Bangkok – Pertemuan ini diawali oleh Dr. Junhua Zhang, Chair of SC dalam pertemuan AAAH ke-7 yang dihadiri sekitar 250 wakil dari negara-negara di Asia Pacific, mulai dari Mongolia hingga Australia. Hal yang ditekankan bahwa perlu ada respon strategis dalam hal Human Resources for Health untuk menghadapi pencapaian MDGs dan adanya himbauan untuk upaya Universal Coverage di seluruh dunia. Berbagai usaha ini perlu dijalankan secara nyata. Wakil dari Kementerian Public Health menyatakan perlunya pengembangan kepemimpinan tenaga kesehatan sejak usia muda. Setelah pidato-pidato pembukaan, dilanjutkan dengan pemberian Award AAAH untuk dua pelaku pelayanan kesehatan di Nepal dan Burma.
Pertama, Khima Kumari Poudel adalah seorang pembantu bidan di Nepal yang diberi penghargaan karena usahanya yang sangat gigih dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kedua, yaitu pemberi pelayanan dari Burma bernama Dr.Myint Thein Tun, selau Kepala Dinas Kesehatan Kota Paukkaung. Award ini diberikan karena dedikasinya selama puluhan tahun untuk pengembangan kesehatan ibu di daerahnya. Kandidat dari Indonesia belum terpilih dalam Award AAAH tahun ini.
Sesi 1 setelah pembukaan adalah Sidang Pleno yang membahas Pengembangan Kepemimpinan dan Tantangan untuk Penguatan Sistem Kesehatan. Sidang Pleno 1 dipimpin oleh Dr. Budihardja MPH, mantan DirJen Gizi dan KIA Kemenkes. Pembicaranya adalah:
- Prof. Laksono Trisnantoro, Ketua S2 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, IKM, Universitas Gadjah Mada
- Prof. Sanjay Zodpey, Director-Indian Institute of Public Health
- Dr. Muhammad Mahmood Afzal, Head of Country Facillitation Team, Global Health Workforce Alliance, Geneva.
Sesi 1 diawali dengan pembukaan oleh moderator yang menyatakan bahwa kepemimpinan dalam HRH merupakan komponen penting untuk pencapaian status kesehatan masyarakat. Dalam diskusi akan diawali oleh pengalaman Indonesia dalam pengembangan kepemimpinan di KIA yang bersifat multi-aktor, lintas sector dan mempunyai target penurunan kematian. Kemudian pembicara kedua membahas mengenai konsep kepemimpinan dan penanganannya secara makro. Pembicara ketiga membahas mengenai peran dari Country Coordination and Facilitation untuk pengembangan SDM Kesehatan di Negara-negara anggota WHO.
Pembicara 1, Prof Laksono Trisnantoro
pada intinya menyatakan bahwa pengembangan kepemimpinan dalam HRH untuk mencapai penurunan kematian KIA harus dilakukan dengan prinsip memahami bahwa kegiatan KIA merupakan sebuah jaringan. Dalam Jaringan tersebut, misal di kabupaten, terdapat berbagai pemimpin yang terbagi atas pemimpin birokrasi kesehatan (KaDinkes di level kabupaten), pemimpin politik pemerintahan (bupati), pemimpin teknis kesehatan (spesialis atau dokter, atau taskshifting ke profesi lain yang mempunyai komitmen dan paling tinggi pendidikannya dalam ilmu kesehatan), serta pemimpin masyarakat. Situasi kepemimpinan tidak mudah karena belum terkoordinasi, sementara itu pemimpin teknis kesehatan seperti spesialis masih banyak yang belum sadar akan perannya.
Materi presentasi Prof. Laksono Trisnantoro. |
Pembicara 2, Prof Sanjay Zodpey
menyatakan bahwa ada krisis SDM kesehatan di dunia. Secara kuantitatif diperkirakan ada kekurangan sebanyak 4 juta SDM kesehatan di berbagai profesi. Disamping itu ada mal-distribution. Sebagai respon untuk krisis setiap Negara harus mempunyai strategi dalam SDM kesehatan. Selanjutnya Prof Sanjay membahas mengenai situasi di India yang mengeluarkan berbagai kebijakan seperti adanya Konsil Kedokteran, Konsil Perawatan, peningkatan mutu pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta adanya Task-Force untuk pengembangan Public Health. Diharapkan pemerintah pusat menjadi pemimpin dalam pengembangan kebijakan SDM kesehatan.
