dalam kesimpulan memang susah mengukur impact perubahan kebijakan pembiayaan (penghapusan user-fee/penggratisan) terhadap system kesehatan dan SDM di dalamnya. Banyak hal yang masih harus dibahas.
Pembicara 3. Ms Taina Nakari, Global Health Workforce Alliance (GHWA), Geneva membahas mengenai Jaringan GHWA dan jaringan local. GHWA di Geneve mendukung pengembangan jaringan-jaringan regional.Sebagai gambaran adalah AAAH di Afrika dan di Asia Pacific. Ada beberapa kegiatan, misal: HRH Observatories di Latin America, Africa, Easter Mediteranean, dan berbagai tempat lainnya. Ms Nakari memaparkan mengenai keuntungan menjadi anggota Jaringan HRH di region. Ada banyak kegiatan termasuk: Kepemimpinan, migrasi, penempatan di daerah terpencil, MDGs dan adanya Konsultasi Regional.
Pembicara 4. Prof Tim Evans, Dean of BRAC University’s James P Grant School of Public Health lebih berperan sebagai pembahas. Dalam kesempatan tersebut Prof Tim Evans mengingatkan mengenai manfaat kegiatan kolaborasi. Kembali k eth 2001.Mengapa harus ada jaringan?Jawabannya untuk meningkatken efisiensi.Ada public goods aspect di dalam kegiatan ini. DI dalam proses jaringan ini ada satu hal: penguatan kapasitas. Misalnya dalam konteks medical education yang merupakan hal sangat penting. Di Africa terlihat ada efisiensi dan penajaman dalam peningkatan kemampuan kapasitas. Peningkatan ini berada dalam konteks: individu, institusi, dan informasi.
Catatan dari Prof Laksono untuk Indonesia (tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).
Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:
1. Isu medical education reform
2. Dampak perubahan system pembiayaan untuk SDM
1. Isu medical education reform.
Indonesia memang tidak menjadi anggota dari ANHER, walaupun pada tahun 2010 diselenggarkan di Bali. Akan tetapi isu reformasi pendidikan kedokteran ini dikembangkan dalam penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam RUU Pendidikan Kedokteran (yang masih tertahan di DPR karena pemerintah/cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih belum ingin mengesahkan), dilakukan berbagai usaha untuk mereformasi system pendidikan kedokteran. Referensi yang digunakan dalam naskah akademik RUU Pendidikan Kedokteran sama dengan apa yang dibahas di ANHER. Dalam konteks pengembangan reformasi medical education ini, ada baiknya RUU Pendidikan Kedokteran ditelaah kembali.
2. Dampak perubahan system pembiayaan untuk SDM.
Apa yang dibahas oleh Barbara McPake terjadi di Indonesia dalam kasus Jampersal dan Jaminan Kesehatan Aceh. Perubahan system pembiayaan dengan cara membebaskan biaya ternyata berdampak langsung pada sumber daya manusia. Terjadi penurunan pendapatan. Respon langsung SDM sangat menarik. Dalam kasus Jampersal di tahun 2011 terjadi peningkatan rujukan ke RS. Sementara itu di Aceh, para spesialis di daerah sulit menjadi tidak nyaman karena berkurang pendapatannya. Terjadi migrasi ke urban, atau tidak full bekerja di daerah sulit. Isu ini perlu diteliti lebih lanjut.
Sesi paralel di Hari II yang menarik adalah masalah kebijakan agar para tenaga kesehatan tetap berada di daerah terpencil (isu retensi). Ada 3 pembicara yang berasal dari China, Vietnam, dan Thailand.
Pembicara 1; Dr. Xu Ji, Pimpinan Center for Health Human Resources Development , China Ministry of Health. Bagaimana kebijakan untuk retensi di daerah sulit di China?
Di tahun 2009 ada reformasi kesehatan. Ada dana sebenar 135 biliun dollar untuk reformasi pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Salahsatu hal penting adalah membentuk jaringan pelayanan kesehatan dasar di China. Situasi yang terjadi di HRH China adalah sebagai berikut. Pelayanan kesehatan primer diperbaiki pada tahun 2011. Ada 2200 RS kabupaten dan 33 ribu puskesmas yang direnovasi. Dibutuhkan banyak SDM yang berkualifikasi tinggi di daerah pedalaman China.
Situasi HRH: Jumlah: 8.21 juta HRH, 5.88 juta health professionals, 1.09 juta dokter desa. Dokter dibanding perawat= 1:18. Lebih banyak lulusan yang tinggi di kota di banding di daerah, 3-4 kali lebih tinggi. Jabatan masih banyak yang rendah. Ada berbagai kebijakan Retensi tenaga kesehatan di China:
- Kebijakan Pertama: berupa pemberian bimbingan teknis dari pelayanan kesehatan diperkotaan ke desa. Yang diuntungkan adalah RS kabupaten. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan mutu, dan kemampuan manajemen.
- Kebijakan kedua: adalah rekrutmen di daerah untuk di tempatkan di pedesaan. Lembaga yang diuntungkan adalah puskesmas di rural.
- Kebijakan ketiga: adalah peningkatan kapasitas untuk pelayanan kesehatan di daerah pedesaan.
- Kebijakan keempat: adalah mengkontrak mahasiswa kedokteran dengan berbagai paket manfaat.
Pertanyaan mendasar adalah: Apakah kebijakan tersebut berhasil? Masih belum banyak bukti yang dapat dipakai.