Pembicara 3, Dr MH Afzal
memaparkan mengenai peran Country Coordination and Facilitation (CCF) dari Global Health Workforce Alliance dengan pengalaman di Pakistan. Sejak tahun 2009 CCF yang berbasis di Geneva telah memberikan support untuk 25 negara di dunia untuk menggunakan pendekatan CCF untuk kebijakan SDM. Berbagai negara seperti Pakistan, Nepal, Afganistan dan Indonesia, telah berhasil melaksanakan dengan dukungan CCF. Konsultan luar yang menilai mengenai CCF mengakui manfaatnya di berbagai negara Afrika. Salahsatu kunci pentingnya adalah bagaimana mendorong diskusi kebijakan dengan pengambil kebijakan. Berbagai materi mengenai CCF dapat dibaca di www.aaahrh.org
Setelah presentasi dilakukan diskusi selama 30 menit. Sebagian besar komentar dan pertanyaan ditujukan kepada Prof. Laksono Trisnantoro.
Ada beberapa pertanyaan sebagai berikut di Termin 1:
Komentar 1 dari Nepal : Mengapa Leadership. Kepemimpinan untuk memotivasi dan mempengaruhi agar terjadi perubahan di lapangan. Contoh dari Nepal menunjukkan hal tersebut. Saya sepakat dengan isi dari seluruh pembicara.
Komentar 2 dari Prof Syeh, India. Saya sangat terkesan dengan presentasi Dr. Laksono. Ada kesamaan antara Indonesia dengan India. Kepala Dinas Kesehatan berada dalam posisi yang susah dan sering dijadikan sasaran kesalahan kalau ada kegagalan dalam pencapaian status kesehatan. Mereka kurang didukung oleh wewenang dan anggaran untuk memimpin. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dibahas di AAAH secara kontinyu.
Komentar 3 Prof Ajun dari Nepal: Saya tertarik dengan pernyataan Dr. Laksono. Apakah sudah ada pengembangan kurikulum di fakultas kedokteran mengenai system kesehatan dan kepemimpinan? Kita perlu untuk memperkuat kepemimpinan sejak dari pendidikan.
Komentar 4 dari Hanoi :Bagaimana Dr. Laksono bisa menyampaikan isu penting mengenai pengembangan leadership ke Menteri Keuangan yang harus mendanai pelatihannya? Mohon di beri tahu.
Kementar 5. Dr. Ohta: Bangladesh. : Apakah Indonesia akan mengembangkan kegiatan kepemimpinan di luar KIA
Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro di Termin 1: Ya… kepemimpinan adalah sebuah hal yang perlu dibuktikan di lapangan apakah ada pengaruh atau tidak. Seorang pemimpin harus mempunyai pengaruh dan dalam kasus di program KIA adalah menurunnya kematian ibu dan anak. Untuk Prof Syed dari India: kepemimpinan kepala Dinas Kesehatan ini memang yang paling unik karena dalam jaringan KIA mereka harus “memimpin” para “pemimpin lain” yang lebih powerful, lebih senior, dan lebih tinggi status social ekonominya. Celakanya mereka rentan terhadap pemecatan karena adanya power Bupati. Mungkin sama dengan di India. Oleh karena itu pemimpin teknis seperti spesialis harus banyak aktif. Tidak bisa masalah MDG dibebankan kepada pemimpin Dinas Kesehatan saja. Di level nasional Ketua Perhimpunan Ahli harus aktif dan berperan dalam merancang kebijakan SDM nasional. Untuk Prof Adjun, sejak 3 tahun yang lalu secara resmi Fakultas Kedokteran UGM telah memasukkan ke kurikulum pendidikan kedokteran mengenai Sistem Kesehatan dan Kepemimpinan. Topik ini merupakan salahsatu dari topik-topik favorit mahasiswa. Di pendidikan residensi juga sudah diberikan. Kami berharap AAAH dapat mengembangkan hal ini. Untuk Ibu dari Hanoi, pihak Kemenkes tentunya atas persetujuan dari Kemenkeu sudah mendukung kegiatan ini. Masalahnya adalah bagaimana metode yang paling tepat untuk melatih leadership di para pemimpin di lapangan. Kami memilih menggunakan Problem Solving Method. Untuk Dr. Ohta, kami memang merencanakan juga untuk leadership dalam penyakit tidak menular (NCD). Logikanya para spesialis harus bekerja bersama tenaga kesehatan lain dan menjadi pemimpin teknis untuk penanganan NCD di sebuah kabupaten. Sayangnya perhatian spesialis masih rencah. |
Prof Laksono kemudian minta para peserta yang spesialis mengacungkan jari. Ternyata dari 250 peserta hanya sekitar 7 orang yang spesialis. Dari delegasi Indonesia ada yaitu Dr. Wawang Sukarya mewakili KKI. Prof Laksono kemudian mengajak AAAH untuk memberikan kesempatan bicara bagi spesialis pada pertemuan tahunan mendatang.