Pembicara kedua adalah Khuong Anh Tuan dengan judul Policy Mapping and Analysis on Rural Retention in Vietnam. Tuan adalah Head, Department of Health Service Management Research.Health Strategy and policy Institute Vietnam.Pembicara menyatakan bahwa cakupan SDM di Vietnam sudah mulai membaik. Tapi tetap banyak masalah seperti kekurangan jumlah, mutu yang rendah di lapangan, kurang ada dana di daerah sulit, dan adanya brain drain dari rural ke urban.
Tujuan penyajian:
1. Membahas secara kronologis seluruh kebijakan pemerintah yang meningkatkan retensi tenaga kesehatan di daerah rural.
2. Melakukan analisis terhadap kebijakan publik untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil; dan
3. Memberikan usulan opsi kebijakan.
Kesimpulan yang didapat dari analisis ini sebagai berikut.
Pertama: Kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah rural Vietnam belum membahas isu-isu penting seperti kurikulum yang merefleksikan isu kesehatan rural, compulsory service, support untuk pelayanan jauh, kondisi kehidupan yang lebih baik, jaringan professional, dan penghargaan publik.
Kedua, ada gap besar antara isi dokumen kebijakan nasional dengan peraturan untuk pelaksanaan kebijakan. Dalam pelaksanaannya perlu ada kebijakan lain.
Pembicara terakhir dari sesi ini mengenai Analisis Kebijakan Retensi di Thailand yang disampaikan oleh Passaroen Wanhaijiraboon.
Di Thailand ada sekitar 700 district hospitals ( 100 TT), 9 % berada di daerah sangat terpencil, 16% terpencil. Kebijakan yang dijalankan adalah mengatur supply tenaga kesehatan, mengembangkan distribusi dan penggunaan yang baik, serta memberikan insentif berupa non-keuangan dan keuangan.
Kebijakan tersebut mencoba mengatur dinamika perpindahan dokter dari rural ke urban.Sejak tahun 1972 ada wajib kerja.Kemudian pada tahun 1980 ada kebijakan investasi di RS Swasta.Jumlah RS Swasta meningkat menjadi 25% (dari 10%).Ada brain drain dari RS rural ke RS swasta yang berada di kota-kota besar.Jumlah dokter tidak tambah banyak.Di mid 1997 ada krisis ekonomi.Sebagian RS Swasta turun kinerjanya.Ada pengembangan balik, dimana dokter migrasi dari swasta ke pemerintah.Namun sejak tahun 2002 terjadi economic recovery dan kembali ada migrasi dari rural dan pemerintah ke swasta.
Untuk meredam dinamika ini, kebijakan yang dilakukan adalah menambah jumlah mahasiswa kedokteran dan menambah jumlah rural dokter karena selama ini semakin banyak dokter spesialis, dan GP menurun.Kebijkan insentif terus dikembangkan. Akan tetapi kebijakan insentif keuangan belum memberikan hasil maksimal. Dalam menjalankan kebijakan retensi dokter ini prinsipnya adalah: Plan Long-Act Short-Update Open.
Kesimpulan dari diskusi ini:
Kebijakan retensi dokter merupakan hal yang penting dalam Human Resources for Health.Berbagai kebijakan telah dilakukan di tiga negara. Hasil memang belum menggembirakan, akan tetapi usaha sudah mulai dilakukan. Pelajaran penting dari Thailand adalan perubahan system pembiayaan akan merubah dinamika dan migrasi dari dari urban ke rural dan sebaliknya. Insentif keuangan memang penting, tapi bukan satu-satunya insentif seperti yang dilakukan di Vietnam dan Thailand.Promosi jabatan juga menjadi isu penting.
Catatan dari Prof Laksono untuk Indonesia (tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).
Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:
1. Bagaimana kebijakan retensi ini di Indonesia?
2. Apakah perlu ada suatu kebijakan baru?
1. Kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil.
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas mengenai retensi tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya.Memang ada kebijakan dokter atau bidan kontrak, insentif daerah terpencil atau pengembangan daerah tertinggal. Akan tetapi belum jelas, juga dalam hubungannya dengan proses produksi.
2. Apakah perlu ada kebijakan baru?
Ya…dan hal ini menjadi perhatian Dr. Untung Suseno, MKes, Kepala Badan PPSDM Kemenkes yang baru dilantik, dan hadir aktif mengikuti kegiatan di Bangkok ini. Dalam konteks ini Universitas Gadjah Mada akan menyelenggarakan pertemuan usulan Kebijakan SDM Kesehatan Di daerah terpencil di bulan Maret 2013. Selama 5 tahun terakhir ini FK UGM melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung pengembangan SDM di daerah terpencil, antara lain:
a. Memberikan affirmative selection untuk calon mahasiswa baru di daerah terpencil. Dengan memberikan tempat yang hanya diperebutkan oleh lulusan SMA setempat, ada jaminan lulusan SMA dapat masuk ke FK UGM.
b. Mengembangkan Sister Hospital yang berusaha untuk mendidik residen dari daerah terpencil di pedalaman NTT dan sambil menunggu kedatangan kembali, mengisi dengan tenaga kontrak untuk mengurangi kematian ibu dan bayi.
c. Mengembangkan studi persiapan untuk mendukung dokter di daerah terpencil, termasuk pengembangan perhimpunan dokter di daerah sulit.
[…] Yogyakarta, dan pertemuan yang diselenggarakan AAAH ke 7 di Bangkok yang laporannya dapat diikuti disini. Pada tanggal 27-28 Desember akan ada pertemuan membahas […]