Komentar/Pertanyaan di Termin 2:
Komentar 6. Ramesh. Nepal. Local Government : Bagaimana penghubung antara dokter yang sangat teknis dengan masyarakat biasa?
Komentar 7, Dr. Untung Suseno: Indonesia. Mengajak spesialis untuk membahas hal-hal seperti ini sangat sulit karena mereka sibuk bekerja. Perlu ada penekanan tentang hal ini.
Komentar 8. Prof Tim dari BRAC Dakka. Leadership tidak sederhana, perlu consensus yang sangat spesifik antar berbagai pemimpin. Komplesitas leadership di kesehatan sangat besar. Sering terjadi kekurangan consensus di berbagai pemimpin yang mempunyai kekuasan besar.
Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro pada Termin 2 : Ya pada intinya kami melihat bahwa para spesialis adalah pemimpin pentingan dalam jaringan di system kesehatan. Mereka pemain kunci yang juga harus memberikan pemahaman teknis ke masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Ramesh. Mengenai waktu yang sangat sulit bagi spesialis, saya setuju dengan Dr. Untung. Akan tetapi ini tidak menjadi halangan asal ada pemahaman dari para spesialis mengenai konsep “probono”. Konsep ini menyatakan bahwa profesi yang terhormat, dan kaya, seperti pengacara, mereka biasanya mempunyai kebiasaan untuk meluangkan waktu memberikan pelayanan publik bagi mereka yang miskin. Peluangan waktu ini merupakan sebuah tanggung jawab social. Tidak hanya berupa pengobatan gratis tapi juga mendorong pengembangan status kesehatan masyarakat. Saya sudah diskusi dengan banyak spesialis. Mereka sangat berminat, namunmemang tidak tahu harus bagaimana. Untuk Prof Tim, memang sekali lagi saya tekankan bahwa kepemimpinan HRH harus dilihat di level local karena disinilah perubahan pada status kesehatan masyarakat terjadi. Kita tidak bisa hanya terus bicara dan seminar di hotel. Perlu ada action riil di lapangan yang kompleks. Tenaga-tenaga kesehatan tertentu sangat potensial karena walaupun tidak mempunyai power, tetapi mereka mempunyai influence (pengaruh), Sayang masih belum dimaksimalkan karena memang masih sulit. Tapi mari kita mulai dari sekarang. |
Pada penutupan sesi, moderator menyimpulkan sebagai berikut:
We are aware that HRH is a bottleneck for improving health outcomes. To some extent this is due to lack of clarity in messaging and role of the multiple actors, a comprehensive planning exercises and overall policy dialogue. Efforts have been made in such a big way in many countries, however the increased awareness of the need HRH as the backbone of the health systems has not translated into corresponding investments.
Therefore, leadership in articulating policy options is one of the key words in building up a sound HRH for effective health systems to lead to better health outcomes for the populations. Areas that are strategic for articulating sets of policy options include:
- Measuring and monitoring trends of HRH situation, including production, deployment and health labour market.
- Institutional strategies for scaling up education and production of health professionals.
- Embed HRH planning in the sectoral policy dialogue
- Aligning national policy dialogue on HRH plans with wide sector approach and aid-effectiveness initiatives.
- Benchmarking (exchange of experiences) among the countries of the AAAH Network on quality, production, deployment and HRH management